PENGEMBANGAN KURIKULUM MATEMATIKA SMP
PENGEMBANGAN
KURIKULUM MATEMATIKA SMP
Disusun untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Kajian Kurikulum Pendidikan Matematika
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Disusun oleh:
DAFID SLAMET SETIANA (14703261004)
PROGRAM STUDI ILMU
PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA
2015
PENGEMBANGAN KURIKULUM
MATEMATIKA SMP
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang
sangat berhubungan erat dengan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, untuk menghadapi
masa depan, matematika harus dipelajari siswa karena kegunaannya yang penting
dalam kehidupan. Penerapan matematika akhir-akhir ini telah berubah banyak dan
cepat karena kehadiran dan perkembangan teknologi elektronik dalam dunia kerja.
Pembelajaran matematika di tingkat satuan pendidikan harus dapat menyesuaikan
diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang
berlangsung. Kurikulum mata pelajaran matematika harus dirancang tidak hanya
untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi siswa, tetapi juga untuk memasuki dunia
pasar kerja. Pengembangan kurikulum matematika yang sedang berlangsung sekarang
ini harus dipersiapkan dengan matang, dan dihasilkan dari kerja sama dan
pertimbangan stakeholders.
Upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan terlihat
melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-undang ini mengamanatkan pembaharuan yang besar dalam sistem pendidikan
kita. Sebagai kelanjutan dari Undang-undang tersebut, untuk pertama kalinya
dalam pendidikan kita diharuskan ada standar nasional untuk isi atau disingkat
Standar Isi (SI) melalui Permen No. 22 Tahun 2006. Karena standar ini bersifat
nasional, maka haruslah setelah beberapa waktu SI tersebut dipenuhi oleh semua
sistem pendidikan di Nusantara. Mengacu kepada SI ini juga standar yang lain
seperti standar kompetensi guru dan standar buku/bahan ajar matematika dapat
disusun rambu-rambu untuk menyusun kurikulum matematika.
Namun demikian setelah kurang lebih satu tahun
dikeluarkannya Permen No. 22 Tahun 2006 tentang SI, ternyata masih mengalami
masalah atau hambatan khususnya pada pelajaran matematika baik dari aspek
pemahaman guru tentang dokumen SI maupun dalam aspek implementasi SI (proses
penyusunan program dan kegiatan belajar-mengajar di kelas). Permasalahan
tersebut antara lain kepadatan materi, SK dan KD dalam standar isi mata
pelajaran matematika walaupun sudah merupakan perampingan dari kurikulum
terdahulu. Namun dalam pelaksanaannya masih dirasakan padat oleh sebagian guru.
Hal ini disebabkan SK dan KD berpotensi menimbulkan multi-interpretasi karena
sifatnya yang terlalu umum bagi guru. Di samping itu masih ditemukan adanya
tumpang tindih KD, seperti beberapa kompetensi dengan indikator dan tujuan sama (over lapping) tetapi dituliskan dalam KD yang berbeda.
Dari aspek penjabaran SK dan KD untuk implementasi
standar isi ditemukan beberapa kesulitan dalam penjabaran dokumennya, mulai
dari menetapkan indikator pencapaian hasil belajar dari SK dan KD, sampai pada
pembatasan dan penyusunan materi pembelajaran. Juga dalam hal, penyusunan
Silabus dan RPP, kenyataan di lapangan guru hanya menggandakan silabus dan RPP
yang sudah diterbitkan dari berbagai sumber. Hal ini dilakukan karena
keterbatasan kemampuan guru untuk menyusun secara mandiri (sendiri-sendiri atau
berkelompok).
Pengembangan KTSP, seharusnya disusun bersama-sama
oleh guru, komite sekolah, konselor (guru BP/BK), dan nara sumber, dengan
Kepala Sekolah sebagai ketua merangkap anggota, dan disupervisi oleh Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota. Fakta di lapangan banyak ditemukan KTSP hanya
mengadopsi dari contoh model yang ada, sehingga dokumen tersebut tidak dapat
dikembangkan secara efektif walaupun sekolah memiliki potensi. Bahkan dalam
aspek penilaian, pelaksanaan penilaian yang selama ini diterapkan hanya mengacu
pada materi tanpa melihat indikator, sehingga tidak mengukur kompetensi yang
hendak dicapai. Pemahaman guru mengenai aspek penilaian seperti pemahaman
konsep, penerapan dan komunikasi, dan pemecahan masalah, serta kognitif, afektif,
dan psikomotor sangat kurang.
2.
Landasan
Yuridis
Secara yuridis, pengembangan kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Dasar (SMP) didasarkan atas beberapa peraturan, yaitu :
a. Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bab IX : Standar
nasional Pendidikan
Pasal 35 ; ayat (1) :
Standar Isi merupakan bagian integral dari Standar Nasional Pendidikan, ayat
(2) : Standar Isi dijadikan acuan pengembangan kurikulum, dan ayat (4) :
Standar isi lebih lanjut diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Bab X : Kurikulum
Pasal 36 ; ayat (1) :
Pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Isi, ayat (2): Kurikulum SMP
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai satuan pendidikan, potensi
daerah dan peserta didik, dan ayat (3): Kurikulum SMP harus memperhatikan
peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan nasional;
tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; agama;
dinamika perkembangan global; persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Pasal 37; ayat (1):
Kurikulum Pendidikan Dasar wajib memuat: pendidikan agama; pendidikan
kewarganegaraan; bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; ilmu pengetahuan
sosial; seni dan budaya; pendidikan jasmani dan olah raga; keterampilan/
kejuruan; muatan lokal.
Pasal 38; ayat (1):
Kerangka dasar dan struktur kurikulum Pendidikan dasar ditetapkan pemerintah,
dan ayat (2) : Kurikulum pendidikan dasar dikembangkan oleh satuan pendidikan, komite
sekolah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan.
b. PP
No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Bab III : Standar Isi
Pasal 5; ayat (1):
standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai
kompetensi lulusan, dan ayat (2): standar isi memuat kerangka dasar dan
struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan
kalender pendidikan.
Pasal 6 Kerangka dasar
dan struktur kurikulum.
Ayat (1): Kurikulum SMP
terdiri atas: kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata
pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata
pelajaran jasmani, oleh raga, dan kesehatan, ayat (4) : setiap kelompok mata
pelajaran dilaksanakan secara holistik, ayat (5) : semua kelompok mata
pelajaran sama pentingnya dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan dasar
Pasal 7; ayat (1):
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SMP/MTs dilaksanakan
melalui kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, lmu pengetahuan dan
teknologi, estetika, jasmani, olah raga dan kesehatan, ayat (2): kelompok mata
pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian SMP/MTs dilaksanakan melalui muatan
atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarnegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan
pendidikan jasmani, ayat (3): kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi pada SMP/MTs dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa,
matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan
dan/atau teknologi informasi, serta muatan lokal yang relevan, ayat (4):
kelompok mata pelajaran estetika pada SMP/MTs dilaksanakan melalui muatan
dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang
relevan; ayat (5): kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan
ada SMP/MTs dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pendidikan jasmani,
olah raga, pendidikan kesehatan, ilmu pengetahuan alam, dan muatan lokal yang
relevan.
Pasal 10; Beban Belajar
Ayat (1): Beban belajar
SMP/MTs menggunakan jam pembelajaran setiap minggu setiap semester dengan tatap
muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur sesuai
kebutuhan dan ciri khas masing-masing, ayat (3): Ketentuan beban belajar, jam
pembelajaran, waktu efektif tatap muka, dan persentase beban belajar setiap
kelompok mata pelajaran ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan
BSNP.
Pasal 17; ayat (1):
Kurikulum tingkat satuan pendidikan SMP/MTs dikembangkan sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat
setempat, dan peserta didik.
c. UU
No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
d. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No. 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar.
e.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 23 tahun
2006 tentang standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar.
f. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No. 24 tahun 2006 pelaksanaan Permen No. 22 tentang standar isi untuk
satuan pendidikan dasar dan menengah
g. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar
Penilaian
h. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Standar
Buku
i.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana
j.
Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2007 Tentang Standar Pengelolaan
k. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Pendidik
dan Tenaga Kependidikan
B.
KONSEP
DASAR KURIKULUM
a.
Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Pertautan antara satu komponen dan komponen pendidikan lainnya dapat dilihat
pada bagan berikut:
Gambar 1.
Komponen-Komponen Utama Pendidikan
Dari gambar 1 nampak bahwa pendidikan
berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu
peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Pendidikan dalam lingkungan
sekolah lebih bersifat formal. Guru sebagai pendidik di sekolah telah
dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. Ia telah mempelajari
ilmu, keterampilan, dan seni sebagai guru. Ia juga telah dibina untuk memiliki
kepribadian sebagai pendidik. Guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik
dengan rencana dan persiapan yang matang. Mereka mengajar dengan tujuan yang
jelas, bahan-bahan yang disusun secara sistematis dan rinci, dengan cara dan
alat-alat yang telah dipilih dan dirancang secara cermat.
Adanya rancangan atau kurikulum formal dan
tertulis merupakan ciri utama pendidikan di sekolah. Dengan kata lain,
kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan di sekolah. Apabila kurikulum
merupakan syarat mutlak, hal itu berarti bahwa kurikulum merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran. Setiap praktik pendidikan
diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, apakah berkenaan dengan
penguasaan pengetahuan, pengembangan pribadi, kemampuan sosial ataupun
kemampuan bekerja. Untuk menyampaikan bahan pelajaran, ataupun mengembangkan
kemampuan-kemampuan tersebut diperlukan metode penyampaian serta alat-alat
bantu tertentu. Untuk menilai hasil dan proses pendidikan, juga diperlukan cara
dan alat-alat penilaian tertentu pula. Keempat hal tersebut, yaitu tujuan,
bahan ajar, metode dan alat, serta penilaian merupakan komponen-komponen utama
kurikulum. Dengan berpedoman pada kurikulum, interaksi pendidikan antara guru
dan siswa berlangsung. Interaksi ini selalu terjadi dalam lingkungan fisik,
alam, sosial budaya, ekonomi, politik dan religi.
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam
seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktifitas
pendidikan demi tercapaianya tujuan-tujuan pendidikan. Kurikulum juga merupakan
suatu rencana pendidikan memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis,
lingkup, dan urutan isi serta proses pendidikan. Dengan kata lain, mutu bangsa
di kemudian hari bergantung pada pendidikan yang ditempuh oleh anak-anak
sekarang, terutama melalui pendidikan formal yang diterima di sekolah. Apa yang
akan dicapai disekolah, ditentukan oleh kurikulum sekolah itu. Jadi barangsiapa
yang menguasai kurikulum memegang nasib bangsa dan negara. Maka dapat dipahami
bahwa kurikulum sebagai alat bantu yang vital bagi perkembangan bangsa sehingga
dapat dipahami bahwa betapa pentingnya usaha mengembangkan kurikulum.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di
setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi
akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral
ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari
pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak
dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi
tersebut. Dalam posisi ini maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas
lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah
lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan
khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap
masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan academic accountability dan legal accountability berupa kurikulum.
Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik
apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus
melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apa yang akan
dihasilkan atau pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut
tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji
kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pengertian intrinsik kependidikan maka
kurikulum adalah jantung pendidikan. Artinya, semua gerak kehidupan
kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan
kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa
yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas
yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami
peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan
berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan
apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan
berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum
adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa
kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka
kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif
dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang
maksimal.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat
disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah construct yang dibangun untuk
mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya
untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum
berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung
posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban
untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang berkenaan dengan pendidikan.
Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan
filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun
kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai
rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan
kehidupan masa depan.
b.
Pengertian Kurikulum
Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata dalam Bahasa Latin curir yang artinya pelari, dan curere
yang artinya tempat berlari, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus
ditempuh oleh pelari mulai dari garis start sampai dengan finish. Dengan
demikian, istilah kurikulum pada awalnya berasal dari dunia olah raga pada
zaman Romawi kuno di Yunani, dan kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan.
Pengertian
tersebut kemudian digunakan dalam dunia pendidikan, dengan pengertian sebagai
rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari
peserta didik dalam menempuh pendidikan di lembaga pendidikan.
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar. Bahwa kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan kesesuaiannya dengan
lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan Iptek serta jenjang
masing-masing satuan pendidikan (UU No. 2 Tahun 2000 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional).
John Franklin Bobbit (1918) dalam bukunya The Curriculum menyebutkan
bahwa said that curriculim, as an
idea, has its roots in the Latin word for race-course, explaining the
curriculum as the course of deeds and experiences through which children become
the adults they should be, for success in adult society. Furthermore, the
curriculum encompasses the entire scope of formative deed and experience
occurring in and out of school, and not experiences occurring in school;
experiences that are unplanned and undirected, and experiences intentionally directed
for the purposeful formation of adult members of society.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Curriculum).
Secara
bebas, kutipan tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Di dalam The
Curriculum, buku teks pertama yang diterbitkan
tentang mata kuliah itu pada tahun 1918, John Franklin Bobbit mengatakan bahwa
kurikulum, sebagai satu gagasan, memiliki akar kata Bahasa Latin race course
(tempat berlari), yang menjelaskan bahwa kurikulum sebagai mata pelajaran dan
pengalaman yang harus diperoleh anak-anak sampai menjadi dewasa, agar kelak
sukses setelah menjadi dewasa. Lebih dari itu, kurikulum merupakan keseluruhan
kegiatan dan pengalaman yang diperoleh di dalam dan di luar sekolah, pengalaman
yang direncanakan dan yang tidak direncanakan, serta pengalaman yang secara
sungguh-sungguh diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan warga masyarakat
orang dewasa.
In formal education or schooling (cf. education),
a curriculum is the set of
courses, course work, and content offered at a school or university.
A curriculum may be partly or entirely determined by an external, authoritative
body (i.e. the National Curriculum for England in English schools).
In the U.S., each state, with the individual school districts,
establishes the curricula taught. Each state, however, builds its curriculum
with great participation of national academic subject groups selected by the United
States Department of Education, e.g. National Council of Teachers of
Mathematics (NCTM) for mathematical instruction. In Australia each
state's Education Department establishes curricula. UNESCO's International
Bureau of Education has the primary mission of studying curricula and their
implementation worldwide.
Curriculum means two things: (i) the
range of courses from which students choose what subject matters to study, and
(ii) a specific learning program. In the latter case, the curriculum
collectively describes the teaching, learning, and assessment materials
available for a given course of study.
Secara terminologis, istilah kurikulum yang digunakan dalam dunia
pendidikan mengandung pengertian sebagai sejumlah pengetahuan atau mata
pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa untuk mencapai satu
tujuan pendidikan atau kompetensi yang ditetapkan. Sebagai tanda atau bukti
bahwa seseorang peserta didik telah mencapai standar kompetensi tersebut adalah
dengan sebuah ijazah atau sertifikat yang diberikan kepada peserta didik.
Pengertian kurikulum berkembang sejalan
dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan
aliran atau teori pendidikan yang dianutnya, antara lain:
1)
J. Lioyad Trump dan Delmas F.
Miller
Kurikulum adalah metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi
murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan,
supervisi dan administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah
ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.
2)
Saylor dan Alexander
Kurikulum adalah tidak terbatas pada mata pelajaran, akan tetapi
juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan di luar kelas, yang berada
dibawah tanggungjawab sekolah.
3)
B. Othanel Smith, W.O. Stanley,
dan J. Harlan Shores
Kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat
diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berpikir dan berbuat sesuai
dengan masyarakatnya.
4)
Alice Miel
Kurikulum adalah segala pengalaman dan pengaruh yang bercorak
pendidikan yang diperoleh anak di sekolah.
5)
Pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Dewasa ini terdapat banyak sekali definisi
kurikulum, yang jika dipelajari secara mendalam ternyata dipengaruhi oleh
filosofi atau aliran filsafat tertentu. Pertama, pakar kurikulum yang beraliran perenialisme mendefinisikan
kurikulum sebagai subject matter atau mata pelajaran, content
atau isi, dan transfer of culture atau alih kebudayaan (Tanner dan
Tanner, 1980: 104). Kedua, pakar kurikulum yang menganut aliran essesialisme mendefinisikan
kurikulum sebagai academic exellence atau keunggulan akademis dan cultivation
of intellect atau pengolahan intelek.
Persamaan kedua aliran tersebut sama-sama
mengagungkan keunggulan akademis dan intelektualitas. Sedangkan perbedaannya,
aliran perenialisme menitikberatkan pada tradisi intelektualitas Bangsa Barat,
seperti membaca, retorika, logika, dan matematika, sementara aliran esensialisme
mengutamakan disiplin akademis yang lebih luas seperti Bahasa Inggris,
matematika, sains, sejarah, dan bahasa-bahasa modern.
Kedua aliran tersebut termasuk kelompok
aliran konservatif. Di samping
itu ada kelompok aliran progresif, yang lebih memandang kurikulum — bukan hanya
untuk meneruskan tradisi intelektualitas masa lalu — tetapi juga untuk memenuhi
tuntutan perubahan masa sekarang dan masa depan, Termasuk kelompok aliran progresif adalah aliran romantis naturalisme, eksistensialisme,
eksperimentalisme, dan rekonstruksionisme.
Menurut aliran rekonstruksionisme, kurikulum
tidak hanya berfungsi untuk melestarikan budaya atau apa yang ada pada saat
sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan di masa depan.
Menurut McNeil (1977: 19), kurikulum berfungsi untuk membentuk masa depan atau shaping the future, bukan hanya adjusting,
mending or reconstructing the existing conditions of the life of community.
McNeil menjelaskan bahwa:
Social reconstructionists are opposed to
the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing
society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering
critical discontent and for equipping learners with the skills needed for
conceiving new goals and affecting social change.
George Beauchamp (1972) mencoba
mengelompokkan definisi kurikulum dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang
mendefinisikan bahwa kurikulum adalah a plan for subsequent action. Kedua,
adalah kelompok yang menyatakan bahwa kurikulum tidak lain adalah pengajara dan
pembelajaran (curriculum and instruction as synonums or a unified concept).
Ketiga, kelompok yang mendefiniskan sebagai istilah yang sangat luas, yang
meliputi proses psikologikan peserta didik sebagai pengalaman belajar (a
very broad term, encompassing the learner's psychological process as she or he
acquires educational experiences).
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat
kita tinjau dari berbagai segi. Setidaknya ada tiga konsep tentang kurikulum,
yaitu: kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem dan sebagai bidang studi.
Konsep pertama, kurikulum sebagai substansi. Kurikulum adalah seperangkat
dokumen tertulis yang berisi rencana dan peraturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, jadwal, evaluasi serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pembelajaran tertentu.
Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu
sistem. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sstem
pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur
personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum,
melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya. Hasil suatu sistem kurikulum
adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah
bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
Konsep ketiga, adalah kurikulum sebagai
suatu bidang studi. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli
pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah
mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang
mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum.
Melalui studi kepustakaan dan berbagainkegiatan penelitian dan percobaan,
mereka menemukan hal-hal baru yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi
kurikulum.
Pembahasan
mengenai kurikulum dapat ditelaah dari tiga sudut pandang. Pandangan pertama,
berhubungan dengan aspek teori dan terlukis dalam kurikulum berdasarkan apa
yang tercantum dalam dokumen tertulis. Kurikulum sekolah dalam dokumen tertulis
atau dikenal dengan istilah intended curriculum memuat tiga hal, yaitu
(1) dokumen yang memuat garis-garis besar pokok bahasan (SI), (2) dokumen yang
memuat panduan pelaksanaan pembelajaran, dan (3) dokumen buku yang memuat
panduan penilaian hasil belajar siswa.
Kurikulum dalam pandangan kedua tercermin dalam
proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di kelas atau dikenal dengan
istilah implemented curriculum. Kurikulum
dalam pandangan kedua ini pada hakekatnya adalah pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar termasuk pelaksanaan penilaian hasil belajar siswa oleh guru.
Sedangkan pandangan ketiga yang dikenal performanced curriculum adalah
kurikulum yang tercermin dalam belajar yang dicapai siswa pada akhir satuan
waktu pembelajaran, mulai dari satuan
terkecil yaitu Rencana Pelakasanaan Pembelajaran (RPP) sampai dengan satuan
terbesar yaitu satu jenjang pendidikan. Sejalan dengan ketiga pandangan
tersebut maka kualitas pendidikan matematika pada tiap jenjang pendidikan dapat
ditinjau dari kualitas kurikulum tertulis dan relevansinnya dengan pelaksanaan
kurikulum oleh guru, dan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.
Kurikulum dalam dokumen tertulis pada umumnya
disusun oleh para pakar bidang studi, guru bidang studi yang sejenis yang telah
berpengalaman serta pihak lain yang berwenang. Betapapun tingginya kualitas
kurikulum dalam dokumen tertulis tanpa implementasi kurikulum yang ditampilkan
oleh guru dengan baik, maka kualitas pendidikan yang tinggi sulit terwujud.
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan memerlukan pembahasan yang saling
terkait mengenai ketiga pandangan kurikulum di atas. Pada saat ini titik tolak
pandangan pada pengkajian kurikulum tertulis yang tertuang dalam dokumen
Standar Isi (SI), dengan asumsi bahwa jika SI sudah memadai dan relevan dari
aspek pedagogik, sequensinya sesuai perkembangan mental anak, serta mampu
mengakomodir perkembangan iptek menjadi dasar yang tepat untuk melakukan
implementasi kurikulum di tingkat satuan pendidikan terutama pada upaya
penyiapan pembekalan penguasaan proses pembelajaran matematika oleh guru.
Mengacu pada pembahasan di atas, fokus pembahasan
kurikulum dapat ditelaah dari tiga aspek, yaitu Intended Curriculum,
Implemented Curriculum, dan Attained Curriculum.
Aspek pertama, Intended
Curriculum merupakan muatan dalam dokumen tertulis yang tercermin dalam
pedoman kurikulum atau SI, Silabus, RPP, dan buku teks untuk tiap jenjang
satuan pendidikan. Di negara kita, Intendid
Curriculum mengandung dua macam muatan yang bersifat nasional (Kurikulum
Nasional) dan ditetapkan oleh Mendiknas dan yang bersifat lokal yang ditetapkan
oleh daerah berdasarkan kondisi dan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Evaluasi mutu pendidikan pada satu jenjang pendidikan tertentu dapat
dilaksanakan melalui analisis terhadap Intended
Curriculum atau dokumen tertulis kurikulum pada jenjang yang bersangkutan.
Aspek kedua, Implemented
Curriculum merupakan kurikulum yang berlangsung di kelas atau tergambar
dalam kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan oleh guru. Dengan kata lain, Implemented Curriculum berhubungan
dengan kenyataan apa yang terjadi di kelas atau apa yang diajarkan guru dan
bagaimana cara guru mengerjakannya.
Aspek ketiga, Attained
Curriculum merupakan kurikulum yang tercermin dalam hasil belajar siswa
baik bersifat kognitif, afeksi, maupun psikomotor. Penilaian hasil belajar oleh
pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugasan
perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik
kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik. Perancangan strategi
penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang
penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Konstelasi ketiga aspek tersebut, disajikan sebagai berikut.
Diagram 1: Tiga Aspek Kurikulum
Perlu
diketahui bahwa pada prinsipnya kurikulum sebagaimana yang dituangkan dalam SI
terbuka peluang untuk mengalami perubahan. Sejarah perubahan dalam perkembangan
kurikulum kita terlihat pada perubahan dan penyempurnaan GBPP 1994 yang
melahirkan suplemen GBPP tahun 1999. Penyesuaian dan penyempurnaan tersebut
didasarkan pada hasil kajian, penelitian, dan masukan dari lapangan serta
masukan instansi terkait.
Secara
umum perubahan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Suherman, 2003: 69):
a. Membuang
pokok bahasan yang kurang esensial atau kurang relevan,
b. Menunda
pembahasan pada kelas yang lebih tinggi dan sebaliknya,
c. Menjadikan
materi wajib menjadi pengayaan dan sebaliknya,
d. Menambah
materi esensial yang diperlukan,
e. Menata
urutan dan distribusi pokok bahasan,
f. Menyempurnakan
redaksi kalimat yang dianggap kurang jelas.
c.
Komponen Kurikulum
Dari definisi kurikulum sebagaimana telah
dirumuskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
kita dapat menyimpulkan bahwa kurikulum itu terdiri dari beberapa komponen
utama:
a.
Isi dan bahan pelajaran;
b.
Cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran;
c.
Tujuan pendidikan yang akan
dicapai
Seperti yang dikatakan Ralp W. Tyler dalam
bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction, salah satu buku
yang paling berpengaruh dalam pengembangan kurikulum, mengajukan empat
pertanyaan mendasar yang harus dijawab dalam mengembangkan kurikulum dan
rencana pengajaran, yaitu:
a.
Apa tujuan yang harus dicapai
oleh sekolah?
b.
Pengalaman-pengalaman belajar
seperti apa yang dapat dilaksanakan guna mencapai tujuan dimaksud?
c.
Bagaimana pengalaman belajar
diorganisasikan secara efektif?
d.
Bagaimana cara menentukan bahwa
tujuan pendidikan telah dapat dicapai?
Berdasarkan pertanyaan itu, maka diperoleh
keempat komponen kurikulum, yakni:
a.
tujuan
b.
bahan pelajaran
c.
proses belajar mengajaar
d.
evaluasi atau penilaian
Keempat komponen tersebut dapat kita
gambarkan dalam bagan sebagai berikut:
a.
Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi
manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti
kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang
disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber
daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal
menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti
yang disampaikan oleh Hummel (Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara
universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
1)
Autonomy; gives individuals
and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage
their personal and collective life to the greatest possible extent.
2)
Equity; enable all citizens
to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic
education.
3)
Survival ; permit every
nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but
also guide education towards mutual understanding and towards what has become a
worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan
pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan
pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan
institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis
maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu. Dalam Permendiknas No.
22 Tahun 2006 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan
dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
1)
Tujuan pendidikan dasar adalah
meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2)
Tujuan pendidikan menengah
adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3)
Tujuan pendidikan menengah
kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak
mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut
kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan
yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap
sekolah atau satuan pendidikan. Berikut ini disampaikan tujuan kurikuler mata
pelajaran matematika, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Tujuan Mata Pelajaran
matematika yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1)
Memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma,
secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
2)
Menggunakan penalaran pada pola
dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun
bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika
3)
Memecahkan masalah yang
meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan
model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
4)
Mengomunikasikan gagasan dengan
simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
5)
Memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian,
dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari
pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak
dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih
lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan
pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan
pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang what
will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to
do before (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata
lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan
perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses
pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut
meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Lebih jauh
lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997)
memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan
pembelajaran, yakni :
1)
Menggambarkan apa yang
diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan
kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan
stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan
tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang
dapat diajak bekerja sama.
2)
Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan
oleh peserta didik, dalam bentuk: (1) ketepatan atau ketelitian respons; (2)
kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
3)
Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan
yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (1) kondisi atau lingkungan
fisik; dan (2) kondisi atau lingkungan psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini
memiliki arti yang sangat penting. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran
pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan
pendidikan pada tingkat berikutnya. Terlepas dari rangkaian tujuan di atas
bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang
melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat
klasik (perenialisme, essensialisme,
eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih
banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan
pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif. Apabila
kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan
lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan
lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif. Pengembangan
kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar
utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah
sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan
menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan
teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan
yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan
tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori
pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh
karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat
kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik
dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam
menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara berimbang.
b.
Bahan Ajar
Dalam menentukan materi pembelajaran atau
bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti
telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat
klasik (perenialisme, essensialisme,
eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama.
Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam
bentuk :
1)
Teori; seperangkat konstruk atau konsep,
definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat
sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan-hubungan antara
variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2)
Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh
organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari
sekelompok fakta atau gejala.
3)
Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan
hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam
penelitian.
4)
Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada
dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
5)
Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang
berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
6)
Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi
yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta
kejadian.
7)
Istilah; kata-kata perbendaharaan yang baru dan
khusus yang diperkenalkan dalam materi.
8)
Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau
proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
9)
Definisi, yaitu penjelasan tentang makna atau
pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
10) Preposisi,
yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai
tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada
filsafat progresivisme lebih
memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh
karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh
peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat
konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk
tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang
krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi
pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari
disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang
esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran
atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub
kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak
bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat
perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran. Namun dalam implementasinya
sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu
filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik
dan fleksibel.
Berkenaan dengan penentuan materi
pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki
wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu
memperhatikan hal-hal berikut :.
1)
Sahih (valid); dalam arti materi yang
dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan
kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang
aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke
depan.
2)
Tingkat kepentingan; materi yang dipilih
benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut
penting untuk dipelajari.
3)
Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat
memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu
memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan
lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis
dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan
sehari-hari.
4)
Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk
dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak
terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan
kondisi setempat.
5)
Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya
menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih
lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk
mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
c.
Proses Belajar Mengajar
(Pembelajaran)
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari
filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat
perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya
memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak
dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan
informasi-intelektual, sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan
pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan
budaya ataupun keabadian,
maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru.
Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai
pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai
obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan
teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositori)
secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung
lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada
guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan
progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah
peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan
tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan
bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai
tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat
dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses
pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik
pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi
lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok
(kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role
playing, diskusi, dan sejenisnya. Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan
intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider.
Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan
belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya
untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan
perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider,
guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya
secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran
berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa
implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih
bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik,
tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik
untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan
peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti
melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran
teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya
mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan
belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak
kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi
pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri. Oleh karena itu,
dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi
pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan
siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan
menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
d.
Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu komponen
kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk
memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan
melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa
: curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and
progress of students toward objectives or values of the curriculum
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas,
evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara
keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi
tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi,
kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Taba, H (1962) menjelaskan
hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi; objective, it’s scope, the quality of
personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance
of various subject, the degree to which objectives are implemented, the
equipment and materials and so on.
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau
tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan
diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk
mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja
dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang
perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna
diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikiran Doll,
dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu acknowledge presence of
value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity,
diagnostics worth and validity and integration.
Evaluasi kurikulum juga bervariasi,
bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi
yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen
yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi
kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif,
seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain.
Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventory, interview,
catatan anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting,
baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan
keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat
digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum
dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan
model kurikulum yang digunakan.
Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat
digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya
dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan
pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta
fasilitas pendidikan lainnya. Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997)
mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan
penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan
campuran multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa model
evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process
dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran
pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta
didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan
mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud
membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan
sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment
mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan
oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi,
yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat
dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program
pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut
adalah, sebagai berikut :
1)
Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis
tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang
bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan,
sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah
ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2)
Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan
pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang
dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang
digunakan dan sebagainya.
3)
Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi :
pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh
para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
4)
Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup :
jangka pendek dan jangka lebih panjang.
Keempat komponen yang ada dalam kurikulum
yakni: tujuan, bahan pelajaran, proses belajar mengajar, dan evaluasi atau
penilaian saling berhubungan. Setiap komponen bertalian erat dengan ketiga
komponen lainnya. Tujuan menentukan bahan apa yang akan dipelajari, bagaimana
proses belajarnya, dan apa yang harus dinilai. Demikian pula penilaian dapat
mempengaruhi komponen lainnya. Pada saat dipentingkannya evaluasi dalam bentuk
ujian, maka timbul kecenderungan untuk menjadikan bahan ujian sebagai tujuan
kurikulum, proses belajar mengajar cenderung mengutamakan latihan dan hafalan.
Bila salah satu komponen berubah, misalnya ditonjolkannya tujuan yang baru atau
proses belajar-mengajar, misalnya metode baru, atau cara penilaian, maka semua
komponen lainnya turut mengalami perubahan. Apabila tujuannya jelas, maka bahan
pelajaran, PBM maupun evaluasi pun lebih jelas.
d.
Terminologi Dalam Kurikulum
Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita mengenal beberapa
istilah kurikulum sebagai berikut:
a.
Core Curriculum mengandung
1)
Tujuan yang mendasar
2)
Materi atau bahan yg teridiri
dari atas berbagai pengalamn belajar yang disusun atas dasar unit kerja
3)
Metode yang digunakan
4)
Bimbingan belajar yang
diperlukan
b.
Hidden Curriculum
Kurikulum yang tersembunyi yaitu hal-hal
yang berhubungan dengan pendidikan moral dan peran guru dalam
mentransformasikan standar moral. Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika
mengajar di kelas, sebagai contoh, akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan
berpengaruh kepada pembentukan kepribadian peserta didik.
c.
Curriculum Fondation, atau asas-asas
kurikulum dengan memperhatikan filsafat bangsa, keadaan masyarakat dan
kebudayaan
d.
Curriculum Construction, membahas
berbagai komponen dengan berbagai pertanyaan
1)
Apa yang dimaksud dengan
masyarakat yang baik ?
2)
Kemana arah dan tujuan pendidikan
?
3)
Apa hakikat manusia ?
4)
Bagaimana merancang kurikulum?
5)
Materia apa yang diberikan ?
e.
Curriculum Development, pengembangan
kurikulum membahas berbagai macam model pengalaman kurikulum, dalam hal ini
siapa yg berkepantingan, guru, tenaga kependidikan, orang tua atau siswa ?
f.
Curriculum Implementation, seberapa jauh
kurikulum dilaksanakan di lapangan.
g.
Curriculum Enggineering, proses
yang memfungsikan sistem kurikulum di sekolah dengan menghasilkan kurikulum,
melaksanakan kurikulum dan menilai keefektifan kurikulum dan sistemnya.
h.
Kurikulum formal adalah
rancangan di mana aktifitas pembelajaran dijalankan supaya objektif pendidikan
dan sekolah tercapai yang merupakan satu dokumen untuk dilaksanakan yang
berstruktur dengan kandungan dan pengalaman bekajar serta hasil yang dijangkau
berupa rancangan ekspkisit dan operasional yang diinginkan.
i.
Ideal kurikulum adalah
kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu yang dicita-citakan
sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen kurikulum
j.
Real kurikulum adalah kurikulum
yang menyangkut semua perubahan pada nilai persepsi dan tingkah laku yang
berlaku yaitu hasil dari pengalaman persekolahan.
k.
Aktual kurikulum adalah
kurikulum yang menyangkut pengalaman belajar untuk membantu murid menyepadankan
pengetahuan baru dan memurnikan bagi melahirkan akal melalui banding beda,
membuat induksi, deduksi dan menganalisis yang memberikan murid peluang untuk
menggunakan pengetahuaan secara bermakna bagi mereka membuat keputusan dan
untuk membentuk pikiran kritikal, kreatif dan futuristic.
Berdasarkan struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan, kurikulum
dapat dibedakan menjadi:
1)
Kurikulum terpisah-pisah (separated
curriculum), kurikulum yang mata pelajarannya dirancang untuk diberikan
secara terpisah-pisah. Misalnya, mata pelajaran sejarah diberikan terpisah
dengan mata pelajaran geografi, dan seterusnya. Kurikulum sebelum tahun 1968 di
Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum terpisah-pisah.
2)
Kurikulum terpadu (integrated
curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya diberikan secara terpadu.
Misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari beberapa mata pelajaran
sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam proses
pembelajaran dikenal dengan pembelajaran tematik yang diberikan di kelas rendah
Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika, sains, bahasa Indonesia, dan beberapa
mata pelajaran lain diberikan dalam satu tema tertentu. Kurikulum 1968 di
Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum terpadu.
3)
Kurikulum terkorelasi (corelated
curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya dirancang dan disajikan secara
terkorelasi dengan bahan ajar yang lain.
Berdasarkan proses pengembangannya dan ruang lingkup penggunaannya,
kurikulum dapat dibedakan menjadi:
1)
Kurikulum nasional (national
curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh tim pengembang tingkat
nasional dan digunakan secara nasional.
2)
Kurikulum negara bagian (state
curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh masing-masing negara bagian,
misalnya di masing-masing negara bagian di Amerika Serikat, dan digunakan oleh
masing-masing negara bagian itu.
3)
Kurikulum sekolah (school
curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan sekolah.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum sekolah.
Kurikulum sekolah lahir dari keinginan untuk melakukan diferensiasi dalam
kurikulum.
C.
WAWASAN
PENGEMBANGAN KURIKULUM
Menurut
Unruh dan Unruh (1984), proses pengembangan kurikulum adalah a complex
process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing
for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and
personal needs that the curriculum is to serve. Kurikulum memang harus
dibuat. Disusun dengan proses tertentu. Negara yang memiliki UU tentang Sistem
Pendidikan Nasional mempunyai kepentingan untuk menyusun kurikulum tersebut
berdasarkan amanat yang ada di dalam undang-undang tersebut.
Ada
beberapa pemangku kepentingan yang menurut David G. Amstrong yang biasanya
dilibatkan dalam pengembangan kurikulum dan diberikan tugas serta tanggung
jawab untuk menyusun atau mengembangkan kurikulum, yaitu:
1. Curriculum
specialist (spesialis kurikulum, ahli kurikulum);
2. Teacher/instructors
(guru/instruktur);
3. Learners
(peserta didik);
4. Principals/corporate
unit supervisors (kepala sekolah/unit
pengawas sekolah);
5. Central
office administrators/corporeate administrators (administrator
kantor pusat/administrator perusahaan;
6. Special
experts (ahli special);
7. Lay
public representatives (perwakilan masyarakat
umum).
Yang
dimaksud pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan dan penyusunan
kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum developer) dan kegiatan
yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi bahan ajar dan
acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Berbagai
faktor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh
dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain
mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih
lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. Curriculum responds
to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological
principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in
history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum
fokus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut
kurikulum dalam pandangan tradisional, modern atau romantism.
1.
Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan inti dari bidang
pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan.
Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka
penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan
kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada
hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang
tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap
kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula
terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata
(1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
(1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan
teknologi.Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas
keempat landasan tersebut.
a.
Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam
pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita
dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme,
essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam
pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran-aliran filsafat
tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum
yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di
bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat,
kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
1)
Perenialisme lebih menekankan
pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan
dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan
kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada
kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan
waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
2)
Essensialisme menekankan
pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada
peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika,
sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi
kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan
perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
3)
Eksistensialisme menekankan
pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk
memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
4)
Progresivisme menekankan pada
pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi
pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan
belajar peserta didik aktif.
5)
Rekonstruktivisme merupakan
elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban
manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan
individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan
tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan
mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan
sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme,
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan
Model Kurikulum Subjek-Akademis.
Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi.
Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki
kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan
kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk
lebih mengkompromikandan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait
dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan
khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam
pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat
rekonstruktivisme.
b.
Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan
bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan
kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi
perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu
berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang
hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan,
tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan
perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang
mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar
mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek
perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis,
Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati
mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan karakteristik
mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi
kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada
suatu situasi.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
1)
motif; sesuatu yang dimiliki
seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu
aksi.
2)
bawaan; yaitu karakteristik
fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
3)
konsep diri; yaitu tingkah
laku, nilai atau image seseorang;
4)
pengetahuan; yaitu informasi
khusus yang dimiliki seseorang; dan
5)
keterampilan; yaitu kemampuan
melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai
implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan.
Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri
seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih
mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan
(pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan
hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif
jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi,
Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta
didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan
karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan
kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5)
pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
c.
Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu
rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan
dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha
mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan
bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan
lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat,
mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat
dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan
segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus
acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan
muncul manusia-manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya,
tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu
membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses
pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan
dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing
memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola
hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial
budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan
berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari
agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut
setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap
tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata,
1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa
lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan
datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan
sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan
sosial– budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional
maupun global.
d.
Landasan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan
mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus
berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin
berkembang.
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal
yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala,
mungkin orang akan menganggap mustahil jika manusia bisa menginjakkan kaki di
Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada
pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil
Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi
dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban
manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat
pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan
keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang
berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang
ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat
dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus
dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum
yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan
belajar bagaimana belajar (learning to
learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi
siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian..
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu
merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat
mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup
manusia.
2.
Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang
komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi.
Pengembangan kurikulum menunjukkan adanya perubahan dan kemajuan. Perencanaan
kurikulum ada;ah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum
membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang
akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa
disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum
ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari
pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil
pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan
hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya
melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di
dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua
peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan
dengan pendidikan.
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam
kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau
hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat
menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari
atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam
implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi
penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di
lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali
prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal
ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip -
prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas;
(2) prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan,
prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan
pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan
alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima prinsip dalam
pengembangan kurikulum, yaitu :
a.
Prinsip relevansi; secara
internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen
kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara
eksternal bahwa komponen-komponen tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan
ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi
peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan
masyarakat (relevansi sosilogis)
b.
Prinsip fleksibilitas; dalam
pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes,
lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya
penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang
selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
c.
Prinsip kontinuitas; yakni
adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara
horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus
memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang
pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
d.
Prinsip efisiensi; yakni
mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu,
biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat
sehingga hasilnya memadai.
e.
Prinsip efektivitas; yakni
mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa
kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.
3.
Model-Model Pengembangan Kurikulum
Model pengembangan kurikulum berikut ini
adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan
kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama
yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal
lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu
disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan
ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi.
Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak
menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan
kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk
suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan
tujuan yang terbatas.
Sumber: Prof.Dr.H.Said
Hamid Hasan, MA
Dalam proses pengembangan kurikulum
tersebut, unsur-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan
berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum
menempatkan konteks sosial-budaya seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks sosial-budaya
tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87)
bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:
The environment of the curriculum is
external insofar as the social order in general establishes the milieu within
which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around
in our mind's eye models of how the schools should function and what the
curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt
conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is
a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our
educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural
mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly
changing, current realities.
Model kedua adalah model yang menempatkan
kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses
pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat.
Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas
pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang
diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum.
Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan
evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan
keberhasilan lulusan di masyarakat.
Sumber: Prof.Dr.H.Said
Hamid Hasan, MA
Pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu
: (1) pendekatan top-down the
administrative model dan (2) the
grass root model.
a.
The administrative model;
Model ini merupakan model pengembangan
kurikulum yang paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan
kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur
administrasi. Dengan wewenang administrasinya, membentuk suatu Komisi atau Tim
Pengarah pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari pejabat di bawahnya,
para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari
dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep
dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan
kurikulum. Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli
pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan
guru-guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih
operasional menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan
oleh Tim pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih
sekuens materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun
pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja selesai
melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli
lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten.
Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan
dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya
kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka model ini disebut juga
model Top – Down. Dalam pelaksanaannya,
diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan beberapa saat
perlu dilakukan evaluasi.
Bagan 1-1 Model Administratif
Model admistratif pengembangan kurikulum
menggunakan prosedur atas-bawah, lini staf (Topdown, line-staff procedure).
Inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari pejabat tingkat atas (Superintendent).
Pejabat tersebut membuat keputusan tentang kebutuhan suatu program pengembangan
kurikulum dan implementasinya, lalu mengadakan pertemuan dengan staf lini
(bawahannya) dan meminta dukungan dari dewan pendidikan (Board of education).
Langkah berikutnya adalah membentuk suatu panitia pengarah yang terdiri dari
pejabat administratif tingkat atas, seperti asisten superintendent, principals,
supervisor, dan guru-guru inti. Panitia pengarah merumuskan rencana umum,
mengembangkan panduan kerja, dan menyiapkan rumusan filsafat dan tujuan bagi
seluruh sekolah didaerahnya (District). Disamping itu, panitia pengarah
dapat mengikutsertakan organisasi diluar sekolah / tokoh masyarakat sebagai
panitia penasehat yang bekerja bersama dengan personel sekolah dalam rangka
merumuskan berbagai rencana, petunjuk dan tujuan yang hendak dicapai.
Setelah kebijakkan kurikulum dikembangkan,
maka panitia pengarah memilih dan menugaskan stafpengajar sebagai panitia
pelaksana (panitia kerja) yang bertanggung jawab mengkonstruksikan kurikulum.
Panitia im merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus kurikulum, isi (materi),
kegiatan-kegiatan belajar dan sebagainya sesuai dengan pedoman/acuan kebijakan
yang telah ditentukan oleh panitia pengarah. Panitia mengerjakan tugasnya
diluar jam kerja biasa dan tidak mendapat kompensasi. Kondisi ini diterapkan
karena berkaitan dengan tanggung jawab guru untuk memahami dengan benar
kurikulum dan meningkatkan mutu kurikulum itu sendiri.
Setelah panitia kerja (guru-guru)
melaksanakan penyusunan kurikulum melalui proses tertentu, selanjutnya
kurikulum yang dihasilkan tersebut direvisi oleh panitia pengarah atau panitia
tingkat atas lainnya sesuai dengan maksud diadakannya review tersebut. Panitia
ini melaksanakan berbagai fungsi-fungsi, sebagai berikut:
1)
Memberi koherensi pada ruang
lingkup dan urutan dalam program bidang studi dengan koordinasi bersama panitia
guru-guru masing-masing bidang;
2)
Memeriksa kesesuaiannya dengan
kebijakan kurikulum yang telah ditetapkan oleh panitia pengarah;
3)
Menyiapkan gaya dan bentuk
susuan material yang siap untuk dipublikasikan
Rencana kurikulum yang direvisi dan final
tersebut selanjutnya ditugaskan kepada suatu panitia yang terdiri dari para
admimstrator (principals) dan guru-guru untuk melaksanakannya dalam
rangka uji coba. Para pelaksana adalah tenaga profesional yang tidak dilibatkan
dalam penyusunan kurikulum (mencakup filsafat rasional, tujuan dan
metodologinya) uji coba dilaksanakan dalam kondisi pengajaran senyatanya dan
keefektifannya dimonitor dengan cara kunjungan kelas, diskusi, evaluasi siswa
dan alat-alat lainnya. Berdasarkan hasil uji coba dilakukan modifikasi, dan
selanjutnya kurikulum baru tersebut diresmikan pelaksanaanya secara nyata dalam
sistem sekolah.
Kelemahan model ini yakni :
1)
Pada prinsipnya pengembangan
kurikulum dengan model ini bersifat tidak demokratis, Karena prakarsa,
inisiatif dan arahan dilakukan melalui garis staf hirarkis dari atas ke bawah,
bukan berdasarkan kebutuhan dan aspirasi dari bawah ke atas;
2)
Pengalaman menunjukkan bahwa
model ini bukan alat yang efektif dalam perubahan kurikulum secara signifikan,
karena perubahan kurikulum tidak mengacu pada perubahan masyarakat, melainkan
semata-mata melalui manipulasi organisasi dengan pembentukkan macam-macam
kepanitian.
3)
Kelemahan utama dari model
administratif adalah diterapkannya konsep dua fase, yakni konsep yang mengubah
kurikulum lama menjadi kurikulum baru secara uniform melalui sistem sekolah
dalam dua fase sendiri-sendiri, yakni penyiapan dokumen kurikulum baru, dan
fase pelaksanaan dokumen kurikulum tersebut.
b.
The grass root model;
Model pengembangan ini merupakan kebalikan
dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang
dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan
kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum
yang bersifat sentralisasi, sedangkan model
grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat
desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di
suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau
penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau
beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen
kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan
guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan
kurikulum model grass root tampaknya akan lebih baik.
Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa
guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di
kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah
yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass
roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah
tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada
sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik
dengan model grass roots-nya,
memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem
pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih
mandiri dan kreatif.
Model Grass
roots atau arus bawah, berbeda dengan rekayasa model administratif dalam
beberapa hal yang berarti. Misalnya model Grass
roots diawali oleh para guru, pembina disekolah dengan mengabaikan metoda
pembuatan keputusan kelompok secara demokratis dan dimulai dari bagian-bagian
yang lemah (rusak) kemudian diarahkan untuk memperbaiki kurikulum tertentu
(spesifik) atau kelas-kelas tertentu.
Orientasi yang demokratis dari rekayasa
Model Grass roots bertanggung jawab
membangkitkan apa yang menjadi dua aksioma kemantapan sebuah kurikulum:
1)
Bahwa sebuah kurikulum hanya dapat
diterapkan secara berhasil apabila guru-guru dilibatkan secara intim dengan
proses pembuatan (konstruksi) dan pengembangannya
2)
Bukan hanya para professional,
tetapi murid, orang tua, anggota masyarakat lain harus dimasukkan dalam proses
pengembangan kurikulum.
Guru adalah sebagai kunci dalam rekayasa
kurikulum yang efektif, digambarkan pada 4 prinsip yang menjadi dasar Model Grass roots, yaitu :
1)
Kurikulum akan baik apabila
kemampuan profesioanl guru baik
2)
Kompetensi guru akan membaik
apabila guru terlibat secara pribadi dalam masalah-masalah peibaikan (revisi)
kurikulum
3)
Jika guru urun rembug dalam
membentuk tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam memilih, mendefinisikan,
memecahkan masalah yang akan dihadapi, mempertimbangkan dan menilai hasil maka
keterlibataimya paling terjamin.
4)
Karena orang bertemu dalam
kelompok, tatap muka, mereka akan dapat memahami satu sama lain lebih baik dan
untuk mencapai suatu konsensus berdasarkan prinsip-prinsip dasar, tujuan-tujuan
dan rencana-rencana.
Prinsip ini jadi bersifat operasional,
karena guru didorong untuk bekeija secara kooperatif dalam merencanakan
kurikulum baru. Dorongan terjadi bila administrator menyediakan kepemimpinan,
waktu bebas, material dan rangsangan lain yang bersifat kondusif terhadap
perencanaan kurikulum. Pada beberapa daerah lokakaiya diorganisasi untuk
melaksanakan proses, pada akhir tahun cenderung terfokus pada review kurikulum
dan penilaian kebutuhan, sedangkan pada awal tahun bam mereka dapat berhasil
mengkonstruksi kurikulum bam. Idealnya lokakarya itu mencakup para
administrator, para guru, siswa, orang tua dan anggota masyarakat (tokoh)
ditambah dengan konsultan dan personal sumber khusus. Para peserta bekerja atas
dasar masalah-masalah tersebut secara demokratis mencapai konsensus. Disini
jelas sekali, karena guru-guru terlibat secara mendalam / inti dalam
perencanaan dan proses pembuatan keputusan, pengetahuan dan kesepakatan mereka
merupakan suatu kebutuhan bagi prosedur implementasi khusus yang dinyatakan
oleh model administratif.
Kelemahan rekayasa kurikulum model Grass roots ini adalah model ini
menerapkan metoda partisipasi yang demokratis dalam proses yang khusus,
bersifat teknis yang kompleks. Ini tidak berarti bahwa keputusan masyarakat
umumnya tidak perlu diperhatikan atau para guru tidak boleh diben peran dalam
rekayasa kurikulum. Ini hanya untuk menyatakan bahwa peran dasar pemikiran satu
orang satu suara tidak atau belum tentu menghasilkan sesuatu yang terbaik dalam
suatu situasi, otoritas tertentu amat diperlukan. Namun perlu diingat pula
bahwa model Grass roots ini lebih
memberikan kontribusi awal dalam memperkuat landasan pembuatan keputusan
kurikulum dan dalam hal itu model ini bertanggungjawab terhadap
keinginan-keinginan masyarakat.
Bagan 2.1. Model Grass roots
Terkait dengan pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan
menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar
pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh
kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah.
4.
Tantangan Pengembangan Kurikulum
a.
Tantangan Masa Depan
1)
Globalisasi: WTO, ASEAN
Community, APEC, CAFTA
2)
Masalah lingkungan hidup
3)
Kemajuan teknologi informasi
4)
Konvergensi ilmu dan teknologi
5)
Ekonomi berbasis pengetahuan
6)
Kebangkitan industri kreatif
dan budaya
7)
Pergeseran kekuatan ekonomi
dunia
8)
Pengaruh dan imbas teknosains
9)
Mutu, investasi dan
transformasi pada sektor pendidikan
10) Materi TIMSS
b.
Persepsi Masyarakat
1)
Terlalu menitikberatkan pada
aspek kognitif
2)
Beban siswa terlalu berat
3)
Kurang bermuatan karakter
c.
PerkembanganPengetahuan dan Pedagogi
1)
Neurologi
2)
Psikologi
3)
Observation based [discovery] learning dan
Collaborative learning
d.
Kompetensi Masa Depan
1)
Kemampuan berkomunikasi
2)
Kemampuan berpikir jernih dan
kritis
3)
Kemampuan mempertimbangkan segi
moral suatu permasalahan
4)
Kemampuan menjadi warga negara
yang bertanggungjawab
5)
Kemampuan mencoba untuk
mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda
6)
Kemampuan hidup dalam
masyarakat yang mengglobal
7)
Memiliki minat luas dalam
kehidupan
8)
Memiliki kesiapan untuk bekerja
9)
Memiliki kecerdasan sesuai
dengan bakat/minatnya
10) Memiliki rasa tanggungjawab terhadap lingkungan
e.
Fenomena Negatif yang Mengemuka
1)
Perkelahian pelajar
2)
Narkoba
3)
Korupsi
4)
Plagiarisme
5)
Kecurangan dalamUjian
6)
Gejolak masyarakat (social unrest)
D.
PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
1.
Kecenderungan
Pembelajaran Matematika
Perhatian pemerintah dan pakar pendidikan matematika
diberbagai Negara untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa tidak hanya
tertuju kepada kurikulum berbasis kompetensi seperti yang digalakkan di sekolah
sekarang ini, bahkan dalam rangka mengatasi rendahnya aktivitas dan hasil
belajar matematika, sekarang ini tengah diuji-cobakan penggunaan pembelajaran
matematika secara kontekstual dan humanistik seperti yang telah dikembangkan di
negara-negara maju.
Misalnya di Belanda sekarang telah dikembangkan
pendekatan pembelajaran dengan nama Realistic Mathematics Education (RME). Terdapat lima
karakteristik utama dari pendekatan RME, yaitu: (1) menggunakan pengalaman
siswa di dalam kehidupan sehari-hari, (2) mengubah realita ke dalam model,
kemudian mengubah model melalui matematisasi vertikal sebelum sampai kepada
bentuk formal, (3) menggunakan keaktifan siswa, (4) dalam mewujudkan matematika
pada diri siswa diperlukan adanya diskusi, tanya-jawab, dan (5) adanya
keterjalinan konsep dengan konsep, topik dengan topik sehingga pembelajaran
matematika lebih holistik daripada parsial (Ruseffendi, 2003). Dengan
pendekatan ini diduga peningkatan hasil belajar dan aktivitas siswa dapat
dilakukan dengan menyajikan materi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut Howey (2001: 105), di Amerika Serikat juga
tengah dikembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang disebut contextual
teaching and learning. Pendekatan ini dapat meningkatkan hasil
belajar dan aktivitas siswa dalam menyelesaikan tugas matematika melalui
pembelajaran yang dimulai dengan masalah-masalah kontekstual. Pendekatan
seperti ini diduga mampu mengantarkan siswa dalam merespons setiap masalah
dengan baik, karena dalam kehidupan sehari-hari, siswa telah mengenal masalah
tersebut.
Menurut Becker dan Shimada (2003: 2), di negara
Sakura Jepang saat ini sedang dipopulerkan pendekatan yang dikenal the
open-ended approach. Dengan pendekatan ini, diduga peningkatan hasil
belajar dan aktivitas siswa dapat dilakukan dengan memberi soal-soal terbuka
yang memiliki banyak jawab benar. Soal-soal terbuka penekanannya bukan pada
perolehan jawaban akhir tetapi lebih kepada upaya mendapatkan beragam cara
memperoleh jawaban dari soal yang diberikan.
Di negara tetangga Singapura, pendekatan
pembelajaran di sekolah dikenal dengan nama concrete-victorial-abstract approach . Peningkatan aktivitas dan hasil
belajar matematika siswa diduga dapat dilakukan melalui perantaraan benda-benda
konkrik dan gambar-gambar yang menarik perhatian siswa. Leader, et al. (1995:
78), bahwa di negara Kangguru Australia sedang dipopulerkan pembelajaran
matematika melalui pemahaman konteks yang disebut mathematics in context.
Sedangkan di Indonesia sendiri di tingkat Sekolah Dasar tengah dipopulerkan
Pembelajaran Matematika Reliastik Indonesia atau disingkat PMRI.
Pendidikan nasional antara lain bertujuan mewujudkan learning society dimana setiap
anggota masyarakat berhak mendapatkan pendidikan (education for all) dan menjadi pembelajar seumur hidup (longlife education). Empat
pilar pendidikan dari UNESCO, yaitu learning to know, learning to do,
learning to live together, dan learning to be. Impelementasi dalam
pembelajaran matematika terlihat dalam pembelajaran dan penilaian yang sifatnya
learning to know (fakta, skills, konsep, dan prinsip), learning to do (doing
mathematics), learning to be (enjoy
mathematics), dan learning to
live together (cooperative learning in mathematics).
Otonomi daerah akan menuntut agar kurikulum
matematika dan pelaksanaannya di satu daerah menyerap ciri-ciri dan praktek
budaya dan kehidupan masyrakatnya (Bana Kartasasmita, 2: 2007). Khususnya pilar
learning to live together sangat relevan dan menyerap ciri-ciri budaya
tersebut. Pilar ini menekankan pentingnya belajar memahami bahwa setiap orang
hidup dalam suatu masyarakat dimana terjadi interaksi dan komunikasi dengan
orang lain. Implikasi penciptaan suasana pilar ini terhadap pembelajaran
matematika, adalah memberi kesempatan kepada siswa agar bersedia bekerja/belajar
bersama, saling menghargai pendapat orang lain, menerima pendapat berbeda,
belajar mengemukakan dan atau bersedia sharing ideas dengan teman dalam melaksanakan
tugas-tugas matematika. Dengan kata lain belajar matematika yang berorientasi
pada pilar ini, diharapkan siswa mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dalam
konteks matematika dengan teman lainnya.
Mempelajari kecenderungan pembelajaran matematika
saat ini, penerapan keempat pilar UNESCO, serta pentingnya penguasaan
kompetensi matematika untuk kehidupan peserta didik, juga telah dikeluarkan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) oleh Pemerintah melalui Permen 23 Tahun 2006.
2.
Tujuan Pembelajaran Matematika SMP
Pada Standar Isi Mata Pelajaran
Matematika Tahun 2006 untuk semua jenjang pendidikan dinyatakan bahwa mata pelajaran
matematika dipelajari dengan tujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut.
a. Memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam
pemecahan masalah.
b. Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika.
c. Memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah.
e. Memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin
tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah.
Adapun makna dari tujuan mata pelajaran matematika
berdasarkan karakteristik pembelajaran matematika SMP adalah sebagai berikut:
a.
Tujuan pertama
Memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam
pemecahan masalah.
Objek dalam pembelajaran matematika adalah: fakta,
konsep, prinsip dan skills. Objek tersebut menjadi perantara bagi siswa dalam menguasai kompetensi-kompetensi dasar
(KD) yang dimuat pada SI mata pelajaran matematika. Fakta adalah sebarang kemufakatan dalam matematika. Fakta
matematika meliputi istilah (nama), notasi (lambang), dan kemufakatan
(konvensi). Konsep adalah ide (abstrak) yang dapat digunakan atau memungkinkan
seseorang untuk mengelompokkan/ menggolongkan sesuatu obyek. Suatu konsep biasa
dibatasi dalam suatu ungkapan yang disebut definisi. Beberapa konsep merupakan pengertian
dasar yang dapat ditangkap secara alami (tanpa didefinisikan). Beberapa konsep
lain diturunkan dari konsep yang mendahuluinya, sehingga berjenjang. Konsep
yang diturunkan tadi dikatakan berjenjang lebih tinggi daripada konsep yang
mendahuluinya.
Prinsip adalah rangkaian konsep-konsep beserta hubungannya.
Umumnya prinsip berupa pernyataan. Beberapa prinsip merupakan prinsip dasar
yang dapat diterima kebenarannya secara alami tanpa pembuktian. Prinsip dasar
ini disebut aksioma atau postulat.
Skill atau keterampilan dalam matematika adalah kemampuan
pengerjaan (operasi) dan prosedur yang harus dikuasai oleh siswa dengan
kecepatan dan ketepatan yang tinggi. Beberapa keterampilan ditentukan oleh
seperangkat aturan atau instruksi atau prosedur yang berurutan, yang disebut
algoritma, misalnya prosedur menyelesaikan sistem persamaan linear dua
variabel.
Pada intinya tujuan pertama itu
tercapai bila siswa mampu memahami konsep-konsep matematika. Mencermati tujuan pertama dari mata pelajaran
matematika dalam hubungannya dengan objek matematika yang menjadi perantara
siswa dalam mempelajari KD-KD pada SI maka dapat dikatakan bahwa konsep
matematika yang dimaksud pada tujuan pertama meliputi fakta, konsep, prinsip
dan skill atau algoritma.
b.
Tujuan Kedua
Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika.
Penalaran adalah
suatu proses atau suatu aktivitas berfikir untuk menarik suatu kesimpulan atau
proses berpikir dalam rangka membuat suatu pernyataan baru yang benar
berdasar pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau
diasumsikan sebelumnya. Materi matematika dan penalaran matematika merupakan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui
penalaran, dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi
matematika.
Mencermati tujuan kedua maka pada intinya tujuan ini tercapai bila siswa
mampu melakukan penalaran. Siswa
dikatakan mampu melakukan penalaran bila ia mampu menggunakan penalaran pada
pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c.
Tujuan Ketiga
Memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Salah satu kemampuan yang diharapkan dikuasai siswa dalam belajar
matematika adalah kemampuan memecahkan masalah atau problem solving. Pada
intinya tujuan ketiga tercapai bila siswa mampu memecahkan masalah atau melakukan problem solving.
Mencermati tujuan ketiga dari mata pelajaran matematika maka siswa dikatakan mampu memecahkan masalah bila
ia memiliki kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d.
Tujuan Keempat
Mengomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah.
Gagasan dan pikiran seseorang dalam menyelesaikan
permasalahan matematika dapat dinyatakan dalam kata-kata, lambang matematis,
bilangan, gambar, tabel. Komunikasi ide-ide, gagasan pada operasi atau
pembuktian matematika banyak melibatkan kata-kata, lambang matematis, dan
bilangan. Banyak persoalan ataupun informasi disampaikan dengan bahasa
matematika, misalnya menyajikan persoalan atau masalah ke dalam model
matematika yang dapat berupa diagram, persamaan matematika, grafik ataupun
tabel. Mengomunikasikan gagasan dengan matematika lebih praktis, sistematis dan
efisien
Dalam kaitan dengan tujuan keempat ini, siswa dikatakan mampu dalam komunikasi secara matematis bila
ia mampu mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e.
Tujuan Kelima
Memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin
tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah.
Siswa akan memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan sehingga muncul rasa ingin tahu, perhatian, dan
berminat dalam mempelajari matematika bila
guru dapat menghadirkan suasana pembelajaran yang PAKEM (pembelajaran yang
aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Pembelajaran matematika PAKEM dalam
hal ini adalah pembelajaran matematika yang mampu memancing, mengajak dan
membuat siswa untuk: aktif berpikir (mentalnya), kreatif (dalam berpikir),
senang belajar dalam arti nyaman kondisi mentalnya karena tiadanya ancaman atau
tekanan dalam belajar baik dari guru maupun dari teman-temannya, dan kompetensi
yang dipelajari terkuasai. Selain menghadirkan suasana PAKEM, tujuan kelima ini
juga menuntut guru untuk menghadirkan pembelajaran yang kontekstual dalam arti
berkait dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Siswa akan memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan sehingga muncul rasa ingin tahu, perhatian, dan
berminat dalam mempelajari matematika bila
guru dapat menghadirkan suasana pembelajaran yang PAKEM (pembelajaran yang
aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Pembelajaran matematika PAKEM dalam
hal ini adalah pembelajaran matematika yang mampu memancing, mengajak dan
membuat siswa untuk: aktif berpikir (mentalnya), kreatif (dalam berpikir),
senang belajar dalam arti nyaman kondisi mentalnya karena tiadanya ancaman atau
tekanan dalam belajar baik dari guru maupun dari teman-temannya, dan kompetensi
yang dipelajari terkuasai. Selain menghadirkan suasana PAKEM, tujuan kelima ini
juga menuntut guru untuk menghadirkan pembelajaran yang kontekstual dalam arti
berkait dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Untuk mencapai tujuan mata pelajaran matematika
tersebut perlu strategi yang tepat, antara lain:
a.
Mencermati penguasaan kemampuan prasyarat dan mengelola pembelajaran
remedial dengan sungguh-sungguh.
Kemampuan prasyarat adalah kemampuan modal yang
diperlukan dalam mempelajari suatu kemampuan baru. Karena berpola pikir
deduktif maka struktur materi matematika tersusun secara hirarkis yang sangat
ketat. Akibat dari struktur itu maka pemahaman
siswa dalam belajar matematika yang diperoleh sebelumnya sangat berpengaruh
terhadap diperolehnya pemahaman berikutnya. Siswa yang penguasaan
kompetensinya baik akan cenderung lancar dalam mempelajari kompetensi
berikutnya dan sebaliknya. Ini berarti bahwa dalam belajar matematika,
penguasaan kemampuan prasyarat sangat berperan dalam kesuksesan belajar.
b.
Mencermati penguasaan kecakapan berhitung dasar
Mengingat struktur matematika
yang tersusun sangat hirarkis, maka hasil belajar berupa kecakapan berhitung
dasar matematika di sekolah dasar menjadi modal dasar dalam mempelajari
konsep-konsep matematika di SMP. Bila siswa telah menguasai keterampilan hitung
dasar utama itu maka sebenarnya fondasi belajar matematika telah terbentuk. Kecakapan
berhitung berikutnya yang harus dikuasai siswa merupakan pengembangan dari
kecakapan dasar itu, atau penerapan dari kecakapan dasar itu. Oleh karena itu
proses pembelajaran dan penilaian terhadap kecakapan siswa dalam berhitung dasar
utama itu perlu terus menjadi perhatian dan ditindak lanjuti.
c.
Mengoptimalkan penggunaan media pembelajaran matematika
Tahap perkembangan mental siswa usia SD adalah tahap
operasional konkret. Sedang siswa SMP adalah dalam kondisi peralihan dari tahap
kongkret ke formal. Oleh karena itu objek kajian matematika yang abstrak itu
perlu disiasati agar mudah dipelajari siswa. Untuk itu perlu digunakan media
pembelajaran. Dengan pemanfaatan media pembelajaran yang optimal diharapkan
kendalakendala dalam belajar matematika yang disebabkan oleh objek abstrak
tidak perlu terjadi.
d.
Mendorong pengelolaan pembelajaran matematika dengan penalaran
Penalaran adalah suatu proses atau aktivitas berpikir untuk menarik
kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang benar berdasarkan pada pernyataan
yang telah dibuktikan (diasumsikan) kebenarannya.
Pembelajaran matematika dengan penalaran berarti memberi
kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk aktif berpikir dan mempertanyakan
hal-hal yang dipelajarinya. Siswa juga diberi kesempatan seoptimal mungkin
untuk ‟menemukan‟ kembali prinsip-prinsip matematika yang dipelajarinya.
e.
Mengembangkan rancangan pembelajaran yang memenuhi standar
Setiap pelaksanaan kegiatan pembelajaran seharusnya diawali dengan suatu
rancangan. Rancangan itu merupakan bagian dari persiapan mengajar. Lazimnya
rancangan pembelajaran itu berbentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
3.
Prinsip
Pembelajaran Matematika
Secara singkat dapat diuraikan bahwa Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang tertuang dalam SI merupakan kompetensi
minimal yang harus dikembangkan lebih lanjut. Oleh karena sangat diharapkan
agar guru menggunakan metode atau strategi yang melibatkan siswa secara aktif,
pengajaran disesuaikan dengan tahap perkembangan berfikir siswa, menggunakan
buku yang sesuai dengan SI, menggunakan sarana yang tepat, menggunakan alat
penilaian yang sesuai, serta pembuatan Silabus dan RPP yang dituangkan dalam
persiapan mengajar. Disamping itu untuk siswa yang mempunyai kemampuan lebih
dapat diberikan materi pengayaan, sedangkan siswa yang belum mencapai kriteria
ketuntasan minimal (KKM) dapat diberi pengajaran remedial.
Pada dasarnya objek pembelajaran matematika adalah
abstrak. Walaupun menurut teori Piaget bahwa anak sampai umur SMP dan SMA sudah
berada pada tahap operasi formal, namun pembelajaran matematika masih perlu
diberikan dengan menggunakan alat peraga karena sebaran umur untuk setiap tahap
perkembangan mental dari Piaget masih sangat bervariasi.
Mengingat hal-hal tersebut di atas, pembelajaran
matematika di sekolah tidak bisa terlepas dari sifat-sifat matematika yang
abstrak dan sifat perkembangan intelektual siswa. Karena itu perlu perlu
memperhatikan karakteristik pembelajaran matematika di sekolah (Suherman, 2003)
yaitu sebagai berikut:
a.
Pembelajaran matematika berjenjang (bertahap)
Materi pembelajaran
diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu dari hal konkrit ke abstrak,
hal yang sederhana ke kompleks, atau konsep mudah ke konsep yang lebih sukar.
b.
Pembelajaran matematika mengikuti metoda spiral
Setiap mempelajari
konsep baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari
sebelumnya. Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah
dipelajari. Pengulangan konsep dalam bahan ajar dengan cara memperluas dan
memperdalam adalah perlu dalam pembelajaran matematika (Spiral melebar dan
menaik).
c.
Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif
Matematik adalah
deduktif, matematika tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun demikian harus
dapat dipilihkan pendekatan yang cocok dengan kondisi siswa. Siswa usia SMP
pada umumnya belajar matematika dengan pola pikir induktif karena disesuaikan
dengan tingkat perkembangan intelektualnya (walaupun pola pikir deduktif
sederhana juga dapat diterapkan). Dengan pola pikir induktif, siswa SMP akan
lebih mudah menangkap pengertian dari objek matematika yang dipejari. Semakin
tinggi jenjang pendidikan maka semakin sedikit pola pikir induktif yang diterapkan
dalam belajar matematika.
d.
Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi
Kebenaran-kebenaran
dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsistensi, tidak
bertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan yang lainnya. Suatu
pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan yang terdahulu
yang telah diterima kebenarannya.
Pandangan konstruktivisme (Radikal dan Sosial)
beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi
mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan. Suatu pengetahuan
dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi konstruktivisme
pengetahuan tidak ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain,
tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh setiap orang. Tiap orang harus
mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi,
melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu
keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperanan dalam perkembanngan pengetahuannya.
Bottencourt (1989) mengemukakan bahwa beberapa hal
yang membatasi konstruksi pengetahuan manusia, antara lain: (1) Konstruksi kita
yang lama: hasil dan proses konstruksi pengetahuan yang lampau (mis:
unsur-unsur, cara, dan aturan main yang kita gunakan untuk mengerti sesuatu,
berpengaruh terhadap pembentukan pengetahuan berikutnya, (2) domain pengalaman
kita: pengalaman yang terbatas akan sangat membatasi perkembangan pengetahuan
kita, dalam Matematika pengalaman miskonsepsi akan mempengaruhi perkembangan
matematika orang tsb, dan (3) jaringan struktur kognitif kita: ekologi
konseptual (Toulmin, 1972) meliputi konsep, gagasan, gambaran, teori, dsb.
saling berhubungan satu dengan lain dalam membentuk pengetahuan kita. Setiap
pengetahuan baru harus cocok dengan ekologi konseptual tersebut.
Pembahasan tentang pelaksanaan kurikulum berkaitan
erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Istilah belajar dapat mempunyai
beberapa pengertian bergantung pada teori yang mendasarinya. Misalnya istilah
belajar menurut behaviouristik diartikan sebagai perubahan perilaku. Psikologi
kognitif menyatakan bahwa proses belajar berlangsung apabila siswa berasimilasi
secara aktif terhadap informasi dan pengalaman baru dan kemudian
mengkonstruksinya ke dalam pemahaman mereka sendiri (NCTM, 1970).
Berdasarkan pandangan ini, guru yang efektif adalah
guru yang dapat menstimulasi siswanya untuk belajar. Dengan demikian siswa
dikatakan belajar matematika dengan baik apabila mereka membangun sendiri
pemahaman matematika. Untuk memahami apa yang mereka pelajari, mereka harus
melakukan kegiatan matematika (doing math) antara lain: menyatakan,
mengubah, menyelesaikan, menerapkan, mengkomunikasikan, menguji dan membuktikan
(Utari, 1999: 6).
Pandangan dan pemahaman guru terhadap pengertian belajar
akan mempengaruhi cara guru melaksanakan proses pembelajaran dan proses
evaluasi hasil belajar siswa. Pada guru yang kurang menekankan belajar pada
aspek proses tetapi lebih kepada produk, pembelajaran akan lebih berpusat
kepada guru melalui pengulangan kegiatan rutin seperti penjelasan
singkat materi baru, pemberian pekerjaan rumah, pemeriksaan di kelas sambil
berkeliling kelas atau menjawab pertanyaan siswa. Namun guru dengan pandangan
belajar sebagai proses mengkonstruksi informasi dan pengalaman baru menjadi
pemahaman siswa yang bermakna, guru akan berusaha melakukan kegiatan dengan
melibatkan siswa secara aktif.
Guru
dengan pandangan belajar sebagai proses mengkonstruksi informasi dan pengalaman
baru menjadi pemahaman siswa yang bermakna, guru akan berusaha melakukan
kegiatan sebagai berikut:
a. Memilih
tugas-tugas matematika sedemikian sehingga memotivasi minat siswa dan
meningkatkan keterampilan intelektual siswa.
b. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mendalami pemahaman mereka terhadap produk dan
proses matematika serta penerapannya.
c. Menciptakan
suasana kelas yang mendorong dicapainya penemuan dan pengembangan idea
matematika,
d. Menggunakan
dan membantu pemahaman siswa, alat-alat teknologi, serta sumber-sumber lain
untuk menigkatkan penemuan matematika,
e. Mencapai
dan membantu siswa untuk mencari hubungan antara pengetahuan semula dengan
pengetahuan baru;
f. Membimbing
secara individual, secara kelompok dan secara klasikal.
Untuk
dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan di atas, selain guru matematika harus menguasai
matematika dengan baik, guru juga harus mempunyai pandangan terhadap pembelajaran
matematika yang lebih menekankan kepada (Utari, 1999):
a. Pengertian
kelas sebagai komunitas matematika daripada hanya sebagai sekumpulan individu,
b. Pengertian
logika dan kejadian matematika sebagai verifikasi daripada guru sebagai
penguasa tunggal dalam memperoleh jawaban benar,
c. Pandangan
terhadap penalaran matematika daripada sekadar mengingat prosedur atau
algoritma saja,
d. Penyusunan
konjectur, penemuan dan pemecahan masalah daripada penemuan jawaban secara
mekanik, dan
e. Mencari
hubungan antara ide-ide matematika dan penerapannya daripada matematika sebagai
sekumpulan konsep yang saling terpisah.
DAFTAR
PUSTAKA
Becker, J.P.
& Shimada, S. 2003. The Open- Ended Approach: A New Proposal for
Teaching Mathematics. Reston, VA: National
Council of Teachers of Mathematics.
Depdiknas. 2003.
Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
________. 2003.
Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta:
Puskur Balitbang.
________. 2003.
Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
Hasan, S.H.
2009. The Use of Project-Based Learning in the Implementation of the Senior
Secondary Social Studies Curriculum. Makalah dipresentasi pada Seminar
International tentang Social Studies Education, PPS-UPI, Bandung, January 15,
2009
Howey, K.R.
2001. Contextual Teaching and Learning. New York: ERIC.
Kartasasmita,
Bana G. Kurikulum Masa Depan Mata Pelajaran Matematika. Makalah
disampaikan pada Seminar Kurikulum Matematika Masa Depan. PUSKUR Balitbang
Depdiknas, Cisarua: 14 Maret 2007.
Leader, G. et
al. 1995. Learning Mathematics in Context, (Ed) In J. Wakefield & L.
Velardi. Melbourne: The Mathematical Association of Victoria.
Longstreet,W.S.
dan Shane, H.G. 1993. Curriculum for a New Millennium. Needham Heights. MA:
Allyn & Bacon.
Mulyasa, E.
2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi.
Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2004.
Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung :
P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2006.
Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya Nana Syaodih
Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T.
Remaja Rosdakarya.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi
Lulusan
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Russefendi,
H.E.T. RME dalam Pembelajaran Matematika, Makalah disampaikan pada
Penataran Dosen UIN Syarif Hiadayatullah – Mc.Gill Project, 2 Oktober 2003.
Sadulloh. 1994.
Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek.
Suherman, Erman.
Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI, 2003.
Sumarmo, Utari.
1999. Implementasi Kurikulum Matematika pada Sekolah Dasar dan Menengah. Bandung:
IKIP Bandung.
Taba, H. 1962.
The Development of Curriculum: Theory into Practice. New York: Hardcourt Brace
and World
Tanner, D dan
Tanner, L.N. 1980. Curriculum Development: Theory into Practice. New York:
Macmillan Publishing Co.,Inc.
The National
Council of Teachers of Mathematics. 1970. The
Teaching of Secondary School Mathematics. United States of America: The
National Council of Teachers of Mathematics, Inc.
Tim Pengembang
MKDK Kurikulum dan Pembelajaran. 2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung :
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Unruh, G.G. dan
Unruh, A. 1984. Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress.
Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation.
maaf, ko gambar-gambarnya gak bisakebuka ya pak?
BalasHapus