PENGEMBANGAN KURIKULUM MATEMATIKA SMP



PENGEMBANGAN KURIKULUM MATEMATIKA SMP

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Kurikulum Pendidikan Matematika

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A.



Disusun oleh:
DAFID SLAMET SETIANA          (14703261004)



PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015

PENGEMBANGAN KURIKULUM MATEMATIKA SMP

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat berhubungan erat dengan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, untuk menghadapi masa depan, matematika harus dipelajari siswa karena kegunaannya yang penting dalam kehidupan. Penerapan matematika akhir-akhir ini telah berubah banyak dan cepat karena kehadiran dan perkembangan teknologi elektronik dalam dunia kerja. Pembelajaran matematika di tingkat satuan pendidikan harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung. Kurikulum mata pelajaran matematika harus dirancang tidak hanya untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi siswa, tetapi juga untuk memasuki dunia pasar kerja. Pengembangan kurikulum matematika yang sedang berlangsung sekarang ini harus dipersiapkan dengan matang, dan dihasilkan dari kerja sama dan pertimbangan stakeholders.
Upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan terlihat melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini mengamanatkan pembaharuan yang besar dalam sistem pendidikan kita. Sebagai kelanjutan dari Undang-undang tersebut, untuk pertama kalinya dalam pendidikan kita diharuskan ada standar nasional untuk isi atau disingkat Standar Isi (SI) melalui Permen No. 22 Tahun 2006. Karena standar ini bersifat nasional, maka haruslah setelah beberapa waktu SI tersebut dipenuhi oleh semua sistem pendidikan di Nusantara. Mengacu kepada SI ini juga standar yang lain seperti standar kompetensi guru dan standar buku/bahan ajar matematika dapat disusun rambu-rambu untuk menyusun kurikulum matematika.
Namun demikian setelah kurang lebih satu tahun dikeluarkannya Permen No. 22 Tahun 2006 tentang SI, ternyata masih mengalami masalah atau hambatan khususnya pada pelajaran matematika baik dari aspek pemahaman guru tentang dokumen SI maupun dalam aspek implementasi SI (proses penyusunan program dan kegiatan belajar-mengajar di kelas). Permasalahan tersebut antara lain kepadatan materi, SK dan KD dalam standar isi mata pelajaran matematika walaupun sudah merupakan perampingan dari kurikulum terdahulu. Namun dalam pelaksanaannya masih dirasakan padat oleh sebagian guru. Hal ini disebabkan SK dan KD berpotensi menimbulkan multi-interpretasi karena sifatnya yang terlalu umum bagi guru. Di samping itu masih ditemukan adanya tumpang tindih KD, seperti beberapa kompetensi dengan indikator dan  tujuan sama (over lapping) tetapi dituliskan dalam KD yang berbeda.
Dari aspek penjabaran SK dan KD untuk implementasi standar isi ditemukan beberapa kesulitan dalam penjabaran dokumennya, mulai dari menetapkan indikator pencapaian hasil belajar dari SK dan KD, sampai pada pembatasan dan penyusunan materi pembelajaran. Juga dalam hal, penyusunan Silabus dan RPP, kenyataan di lapangan guru hanya menggandakan silabus dan RPP yang sudah diterbitkan dari berbagai sumber. Hal ini dilakukan karena keterbatasan kemampuan guru untuk menyusun secara mandiri (sendiri-sendiri atau berkelompok).
Pengembangan KTSP, seharusnya disusun bersama-sama oleh guru, komite sekolah, konselor (guru BP/BK), dan nara sumber, dengan Kepala Sekolah sebagai ketua merangkap anggota, dan disupervisi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Fakta di lapangan banyak ditemukan KTSP hanya mengadopsi dari contoh model yang ada, sehingga dokumen tersebut tidak dapat dikembangkan secara efektif walaupun sekolah memiliki potensi. Bahkan dalam aspek penilaian, pelaksanaan penilaian yang selama ini diterapkan hanya mengacu pada materi tanpa melihat indikator, sehingga tidak mengukur kompetensi yang hendak dicapai. Pemahaman guru mengenai aspek penilaian seperti pemahaman konsep, penerapan dan komunikasi, dan pemecahan masalah, serta kognitif, afektif, dan psikomotor sangat kurang.

2.      Landasan Yuridis
Secara yuridis, pengembangan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar (SMP) didasarkan atas beberapa peraturan, yaitu :
a.       Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bab IX : Standar nasional Pendidikan
Pasal 35 ; ayat (1) : Standar Isi merupakan bagian integral dari Standar Nasional Pendidikan, ayat (2) : Standar Isi dijadikan acuan pengembangan kurikulum, dan ayat (4) : Standar isi lebih lanjut diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Bab X : Kurikulum
Pasal 36 ; ayat (1) : Pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Isi, ayat (2): Kurikulum SMP dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik, dan ayat (3): Kurikulum SMP harus memperhatikan peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; agama; dinamika perkembangan global; persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Pasal 37; ayat (1): Kurikulum Pendidikan Dasar wajib memuat: pendidikan agama; pendidikan kewarganegaraan; bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; ilmu pengetahuan sosial; seni dan budaya; pendidikan jasmani dan olah raga; keterampilan/ kejuruan; muatan lokal.
Pasal 38; ayat (1): Kerangka dasar dan struktur kurikulum Pendidikan dasar ditetapkan pemerintah, dan ayat (2) : Kurikulum pendidikan dasar dikembangkan oleh satuan pendidikan, komite sekolah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan.
b.      PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Bab III : Standar Isi
Pasal 5; ayat (1): standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan, dan ayat (2): standar isi memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan.
Pasal 6 Kerangka dasar dan struktur kurikulum.
Ayat (1): Kurikulum SMP terdiri atas: kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, oleh raga, dan kesehatan, ayat (4) : setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik, ayat (5) : semua kelompok mata pelajaran sama pentingnya dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dasar
Pasal 7; ayat (1): kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SMP/MTs dilaksanakan melalui kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, lmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga dan kesehatan, ayat (2): kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian SMP/MTs dilaksanakan melalui muatan atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarnegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani, ayat (3): kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMP/MTs dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan dan/atau teknologi informasi, serta muatan lokal yang relevan, ayat (4): kelompok mata pelajaran estetika pada SMP/MTs dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan; ayat (5): kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan ada SMP/MTs dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pendidikan jasmani, olah raga, pendidikan kesehatan, ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal yang relevan.
Pasal 10; Beban Belajar
Ayat (1): Beban belajar SMP/MTs menggunakan jam pembelajaran setiap minggu setiap semester dengan tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur sesuai kebutuhan dan ciri khas masing-masing, ayat (3): Ketentuan beban belajar, jam pembelajaran, waktu efektif tatap muka, dan persentase beban belajar setiap kelompok mata pelajaran ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP.
Pasal 17; ayat (1): Kurikulum tingkat satuan pendidikan SMP/MTs dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
c.       UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
d.      Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar.
e.       Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar.
f.       Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 24 tahun 2006 pelaksanaan Permen No. 22 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah
g.      Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian
h.      Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Standar Buku
i.        Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana
j.        Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan
k.      Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan

B.     KONSEP DASAR KURIKULUM
a.      Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pertautan antara satu komponen dan komponen pendidikan lainnya dapat dilihat pada bagan berikut:
Gambar 1. Komponen-Komponen Utama Pendidikan
Dari gambar 1 nampak bahwa pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Guru sebagai pendidik di sekolah telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. Ia telah mempelajari ilmu, keterampilan, dan seni sebagai guru. Ia juga telah dibina untuk memiliki kepribadian sebagai pendidik. Guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan rencana dan persiapan yang matang. Mereka mengajar dengan tujuan yang jelas, bahan-bahan yang disusun secara sistematis dan rinci, dengan cara dan alat-alat yang telah dipilih dan dirancang secara cermat.
Adanya rancangan atau kurikulum formal dan tertulis merupakan ciri utama pendidikan di sekolah. Dengan kata lain, kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan di sekolah. Apabila kurikulum merupakan syarat mutlak, hal itu berarti bahwa kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran. Setiap praktik pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, apakah berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, pengembangan pribadi, kemampuan sosial ataupun kemampuan bekerja. Untuk menyampaikan bahan pelajaran, ataupun mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut diperlukan metode penyampaian serta alat-alat bantu tertentu. Untuk menilai hasil dan proses pendidikan, juga diperlukan cara dan alat-alat penilaian tertentu pula. Keempat hal tersebut, yaitu tujuan, bahan ajar, metode dan alat, serta penilaian merupakan komponen-komponen utama kurikulum. Dengan berpedoman pada kurikulum, interaksi pendidikan antara guru dan siswa berlangsung. Interaksi ini selalu terjadi dalam lingkungan fisik, alam, sosial budaya, ekonomi, politik dan religi.
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktifitas pendidikan demi tercapaianya tujuan-tujuan pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi serta proses pendidikan. Dengan kata lain, mutu bangsa di kemudian hari bergantung pada pendidikan yang ditempuh oleh anak-anak sekarang, terutama melalui pendidikan formal yang diterima di sekolah. Apa yang akan dicapai disekolah, ditentukan oleh kurikulum sekolah itu. Jadi barangsiapa yang menguasai kurikulum memegang nasib bangsa dan negara. Maka dapat dipahami bahwa kurikulum sebagai alat bantu yang vital bagi perkembangan bangsa sehingga dapat dipahami bahwa betapa pentingnya usaha mengembangkan kurikulum.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut. Dalam posisi ini maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan academic accountability dan legal accountability berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apa yang akan dihasilkan atau pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pengertian intrinsik kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan. Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah construct yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.

b.      Pengertian Kurikulum
Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata dalam Bahasa Latin curir yang artinya pelari, dan curere yang artinya tempat berlari, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis start sampai dengan finish. Dengan demikian, istilah kurikulum pada awalnya berasal dari dunia olah raga pada zaman Romawi kuno di Yunani, dan kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan.
Pengertian tersebut kemudian digunakan dalam dunia pendidikan, dengan pengertian sebagai rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dalam menempuh pendidikan di lembaga pendidikan.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Bahwa kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan Iptek serta jenjang masing-masing satuan pendidikan (UU No. 2 Tahun 2000 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
John Franklin Bobbit (1918) dalam bukunya The Curriculum menyebutkan bahwa  said that curriculim, as an idea, has its roots in the Latin word for race-course, explaining the curriculum as the course of deeds and experiences through which children become the adults they should be, for success in adult society. Furthermore, the curriculum encompasses the entire scope of formative deed and experience occurring in and out of school, and not experiences occurring in school; experiences that are unplanned and undirected, and experiences intentionally directed for the purposeful formation of adult members of society. (http://en.wikipedia.org/wiki/Curriculum).
Secara bebas, kutipan tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Di dalam The Curriculum, buku teks pertama yang diterbitkan tentang mata kuliah itu pada tahun 1918, John Franklin Bobbit mengatakan bahwa kurikulum, sebagai satu gagasan, memiliki akar kata Bahasa Latin race course (tempat berlari), yang menjelaskan bahwa kurikulum sebagai mata pelajaran dan pengalaman yang harus diperoleh anak-anak sampai menjadi dewasa, agar kelak sukses setelah menjadi dewasa. Lebih dari itu, kurikulum merupakan keseluruhan kegiatan dan pengalaman yang diperoleh di dalam dan di luar sekolah, pengalaman yang direncanakan dan yang tidak direncanakan, serta pengalaman yang secara sungguh-sungguh diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan warga masyarakat orang dewasa.
In formal education or schooling (cf. education), a curriculum is the set of courses, course work, and content offered at a school or university. A curriculum may be partly or entirely determined by an external, authoritative body (i.e. the National Curriculum for England in English schools). In the U.S., each state, with the individual school districts, establishes the curricula taught. Each state, however, builds its curriculum with great participation of national academic subject groups selected by the United States Department of Education, e.g. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) for mathematical instruction. In Australia each state's Education Department establishes curricula. UNESCO's International Bureau of Education has the primary mission of studying curricula and their implementation worldwide.
Curriculum means two things: (i) the range of courses from which students choose what subject matters to study, and (ii) a specific learning program. In the latter case, the curriculum collectively describes the teaching, learning, and assessment materials available for a given course of study.
Secara terminologis, istilah kurikulum yang digunakan dalam dunia pendidikan mengandung pengertian sebagai sejumlah pengetahuan atau mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa untuk mencapai satu tujuan pendidikan atau kompetensi yang ditetapkan. Sebagai tanda atau bukti bahwa seseorang peserta didik telah mencapai standar kompetensi tersebut adalah dengan sebuah ijazah atau sertifikat yang diberikan kepada peserta didik.
Pengertian kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya, antara lain:
1)      J. Lioyad Trump dan Delmas F. Miller
Kurikulum adalah metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.
2)      Saylor dan Alexander
Kurikulum adalah tidak terbatas pada mata pelajaran, akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan di luar kelas, yang berada dibawah tanggungjawab sekolah.
3)      B. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores
Kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berpikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4)      Alice Miel
Kurikulum adalah segala pengalaman dan pengaruh yang bercorak pendidikan yang diperoleh anak di sekolah.
5)      Pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dewasa ini terdapat banyak sekali definisi kurikulum, yang jika dipelajari secara mendalam ternyata dipengaruhi oleh filosofi atau aliran filsafat tertentu. Pertama, pakar kurikulum yang beraliran perenialisme mendefinisikan kurikulum sebagai subject matter atau mata pelajaran, content atau isi, dan transfer of culture atau alih kebudayaan (Tanner dan Tanner, 1980: 104). Kedua, pakar kurikulum yang menganut aliran essesialisme mendefinisikan kurikulum sebagai academic exellence atau keunggulan akademis dan cultivation of intellect atau pengolahan intelek.
Persamaan kedua aliran tersebut sama-sama mengagungkan keunggulan akademis dan intelektualitas. Sedangkan perbedaannya, aliran perenialisme menitikberatkan pada tradisi intelektualitas Bangsa Barat, seperti membaca, retorika, logika, dan matematika, sementara aliran esensialisme mengutamakan disiplin akademis yang lebih luas seperti Bahasa Inggris, matematika, sains, sejarah, dan bahasa-bahasa modern.
Kedua aliran tersebut termasuk kelompok aliran konservatif. Di samping itu ada kelompok aliran progresif, yang lebih memandang kurikulum — bukan hanya untuk meneruskan tradisi intelektualitas masa lalu — tetapi juga untuk memenuhi tuntutan perubahan masa sekarang dan masa depan, Termasuk kelompok aliran progresif adalah aliran romantis naturalisme, eksistensialisme, eksperimentalisme, dan rekonstruksionisme.
Menurut aliran rekonstruksionisme, kurikulum tidak hanya berfungsi untuk melestarikan budaya atau apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan di masa depan. Menurut McNeil (1977: 19), kurikulum berfungsi untuk membentuk masa depan atau shaping the future, bukan hanya adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community. McNeil menjelaskan bahwa:
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
George Beauchamp (1972) mencoba mengelompokkan definisi kurikulum dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang mendefinisikan bahwa kurikulum adalah a plan for subsequent action. Kedua, adalah kelompok yang menyatakan bahwa kurikulum tidak lain adalah pengajara dan pembelajaran (curriculum and instruction as synonums or a unified concept). Ketiga, kelompok yang mendefiniskan sebagai istilah yang sangat luas, yang meliputi proses psikologikan peserta didik sebagai pengalaman belajar (a very broad term, encompassing the learner's psychological process as she or he acquires educational experiences).
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari berbagai segi. Setidaknya ada tiga konsep tentang kurikulum, yaitu: kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem dan sebagai bidang studi. Konsep pertama, kurikulum sebagai substansi. Kurikulum adalah seperangkat dokumen tertulis yang berisi rencana dan peraturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, jadwal, evaluasi serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu.
Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sstem pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya. Hasil suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
Konsep ketiga, adalah kurikulum sebagai suatu bidang studi. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagainkegiatan penelitian dan percobaan, mereka menemukan hal-hal baru yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.
Pembahasan mengenai kurikulum dapat ditelaah dari tiga sudut pandang. Pandangan pertama, berhubungan dengan aspek teori dan terlukis dalam kurikulum berdasarkan apa yang tercantum dalam dokumen tertulis. Kurikulum sekolah dalam dokumen tertulis atau dikenal dengan istilah intended curriculum memuat tiga hal, yaitu (1) dokumen yang memuat garis-garis besar pokok bahasan (SI), (2) dokumen yang memuat panduan pelaksanaan pembelajaran, dan (3) dokumen buku yang memuat panduan penilaian hasil belajar siswa.
Kurikulum dalam pandangan kedua tercermin dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di kelas atau dikenal dengan istilah implemented curriculum.  Kurikulum dalam pandangan kedua ini pada hakekatnya adalah pelaksanaan kegiatan belajar mengajar termasuk pelaksanaan penilaian hasil belajar siswa oleh guru. Sedangkan pandangan ketiga yang dikenal performanced curriculum adalah kurikulum yang tercermin dalam belajar yang dicapai siswa pada akhir satuan waktu pembelajaran,  mulai dari satuan terkecil yaitu Rencana Pelakasanaan Pembelajaran (RPP) sampai dengan satuan terbesar yaitu satu jenjang pendidikan. Sejalan dengan ketiga pandangan tersebut maka kualitas pendidikan matematika pada tiap jenjang pendidikan dapat ditinjau dari kualitas kurikulum tertulis dan relevansinnya dengan pelaksanaan kurikulum oleh guru, dan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.
Kurikulum dalam dokumen tertulis pada umumnya disusun oleh para pakar bidang studi, guru bidang studi yang sejenis yang telah berpengalaman serta pihak lain yang berwenang. Betapapun tingginya kualitas kurikulum dalam dokumen tertulis tanpa implementasi kurikulum yang ditampilkan oleh guru dengan baik, maka kualitas pendidikan yang tinggi sulit terwujud. Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan memerlukan pembahasan yang saling terkait mengenai ketiga pandangan kurikulum di atas. Pada saat ini titik tolak pandangan pada pengkajian kurikulum tertulis yang tertuang dalam dokumen Standar Isi (SI), dengan asumsi bahwa jika SI sudah memadai dan relevan dari aspek pedagogik, sequensinya sesuai perkembangan mental anak, serta mampu mengakomodir perkembangan iptek menjadi dasar yang tepat untuk melakukan implementasi kurikulum di tingkat satuan pendidikan terutama pada upaya penyiapan pembekalan penguasaan proses pembelajaran matematika oleh guru.
Mengacu pada pembahasan di atas, fokus pembahasan kurikulum dapat ditelaah dari tiga aspek, yaitu Intended Curriculum, Implemented Curriculum, dan Attained Curriculum.
Aspek pertama, Intended Curriculum merupakan muatan dalam dokumen tertulis yang tercermin dalam pedoman kurikulum atau SI, Silabus, RPP, dan buku teks untuk tiap jenjang satuan pendidikan. Di negara kita, Intendid Curriculum mengandung dua macam muatan yang bersifat nasional (Kurikulum Nasional) dan ditetapkan oleh Mendiknas dan yang bersifat lokal yang ditetapkan oleh daerah berdasarkan kondisi dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Evaluasi mutu pendidikan pada satu jenjang pendidikan tertentu dapat dilaksanakan melalui analisis terhadap Intended Curriculum atau dokumen tertulis kurikulum pada jenjang yang bersangkutan.
Aspek kedua, Implemented Curriculum merupakan kurikulum yang berlangsung di kelas atau tergambar dalam kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan oleh guru. Dengan kata lain, Implemented Curriculum berhubungan dengan kenyataan apa yang terjadi di kelas atau apa yang diajarkan guru dan bagaimana cara guru mengerjakannya.
Aspek ketiga, Attained Curriculum merupakan kurikulum yang tercermin dalam hasil belajar siswa baik bersifat kognitif, afeksi, maupun psikomotor. Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik. Perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Konstelasi ketiga aspek tersebut, disajikan sebagai berikut.
Diagram 1: Tiga Aspek Kurikulum
Perlu diketahui bahwa pada prinsipnya kurikulum sebagaimana yang dituangkan dalam SI terbuka peluang untuk mengalami perubahan. Sejarah perubahan dalam perkembangan kurikulum kita terlihat pada perubahan dan penyempurnaan GBPP 1994 yang melahirkan suplemen GBPP tahun 1999. Penyesuaian dan penyempurnaan tersebut didasarkan pada hasil kajian, penelitian, dan masukan dari lapangan serta masukan instansi terkait.
Secara umum perubahan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Suherman, 2003: 69):
a.       Membuang pokok bahasan yang kurang esensial atau kurang relevan,
b.      Menunda pembahasan pada kelas yang lebih tinggi dan sebaliknya,
c.       Menjadikan materi wajib menjadi pengayaan dan sebaliknya,
d.      Menambah materi esensial yang diperlukan,
e.       Menata urutan dan distribusi pokok bahasan,
f.       Menyempurnakan redaksi kalimat yang dianggap kurang jelas.

c.       Komponen Kurikulum
Dari definisi kurikulum sebagaimana telah dirumuskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kita dapat menyimpulkan bahwa kurikulum itu terdiri dari beberapa komponen utama:
a.       Isi dan bahan pelajaran;
b.      Cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran;
c.       Tujuan pendidikan yang akan dicapai
Seperti yang dikatakan Ralp W. Tyler dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction, salah satu buku yang paling berpengaruh dalam pengembangan kurikulum, mengajukan empat pertanyaan mendasar yang harus dijawab dalam mengembangkan kurikulum dan rencana pengajaran, yaitu:
a.       Apa tujuan yang harus dicapai oleh sekolah?
b.      Pengalaman-pengalaman belajar seperti apa yang dapat dilaksanakan guna mencapai tujuan dimaksud?
c.       Bagaimana pengalaman belajar diorganisasikan secara efektif?
d.      Bagaimana cara menentukan bahwa tujuan pendidikan telah dapat dicapai?
Berdasarkan pertanyaan itu, maka diperoleh keempat komponen kurikulum, yakni:
a.       tujuan
b.      bahan pelajaran
c.       proses belajar mengajaar
d.      evaluasi atau penilaian
Keempat komponen tersebut dapat kita gambarkan dalam bagan sebagai berikut:

a.      Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
1)      Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
2)      Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
3)      Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa :  Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
1)      Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2)      Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3)      Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan. Berikut ini disampaikan tujuan kurikuler mata pelajaran matematika, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Tujuan Mata Pelajaran matematika yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1)      Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
2)      Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan  matematika
3)      Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
4)      Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
5)      Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang what will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to do before (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :
1)      Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
2)       Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (1) ketepatan atau ketelitian respons; (2) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
3)       Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (1) kondisi atau lingkungan fisik; dan (2) kondisi atau lingkungan psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya. Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif. Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif. Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi. Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara berimbang.
b.      Bahan Ajar
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
1)      Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan-hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2)      Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3)      Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
4)      Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
5)      Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
6)      Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
7)      Istilah; kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
8)      Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
9)      Definisi, yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
10)  Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel.
Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :.
1)      Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2)      Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
3)      Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4)      Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5)      Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
c.       Proses Belajar Mengajar (Pembelajaran)
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual, sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositori) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya. Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
d.      Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Taba, H (1962) menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi;  objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikiran Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventory, interview, catatan anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :
1)      Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2)      Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
3)      Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
4)      Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.
Keempat komponen yang ada dalam kurikulum yakni: tujuan, bahan pelajaran, proses belajar mengajar, dan evaluasi atau penilaian saling berhubungan. Setiap komponen bertalian erat dengan ketiga komponen lainnya. Tujuan menentukan bahan apa yang akan dipelajari, bagaimana proses belajarnya, dan apa yang harus dinilai. Demikian pula penilaian dapat mempengaruhi komponen lainnya. Pada saat dipentingkannya evaluasi dalam bentuk ujian, maka timbul kecenderungan untuk menjadikan bahan ujian sebagai tujuan kurikulum, proses belajar mengajar cenderung mengutamakan latihan dan hafalan. Bila salah satu komponen berubah, misalnya ditonjolkannya tujuan yang baru atau proses belajar-mengajar, misalnya metode baru, atau cara penilaian, maka semua komponen lainnya turut mengalami perubahan. Apabila tujuannya jelas, maka bahan pelajaran, PBM maupun evaluasi pun lebih jelas.

d.      Terminologi Dalam Kurikulum
Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita mengenal beberapa istilah kurikulum sebagai berikut:
a.       Core Curriculum mengandung
1)      Tujuan yang mendasar
2)      Materi atau bahan yg teridiri dari atas berbagai pengalamn belajar yang disusun atas dasar unit kerja
3)      Metode yang digunakan
4)      Bimbingan belajar yang diperlukan
b.      Hidden Curriculum
Kurikulum yang tersembunyi yaitu hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan moral dan peran guru dalam mentransformasikan standar moral. Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika mengajar di kelas, sebagai contoh, akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh kepada pembentukan kepribadian peserta didik.
c.       Curriculum Fondation, atau asas-asas kurikulum dengan memperhatikan filsafat bangsa, keadaan masyarakat dan kebudayaan
d.      Curriculum Construction, membahas berbagai komponen dengan berbagai pertanyaan
1)      Apa yang dimaksud dengan masyarakat yang baik ?
2)      Kemana arah dan tujuan pendidikan ?
3)      Apa hakikat manusia ?
4)      Bagaimana merancang kurikulum?
5)      Materia apa yang diberikan ?
e.       Curriculum Development, pengembangan kurikulum membahas berbagai macam model pengalaman kurikulum, dalam hal ini siapa yg berkepantingan, guru, tenaga kependidikan, orang tua atau siswa ?
f.       Curriculum Implementation, seberapa jauh kurikulum dilaksanakan di lapangan.
g.      Curriculum Enggineering, proses yang memfungsikan sistem kurikulum di sekolah dengan menghasilkan kurikulum, melaksanakan kurikulum dan menilai keefektifan kurikulum dan sistemnya.
h.      Kurikulum formal adalah rancangan di mana aktifitas pembelajaran dijalankan supaya objektif pendidikan dan sekolah tercapai yang merupakan satu dokumen untuk dilaksanakan yang berstruktur dengan kandungan dan pengalaman bekajar serta hasil yang dijangkau berupa rancangan ekspkisit dan operasional yang diinginkan.
i.        Ideal kurikulum adalah kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu yang dicita-citakan sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen kurikulum
j.        Real kurikulum adalah kurikulum yang menyangkut semua perubahan pada nilai persepsi dan tingkah laku yang berlaku yaitu hasil dari pengalaman persekolahan.
k.      Aktual kurikulum adalah kurikulum yang menyangkut pengalaman belajar untuk membantu murid menyepadankan pengetahuan baru dan memurnikan bagi melahirkan akal melalui banding beda, membuat induksi, deduksi dan menganalisis yang memberikan murid peluang untuk menggunakan pengetahuaan secara bermakna bagi mereka membuat keputusan dan untuk membentuk pikiran kritikal, kreatif dan futuristic.

Berdasarkan struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan, kurikulum dapat dibedakan menjadi:
1)      Kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum), kurikulum yang mata pelajarannya dirancang untuk diberikan secara terpisah-pisah. Misalnya, mata pelajaran sejarah diberikan terpisah dengan mata pelajaran geografi, dan seterusnya. Kurikulum sebelum tahun 1968 di Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum terpisah-pisah.
2)      Kurikulum terpadu (integrated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya diberikan secara terpadu. Misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari beberapa mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran dikenal dengan pembelajaran tematik yang diberikan di kelas rendah Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika, sains, bahasa Indonesia, dan beberapa mata pelajaran lain diberikan dalam satu tema tertentu. Kurikulum 1968 di Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum terpadu.
3)      Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya dirancang dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar yang lain.
Berdasarkan proses pengembangannya dan ruang lingkup penggunaannya, kurikulum dapat dibedakan menjadi:
1)      Kurikulum nasional (national curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh tim pengembang tingkat nasional dan digunakan secara nasional.
2)      Kurikulum negara bagian (state curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh masing-masing negara bagian, misalnya di masing-masing negara bagian di Amerika Serikat, dan digunakan oleh masing-masing negara bagian itu.
3)      Kurikulum sekolah (school curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah lahir dari keinginan untuk melakukan diferensiasi dalam kurikulum.


C.    WAWASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
Menurut Unruh dan Unruh (1984), proses pengembangan kurikulum adalah a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve. Kurikulum memang harus dibuat. Disusun dengan proses tertentu. Negara yang memiliki UU tentang Sistem Pendidikan Nasional mempunyai kepentingan untuk menyusun kurikulum tersebut berdasarkan amanat yang ada di dalam undang-undang tersebut.
Ada beberapa pemangku kepentingan yang menurut David G. Amstrong yang biasanya dilibatkan dalam pengembangan kurikulum dan diberikan tugas serta tanggung jawab untuk menyusun atau mengembangkan kurikulum, yaitu:
1.      Curriculum specialist (spesialis kurikulum, ahli kurikulum);
2.      Teacher/instructors (guru/instruktur);
3.      Learners (peserta didik);
4.      Principals/corporate unit supervisors (kepala sekolah/unit pengawas sekolah);
5.      Central office administrators/corporeate administrators (administrator kantor pusat/administrator perusahaan;
6.      Special experts (ahli special);
7.      Lay public representatives (perwakilan masyarakat umum).
Yang dimaksud pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan dan penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Berbagai faktor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. Curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum fokus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern atau romantism.

1.      Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi.Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.
a.      Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran-aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
1)      Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
2)      Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
3)      Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
4)      Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
5)      Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikandan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.
b.      Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
1)      motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
2)      bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
3)      konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
4)      pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
5)      keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
c.       Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial– budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.
d.      Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang.
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil jika manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian..
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.

2.      Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Pengembangan kurikulum menunjukkan adanya perubahan dan kemajuan. Perencanaan kurikulum ada;ah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip - prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas; (2) prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian. Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu :
a.       Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis)
b.      Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
c.       Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
d.      Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
e.       Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.

3.      Model-Model Pengembangan Kurikulum
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.

Sumber: Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA
Dalam proses pengembangan kurikulum tersebut, unsur-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum menempatkan konteks sosial-budaya seharusnya menjadi pertimbangan utama. Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks sosial-budaya tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87) bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:
The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities.
Model kedua adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
Sumber: Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA

Pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu : (1) pendekatan top-down the administrative model dan (2) the grass root model.
a.       The administrative model;
Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, membentuk suatu Komisi atau Tim Pengarah pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh Tim pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih sekuens materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja selesai melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten.
Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top – Down. Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.






Bagan 1-1 Model Administratif
Model admistratif pengembangan kurikulum menggunakan prosedur atas-bawah, lini staf (Topdown, line-staff procedure). Inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat tingkat atas (Superintendent). Pejabat tersebut membuat keputusan tentang kebutuhan suatu program pengembangan kurikulum dan implementasinya, lalu mengadakan pertemuan dengan staf lini (bawahannya) dan meminta dukungan dari dewan pendidikan (Board of education). Langkah berikutnya adalah membentuk suatu panitia pengarah yang terdiri dari pejabat administratif tingkat atas, seperti asisten superintendent, principals, supervisor, dan guru-guru inti. Panitia pengarah merumuskan rencana umum, mengembangkan panduan kerja, dan menyiapkan rumusan filsafat dan tujuan bagi seluruh sekolah didaerahnya (District). Disamping itu, panitia pengarah dapat mengikutsertakan organisasi diluar sekolah / tokoh masyarakat sebagai panitia penasehat yang bekerja bersama dengan personel sekolah dalam rangka merumuskan berbagai rencana, petunjuk dan tujuan yang hendak dicapai.
Setelah kebijakkan kurikulum dikembangkan, maka panitia pengarah memilih dan menugaskan stafpengajar sebagai panitia pelaksana (panitia kerja) yang bertanggung jawab mengkonstruksikan kurikulum. Panitia im merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus kurikulum, isi (materi), kegiatan-kegiatan belajar dan sebagainya sesuai dengan pedoman/acuan kebijakan yang telah ditentukan oleh panitia pengarah. Panitia mengerjakan tugasnya diluar jam kerja biasa dan tidak mendapat kompensasi. Kondisi ini diterapkan karena berkaitan dengan tanggung jawab guru untuk memahami dengan benar kurikulum dan meningkatkan mutu kurikulum itu sendiri.
Setelah panitia kerja (guru-guru) melaksanakan penyusunan kurikulum melalui proses tertentu, selanjutnya kurikulum yang dihasilkan tersebut direvisi oleh panitia pengarah atau panitia tingkat atas lainnya sesuai dengan maksud diadakannya review tersebut. Panitia ini melaksanakan berbagai fungsi-fungsi, sebagai berikut:
1)      Memberi koherensi pada ruang lingkup dan urutan dalam program bidang studi dengan koordinasi bersama panitia guru-guru masing-masing bidang;
2)      Memeriksa kesesuaiannya dengan kebijakan kurikulum yang telah ditetapkan oleh panitia pengarah;
3)      Menyiapkan gaya dan bentuk susuan material yang siap untuk dipublikasikan
Rencana kurikulum yang direvisi dan final tersebut selanjutnya ditugaskan kepada suatu panitia yang terdiri dari para admimstrator (principals) dan guru-guru untuk melaksanakannya dalam rangka uji coba. Para pelaksana adalah tenaga profesional yang tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum (mencakup filsafat rasional, tujuan dan metodologinya) uji coba dilaksanakan dalam kondisi pengajaran senyatanya dan keefektifannya dimonitor dengan cara kunjungan kelas, diskusi, evaluasi siswa dan alat-alat lainnya. Berdasarkan hasil uji coba dilakukan modifikasi, dan selanjutnya kurikulum baru tersebut diresmikan pelaksanaanya secara nyata dalam sistem sekolah.
Kelemahan model ini yakni :
1)      Pada prinsipnya pengembangan kurikulum dengan model ini bersifat tidak demokratis, Karena prakarsa, inisiatif dan arahan dilakukan melalui garis staf hirarkis dari atas ke bawah, bukan berdasarkan kebutuhan dan aspirasi dari bawah ke atas;
2)      Pengalaman menunjukkan bahwa model ini bukan alat yang efektif dalam perubahan kurikulum secara signifikan, karena perubahan kurikulum tidak mengacu pada perubahan masyarakat, melainkan semata-mata melalui manipulasi organisasi dengan pembentukkan macam-macam kepanitian.
3)      Kelemahan utama dari model administratif adalah diterapkannya konsep dua fase, yakni konsep yang mengubah kurikulum lama menjadi kurikulum baru secara uniform melalui sistem sekolah dalam dua fase sendiri-sendiri, yakni penyiapan dokumen kurikulum baru, dan fase pelaksanaan dokumen kurikulum tersebut.

b.      The grass root model;
Model pengembangan ini merupakan kebalikan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass root tampaknya akan lebih baik.
Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass roots-nya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
Model Grass roots atau arus bawah, berbeda dengan rekayasa model administratif dalam beberapa hal yang berarti. Misalnya model Grass roots diawali oleh para guru, pembina disekolah dengan mengabaikan metoda pembuatan keputusan kelompok secara demokratis dan dimulai dari bagian-bagian yang lemah (rusak) kemudian diarahkan untuk memperbaiki kurikulum tertentu (spesifik) atau kelas-kelas tertentu.
Orientasi yang demokratis dari rekayasa Model Grass roots bertanggung jawab membangkitkan apa yang menjadi dua aksioma kemantapan sebuah kurikulum:
1)      Bahwa sebuah kurikulum hanya dapat diterapkan secara berhasil apabila guru-guru dilibatkan secara intim dengan proses pembuatan (konstruksi) dan pengembangannya
2)      Bukan hanya para professional, tetapi murid, orang tua, anggota masyarakat lain harus dimasukkan dalam proses pengembangan kurikulum.
Guru adalah sebagai kunci dalam rekayasa kurikulum yang efektif, digambarkan pada 4 prinsip yang menjadi dasar Model Grass roots, yaitu :
1)      Kurikulum akan baik apabila kemampuan profesioanl guru baik
2)      Kompetensi guru akan membaik apabila guru terlibat secara pribadi dalam masalah-masalah peibaikan (revisi) kurikulum
3)      Jika guru urun rembug dalam membentuk tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam memilih, mendefinisikan, memecahkan masalah yang akan dihadapi, mempertimbangkan dan menilai hasil maka keterlibataimya paling terjamin.
4)      Karena orang bertemu dalam kelompok, tatap muka, mereka akan dapat memahami satu sama lain lebih baik dan untuk mencapai suatu konsensus berdasarkan prinsip-prinsip dasar, tujuan-tujuan dan rencana-rencana.
Prinsip ini jadi bersifat operasional, karena guru didorong untuk bekeija secara kooperatif dalam merencanakan kurikulum baru. Dorongan terjadi bila administrator menyediakan kepemimpinan, waktu bebas, material dan rangsangan lain yang bersifat kondusif terhadap perencanaan kurikulum. Pada beberapa daerah lokakaiya diorganisasi untuk melaksanakan proses, pada akhir tahun cenderung terfokus pada review kurikulum dan penilaian kebutuhan, sedangkan pada awal tahun bam mereka dapat berhasil mengkonstruksi kurikulum bam. Idealnya lokakarya itu mencakup para administrator, para guru, siswa, orang tua dan anggota masyarakat (tokoh) ditambah dengan konsultan dan personal sumber khusus. Para peserta bekerja atas dasar masalah-masalah tersebut secara demokratis mencapai konsensus. Disini jelas sekali, karena guru-guru terlibat secara mendalam / inti dalam perencanaan dan proses pembuatan keputusan, pengetahuan dan kesepakatan mereka merupakan suatu kebutuhan bagi prosedur implementasi khusus yang dinyatakan oleh model administratif.
Kelemahan rekayasa kurikulum model Grass roots ini adalah model ini menerapkan metoda partisipasi yang demokratis dalam proses yang khusus, bersifat teknis yang kompleks. Ini tidak berarti bahwa keputusan masyarakat umumnya tidak perlu diperhatikan atau para guru tidak boleh diben peran dalam rekayasa kurikulum. Ini hanya untuk menyatakan bahwa peran dasar pemikiran satu orang satu suara tidak atau belum tentu menghasilkan sesuatu yang terbaik dalam suatu situasi, otoritas tertentu amat diperlukan. Namun perlu diingat pula bahwa model Grass roots ini lebih memberikan kontribusi awal dalam memperkuat landasan pembuatan keputusan kurikulum dan dalam hal itu model ini bertanggungjawab terhadap keinginan-keinginan masyarakat.
Bagan 2.1. Model Grass roots
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah.

4.      Tantangan Pengembangan Kurikulum
a.       Tantangan Masa Depan
1)      Globalisasi: WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA
2)      Masalah lingkungan hidup
3)      Kemajuan teknologi informasi
4)      Konvergensi ilmu dan teknologi
5)      Ekonomi berbasis pengetahuan
6)      Kebangkitan industri kreatif dan budaya
7)      Pergeseran kekuatan ekonomi dunia
8)      Pengaruh dan imbas teknosains
9)      Mutu, investasi dan transformasi pada sektor pendidikan
10)  Materi TIMSS
b.      Persepsi Masyarakat
1)      Terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif
2)      Beban siswa terlalu berat
3)      Kurang bermuatan karakter
c.       PerkembanganPengetahuan dan Pedagogi
1)      Neurologi
2)      Psikologi
3)      Observation based [discovery] learning dan Collaborative learning
d.      Kompetensi Masa Depan
1)      Kemampuan berkomunikasi
2)      Kemampuan berpikir jernih dan kritis
3)      Kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan
4)      Kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab
5)      Kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda
6)      Kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal
7)      Memiliki minat luas dalam kehidupan
8)      Memiliki kesiapan untuk bekerja
9)      Memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya
10)  Memiliki rasa tanggungjawab terhadap lingkungan
e.       Fenomena Negatif yang Mengemuka
1)      Perkelahian pelajar
2)      Narkoba
3)      Korupsi
4)      Plagiarisme
5)      Kecurangan dalamUjian
6)      Gejolak masyarakat (social unrest)

D.    PEMBELAJARAN MATEMATIKA
1.      Kecenderungan Pembelajaran Matematika
Perhatian pemerintah dan pakar pendidikan matematika diberbagai Negara untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa tidak hanya tertuju kepada kurikulum berbasis kompetensi seperti yang digalakkan di sekolah sekarang ini, bahkan dalam rangka mengatasi rendahnya aktivitas dan hasil belajar matematika, sekarang ini tengah diuji-cobakan penggunaan pembelajaran matematika secara kontekstual dan humanistik seperti yang telah dikembangkan di negara-negara maju.
Misalnya di Belanda sekarang telah dikembangkan pendekatan pembelajaran dengan nama Realistic Mathematics Education (RME). Terdapat lima karakteristik utama dari pendekatan RME, yaitu: (1) menggunakan pengalaman siswa di dalam kehidupan sehari-hari, (2) mengubah realita ke dalam model, kemudian mengubah model melalui matematisasi vertikal sebelum sampai kepada bentuk formal, (3) menggunakan keaktifan siswa, (4) dalam mewujudkan matematika pada diri siswa diperlukan adanya diskusi, tanya-jawab, dan (5) adanya keterjalinan konsep dengan konsep, topik dengan topik sehingga pembelajaran matematika lebih holistik daripada parsial (Ruseffendi, 2003). Dengan pendekatan ini diduga peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa dapat dilakukan dengan menyajikan materi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut Howey (2001: 105), di Amerika Serikat juga tengah dikembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang disebut contextual teaching and learning. Pendekatan ini dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam menyelesaikan tugas matematika melalui pembelajaran yang dimulai dengan masalah-masalah kontekstual. Pendekatan seperti ini diduga mampu mengantarkan siswa dalam merespons setiap masalah dengan baik, karena dalam kehidupan sehari-hari, siswa telah mengenal masalah tersebut.
Menurut Becker dan Shimada (2003: 2), di negara Sakura Jepang saat ini sedang dipopulerkan pendekatan yang dikenal the open-ended approach. Dengan pendekatan ini, diduga peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa dapat dilakukan dengan memberi soal-soal terbuka yang memiliki banyak jawab benar. Soal-soal terbuka penekanannya bukan pada perolehan jawaban akhir tetapi lebih kepada upaya mendapatkan beragam cara memperoleh jawaban dari soal yang diberikan.
Di negara tetangga Singapura, pendekatan pembelajaran di sekolah dikenal dengan nama concrete-victorial-abstract approach . Peningkatan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa diduga dapat dilakukan melalui perantaraan benda-benda konkrik dan gambar-gambar yang menarik perhatian siswa. Leader, et al. (1995: 78), bahwa di negara Kangguru Australia sedang dipopulerkan pembelajaran matematika melalui pemahaman konteks yang disebut mathematics in context. Sedangkan di Indonesia sendiri di tingkat Sekolah Dasar tengah dipopulerkan Pembelajaran Matematika Reliastik Indonesia atau disingkat PMRI.
Pendidikan nasional antara lain bertujuan mewujudkan learning society dimana setiap anggota masyarakat berhak mendapatkan pendidikan (education for all) dan menjadi pembelajar seumur hidup (longlife education). Empat pilar pendidikan dari UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Impelementasi dalam pembelajaran matematika terlihat dalam pembelajaran dan penilaian yang sifatnya learning to know (fakta, skills, konsep, dan prinsip), learning to do (doing mathematics), learning to be (enjoy mathematics), dan learning to live together (cooperative learning in mathematics).
Otonomi daerah akan menuntut agar kurikulum matematika dan pelaksanaannya di satu daerah menyerap ciri-ciri dan praktek budaya dan kehidupan masyrakatnya (Bana Kartasasmita, 2: 2007). Khususnya pilar learning to live together sangat relevan dan menyerap ciri-ciri budaya tersebut. Pilar ini menekankan pentingnya belajar memahami bahwa setiap orang hidup dalam suatu masyarakat dimana terjadi interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Implikasi penciptaan suasana pilar ini terhadap pembelajaran matematika, adalah memberi kesempatan kepada siswa agar bersedia bekerja/belajar bersama, saling menghargai pendapat orang lain, menerima pendapat berbeda, belajar mengemukakan dan atau bersedia sharing ideas dengan teman dalam melaksanakan tugas-tugas matematika. Dengan kata lain belajar matematika yang berorientasi pada pilar ini, diharapkan siswa mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dalam konteks matematika dengan teman lainnya.
Mempelajari kecenderungan pembelajaran matematika saat ini, penerapan keempat pilar UNESCO, serta pentingnya penguasaan kompetensi matematika untuk kehidupan peserta didik, juga telah dikeluarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) oleh Pemerintah melalui Permen 23 Tahun 2006.
2.      Tujuan Pembelajaran Matematika SMP
Pada Standar Isi Mata Pelajaran Matematika Tahun 2006 untuk semua jenjang pendidikan dinyatakan bahwa mata pelajaran matematika dipelajari dengan tujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
a.       Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
b.      Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c.       Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d.      Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e.       Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Adapun makna dari tujuan mata pelajaran matematika berdasarkan karakteristik pembelajaran matematika SMP adalah sebagai berikut:
a.    Tujuan pertama
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
Objek dalam pembelajaran matematika adalah: fakta, konsep, prinsip dan skills. Objek tersebut menjadi perantara bagi siswa dalam menguasai kompetensi-kompetensi dasar (KD) yang dimuat pada SI mata pelajaran matematika. Fakta adalah sebarang kemufakatan dalam matematika. Fakta matematika meliputi istilah (nama), notasi (lambang), dan kemufakatan (konvensi).  Konsep adalah ide (abstrak) yang dapat digunakan atau memungkinkan seseorang untuk mengelompokkan/ menggolongkan sesuatu obyek. Suatu konsep biasa dibatasi dalam suatu ungkapan yang disebut definisi.  Beberapa konsep merupakan pengertian dasar yang dapat ditangkap secara alami (tanpa didefinisikan). Beberapa konsep lain diturunkan dari konsep yang mendahuluinya, sehingga berjenjang. Konsep yang diturunkan tadi dikatakan berjenjang lebih tinggi daripada konsep yang mendahuluinya.
Prinsip adalah rangkaian konsep-konsep beserta hubungannya. Umumnya prinsip berupa pernyataan. Beberapa prinsip merupakan prinsip dasar yang dapat diterima kebenarannya secara alami tanpa pembuktian. Prinsip dasar ini disebut aksioma atau postulat.
Skill atau keterampilan dalam matematika adalah kemampuan pengerjaan (operasi) dan prosedur yang harus dikuasai oleh siswa dengan kecepatan dan ketepatan yang tinggi. Beberapa keterampilan ditentukan oleh seperangkat aturan atau instruksi atau prosedur yang berurutan, yang disebut algoritma, misalnya prosedur menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel.
Pada intinya tujuan pertama itu tercapai bila siswa mampu memahami konsep-konsep matematika. Mencermati tujuan pertama dari mata pelajaran matematika dalam hubungannya dengan objek matematika yang menjadi perantara siswa dalam mempelajari KD-KD pada SI maka dapat dikatakan bahwa konsep matematika yang dimaksud pada tujuan pertama meliputi fakta, konsep, prinsip dan skill atau algoritma.
b.    Tujuan Kedua
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
 Penalaran adalah suatu proses atau suatu aktivitas berfikir untuk menarik suatu kesimpulan atau proses berpikir dalam rangka membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasar pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran, dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.
Mencermati tujuan kedua maka pada intinya tujuan ini tercapai bila siswa mampu melakukan penalaran. Siswa dikatakan mampu melakukan penalaran bila ia mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c.    Tujuan Ketiga
Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Salah satu kemampuan yang diharapkan dikuasai siswa dalam belajar matematika adalah kemampuan memecahkan masalah atau problem solving. Pada intinya tujuan ketiga tercapai bila siswa mampu memecahkan masalah atau melakukan problem solving. Mencermati tujuan ketiga dari mata pelajaran matematika maka siswa dikatakan mampu memecahkan masalah bila ia memiliki kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d.   Tujuan Keempat
Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
Gagasan dan pikiran seseorang dalam menyelesaikan permasalahan matematika dapat dinyatakan dalam kata-kata, lambang matematis, bilangan, gambar, tabel. Komunikasi ide-ide, gagasan pada operasi atau pembuktian matematika banyak melibatkan kata-kata, lambang matematis, dan bilangan. Banyak persoalan ataupun informasi disampaikan dengan bahasa matematika, misalnya menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model matematika yang dapat berupa diagram, persamaan matematika, grafik ataupun tabel. Mengomunikasikan gagasan dengan matematika lebih praktis, sistematis dan efisien
Dalam kaitan dengan tujuan keempat ini, siswa dikatakan mampu dalam komunikasi secara matematis bila ia mampu mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e.    Tujuan Kelima
Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Siswa akan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan sehingga muncul rasa ingin tahu, perhatian, dan berminat dalam mempelajari matematika bila guru dapat menghadirkan suasana pembelajaran yang PAKEM (pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Pembelajaran matematika PAKEM dalam hal ini adalah pembelajaran matematika yang mampu memancing, mengajak dan membuat siswa untuk: aktif berpikir (mentalnya), kreatif (dalam berpikir), senang belajar dalam arti nyaman kondisi mentalnya karena tiadanya ancaman atau tekanan dalam belajar baik dari guru maupun dari teman-temannya, dan kompetensi yang dipelajari terkuasai. Selain menghadirkan suasana PAKEM, tujuan kelima ini juga menuntut guru untuk menghadirkan pembelajaran yang kontekstual dalam arti berkait dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Siswa akan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan sehingga muncul rasa ingin tahu, perhatian, dan berminat dalam mempelajari matematika bila guru dapat menghadirkan suasana pembelajaran yang PAKEM (pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Pembelajaran matematika PAKEM dalam hal ini adalah pembelajaran matematika yang mampu memancing, mengajak dan membuat siswa untuk: aktif berpikir (mentalnya), kreatif (dalam berpikir), senang belajar dalam arti nyaman kondisi mentalnya karena tiadanya ancaman atau tekanan dalam belajar baik dari guru maupun dari teman-temannya, dan kompetensi yang dipelajari terkuasai. Selain menghadirkan suasana PAKEM, tujuan kelima ini juga menuntut guru untuk menghadirkan pembelajaran yang kontekstual dalam arti berkait dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Untuk mencapai tujuan mata pelajaran matematika tersebut perlu strategi yang tepat, antara lain:
a.    Mencermati penguasaan kemampuan prasyarat dan mengelola pembelajaran remedial dengan sungguh-sungguh.
Kemampuan prasyarat adalah kemampuan modal yang diperlukan dalam mempelajari suatu kemampuan baru. Karena berpola pikir deduktif maka struktur materi matematika tersusun secara hirarkis yang sangat ketat. Akibat dari struktur itu maka pemahaman siswa dalam belajar matematika yang diperoleh sebelumnya sangat berpengaruh terhadap diperolehnya pemahaman berikutnya. Siswa yang penguasaan kompetensinya baik akan cenderung lancar dalam mempelajari kompetensi berikutnya dan sebaliknya. Ini berarti bahwa dalam belajar matematika, penguasaan kemampuan prasyarat sangat berperan dalam kesuksesan belajar.
b.    Mencermati penguasaan kecakapan berhitung dasar
Mengingat struktur matematika yang tersusun sangat hirarkis, maka hasil belajar berupa kecakapan berhitung dasar matematika di sekolah dasar menjadi modal dasar dalam mempelajari konsep-konsep matematika di SMP. Bila siswa telah menguasai keterampilan hitung dasar utama itu maka sebenarnya fondasi belajar matematika telah terbentuk. Kecakapan berhitung berikutnya yang harus dikuasai siswa merupakan pengembangan dari kecakapan dasar itu, atau penerapan dari kecakapan dasar itu. Oleh karena itu proses pembelajaran dan penilaian terhadap kecakapan siswa dalam berhitung dasar utama itu perlu terus menjadi perhatian dan ditindak lanjuti.
c.     Mengoptimalkan penggunaan media pembelajaran matematika
Tahap perkembangan mental siswa usia SD adalah tahap operasional konkret. Sedang siswa SMP adalah dalam kondisi peralihan dari tahap kongkret ke formal. Oleh karena itu objek kajian matematika yang abstrak itu perlu disiasati agar mudah dipelajari siswa. Untuk itu perlu digunakan media pembelajaran. Dengan pemanfaatan media pembelajaran yang optimal diharapkan kendalakendala dalam belajar matematika yang disebabkan oleh objek abstrak tidak perlu terjadi.
d.   Mendorong pengelolaan pembelajaran matematika dengan penalaran
Penalaran adalah suatu proses atau aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang benar berdasarkan pada pernyataan yang telah dibuktikan (diasumsikan) kebenarannya.
Pembelajaran matematika dengan penalaran berarti memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk aktif berpikir dan mempertanyakan hal-hal yang dipelajarinya. Siswa juga diberi kesempatan seoptimal mungkin untuk ‟menemukan‟ kembali prinsip-prinsip matematika yang dipelajarinya.
e.    Mengembangkan rancangan pembelajaran yang memenuhi standar
Setiap pelaksanaan kegiatan pembelajaran seharusnya diawali dengan suatu rancangan. Rancangan itu merupakan bagian dari persiapan mengajar. Lazimnya rancangan pembelajaran itu berbentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).

3.      Prinsip Pembelajaran Matematika
Secara singkat dapat diuraikan bahwa Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang tertuang dalam SI merupakan kompetensi minimal yang harus dikembangkan lebih lanjut. Oleh karena sangat diharapkan agar guru menggunakan metode atau strategi yang melibatkan siswa secara aktif, pengajaran disesuaikan dengan tahap perkembangan berfikir siswa, menggunakan buku yang sesuai dengan SI, menggunakan sarana yang tepat, menggunakan alat penilaian yang sesuai, serta pembuatan Silabus dan RPP yang dituangkan dalam persiapan mengajar. Disamping itu untuk siswa yang mempunyai kemampuan lebih dapat diberikan materi pengayaan, sedangkan siswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) dapat diberi pengajaran remedial.
Pada dasarnya objek pembelajaran matematika adalah abstrak. Walaupun menurut teori Piaget bahwa anak sampai umur SMP dan SMA sudah berada pada tahap operasi formal, namun pembelajaran matematika masih perlu diberikan dengan menggunakan alat peraga karena sebaran umur untuk setiap tahap perkembangan mental dari Piaget masih sangat bervariasi.
Mengingat hal-hal tersebut di atas, pembelajaran matematika di sekolah tidak bisa terlepas dari sifat-sifat matematika yang abstrak dan sifat perkembangan intelektual siswa. Karena itu perlu perlu memperhatikan karakteristik pembelajaran matematika di sekolah (Suherman, 2003) yaitu sebagai berikut:
a.       Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap)
Materi pembelajaran diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu dari hal konkrit ke abstrak, hal yang sederhana ke kompleks, atau konsep mudah ke konsep yang lebih sukar.
b.      Pembelajaran matematika mengikuti metoda spiral
Setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari sebelumnya. Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari. Pengulangan konsep dalam bahan ajar dengan cara memperluas dan memperdalam adalah perlu dalam pembelajaran matematika (Spiral melebar dan menaik).
c.       Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif
Matematik adalah deduktif, matematika tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun demikian harus dapat dipilihkan pendekatan yang cocok dengan kondisi siswa. Siswa usia SMP pada umumnya belajar matematika dengan pola pikir induktif karena disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektualnya (walaupun pola pikir deduktif sederhana juga dapat diterapkan). Dengan pola pikir induktif, siswa SMP akan lebih mudah menangkap pengertian dari objek matematika yang dipejari. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin sedikit pola pikir induktif yang diterapkan dalam belajar matematika.
d.      Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi
Kebenaran-kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsistensi, tidak bertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan yang lainnya. Suatu pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan yang terdahulu yang telah diterima kebenarannya.
Pandangan konstruktivisme (Radikal dan Sosial) beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi konstruktivisme pengetahuan tidak ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh setiap orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperanan dalam perkembanngan pengetahuannya.
Bottencourt (1989) mengemukakan bahwa beberapa hal yang membatasi konstruksi pengetahuan manusia, antara lain: (1) Konstruksi kita yang lama: hasil dan proses konstruksi pengetahuan yang lampau (mis: unsur-unsur, cara, dan aturan main yang kita gunakan untuk mengerti sesuatu, berpengaruh terhadap pembentukan pengetahuan berikutnya, (2) domain pengalaman kita: pengalaman yang terbatas akan sangat membatasi perkembangan pengetahuan kita, dalam Matematika pengalaman miskonsepsi akan mempengaruhi perkembangan matematika orang tsb, dan (3) jaringan struktur kognitif kita: ekologi konseptual (Toulmin, 1972) meliputi konsep, gagasan, gambaran, teori, dsb. saling berhubungan satu dengan lain dalam membentuk pengetahuan kita. Setiap pengetahuan baru harus cocok dengan ekologi konseptual tersebut.
Pembahasan tentang pelaksanaan kurikulum berkaitan erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Istilah belajar dapat mempunyai beberapa pengertian bergantung pada teori yang mendasarinya. Misalnya istilah belajar menurut behaviouristik diartikan sebagai perubahan perilaku. Psikologi kognitif menyatakan bahwa proses belajar berlangsung apabila siswa berasimilasi secara aktif terhadap informasi dan pengalaman baru dan kemudian mengkonstruksinya ke dalam pemahaman mereka sendiri (NCTM, 1970).
Berdasarkan pandangan ini, guru yang efektif adalah guru yang dapat menstimulasi siswanya untuk belajar. Dengan demikian siswa dikatakan belajar matematika dengan baik apabila mereka membangun sendiri pemahaman matematika. Untuk memahami apa yang mereka pelajari, mereka harus melakukan kegiatan matematika (doing math) antara lain: menyatakan, mengubah, menyelesaikan, menerapkan, mengkomunikasikan, menguji dan membuktikan (Utari, 1999: 6).
Pandangan dan pemahaman guru terhadap pengertian belajar akan mempengaruhi cara guru melaksanakan proses pembelajaran dan proses evaluasi hasil belajar siswa. Pada guru yang kurang menekankan belajar pada aspek proses tetapi lebih kepada produk, pembelajaran akan lebih berpusat kepada guru melalui pengulangan kegiatan rutin seperti penjelasan singkat materi baru, pemberian pekerjaan rumah, pemeriksaan di kelas sambil berkeliling kelas atau menjawab pertanyaan siswa. Namun guru dengan pandangan belajar sebagai proses mengkonstruksi informasi dan pengalaman baru menjadi pemahaman siswa yang bermakna, guru akan berusaha melakukan kegiatan dengan melibatkan siswa secara aktif.
Guru dengan pandangan belajar sebagai proses mengkonstruksi informasi dan pengalaman baru menjadi pemahaman siswa yang bermakna, guru akan berusaha melakukan kegiatan sebagai berikut:
a.       Memilih tugas-tugas matematika sedemikian sehingga memotivasi minat siswa dan meningkatkan keterampilan intelektual siswa.
b.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mendalami pemahaman mereka terhadap produk dan proses matematika serta penerapannya.
c.       Menciptakan suasana kelas yang mendorong dicapainya penemuan dan pengembangan idea matematika,
d.      Menggunakan dan membantu pemahaman siswa, alat-alat teknologi, serta sumber-sumber lain untuk menigkatkan penemuan matematika,
e.       Mencapai dan membantu siswa untuk mencari hubungan antara pengetahuan semula dengan pengetahuan baru;
f.       Membimbing secara individual, secara kelompok dan secara klasikal.
Untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan di atas, selain guru matematika harus menguasai matematika dengan baik, guru juga harus mempunyai pandangan terhadap pembelajaran matematika yang lebih menekankan kepada (Utari, 1999):
a.       Pengertian kelas sebagai komunitas matematika daripada hanya sebagai sekumpulan individu,
b.      Pengertian logika dan kejadian matematika sebagai verifikasi daripada guru sebagai penguasa tunggal dalam memperoleh jawaban benar,
c.       Pandangan terhadap penalaran matematika daripada sekadar mengingat prosedur atau algoritma saja,
d.      Penyusunan konjectur, penemuan dan pemecahan masalah daripada penemuan jawaban secara mekanik, dan
e.       Mencari hubungan antara ide-ide matematika dan penerapannya daripada matematika sebagai sekumpulan konsep yang saling terpisah.

DAFTAR PUSTAKA

Becker, J.P. & Shimada, S. 2003. The Open- Ended Approach: A New Proposal for Teaching Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.

Depdiknas. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang

________. 2003. Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.

________. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.

Hasan, S.H. 2009. The Use of Project-Based Learning in the Implementation of the Senior Secondary Social Studies Curriculum. Makalah dipresentasi pada Seminar International tentang Social Studies Education, PPS-UPI, Bandung, January 15, 2009
Howey, K.R. 2001. Contextual Teaching and Learning. New York: ERIC.

Kartasasmita, Bana G. Kurikulum Masa Depan Mata Pelajaran Matematika. Makalah disampaikan pada Seminar Kurikulum Matematika Masa Depan. PUSKUR Balitbang Depdiknas, Cisarua: 14 Maret 2007.

Leader, G. et al. 1995. Learning Mathematics in Context, (Ed) In J. Wakefield & L. Velardi. Melbourne: The Mathematical Association of Victoria.

Longstreet,W.S. dan Shane, H.G. 1993. Curriculum for a New Millennium. Needham Heights. MA: Allyn & Bacon.

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.

_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.

_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23 dan 24 Tahun 2007

Russefendi, H.E.T. RME dalam Pembelajaran Matematika, Makalah disampaikan pada Penataran Dosen UIN Syarif Hiadayatullah – Mc.Gill Project, 2 Oktober 2003.

Sadulloh. 1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek.

Suherman, Erman. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI, 2003.

Sumarmo, Utari. 1999. Implementasi Kurikulum Matematika pada Sekolah Dasar dan Menengah. Bandung: IKIP Bandung.

Taba, H. 1962. The Development of Curriculum: Theory into Practice. New York: Hardcourt Brace and World

Tanner, D dan Tanner, L.N. 1980. Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc.

The National Council of Teachers of Mathematics. 1970. The Teaching of Secondary School Mathematics. United States of America: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.

Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran. 2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Unruh, G.G. dan Unruh, A. 1984. Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERMASALAHAN DAN KEMUNGKINAN SOLUSI DALAM PENGEMBANGAN LPTK

MAKALAH PENGEMBANGAN ETNOMATEMATIKA BERORIENTASI LEARNING TRAJECTORY

KAJIAN PETA FILSAFAT DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN