TUGAS AKHIR PERKULIAHAN FILSAFAT MATEMATIKA

ELEGI DAN JARGON MENURUT PERSEPSIKU

ELEGI
Apa itu elegi?, mungkin sebelum saya mengikuti kuliah filsafat pendidikan matematika saya belum pernah mendengarnya apalagi kenal dengannya. Tapi setelah saya mengikuti kuliah Filsafat Pendidikan Matematika hampir setiap pagi, siang, sore, malam saya merasakan saya selalu membuat elegi baik itu elegi yang saya tulis dengan kata-kataku maupun yang tidak dan tiada mampu kutulis.

Menurut saya elegi itu banyak sekali pengertiannya, dan rangkaian kata-katapun sebenarnya tiada mampu memberikan pengertian ataupun mendefinisikan sebuah elegi karena hanya elegi sendiri yang mampu memberi pengertian ataupun mendefinisikan atas dirinya.

Namun, akan saya coba memberikan gambaran sedikit yang mungkin bisa menjadikan pembaca mengetahui atau malah membuat pembaca semakin bingung dengan yang namanya elegi. Tapi, ,khusus bagi pembaca yang kebingungan saya ucapkan..”selamat…!!”, anda kebingungan berarti anda berfikir.

Elegi adalah bahasa kalbu. Dengan Elegi kita bisa mengungkapkan isi hati kita pada sebuah tulisan yang susunannya terserah kita yang membuat, hingga tulisan kita tiada terpatok oleh pagar-pagar peraturan penulisan. Dari situ segala yang di hati yang ingin kita curahkan terasa lebih ringan karena bisa kita curahkan pada tulisan-tulisan elegi yang meski terkadang menurut orang lain terasa aneh dan tiada bermakna. Namun, bagi sang pembuat elegi itulah sebenar-benarnya tulisan yang sungguh bermakna yaitu tulisan dari hati yang begitu menyentuh jiwa.

Elegi adalah pemberontakan. Benar adanya elegi kita sebut dengan pemberontakan. Itulah pemberontakan dengan menggunakan perca kata-kata. Elegi selalu memberontak pada peraturan-peraturan penulisan. Elegi sangat egois hingga menciptakan sebuah aturan tanpa aturan. Dia berkeliaran pada sebuah wilayah yang luas meski wilayahnya tiada kita ketahui dengan pandangan mata kita. Dia mengklaim wilayah pemikiran seseorang yang sedang berfikir hingga ikut dan patuh pada perintah-perintahnya. Sungguh penakhluk yang sangat hebat elegi itu.

Elegi adalah seni. Itu tiada dapat dipungkiri jika kita lihat disetiap kata hingga setiap kalimat dalam elegi mengandung unsur seni yang tiada ternilai hanya dengan bilangan-bilangan coretan manusia. Setiap kata, setiap kalimat begitu bermakna bagi si pembuat maupun bagi si pembaca yang mau meresapai dan merenungkannya. Bagi yang membuat bisa dijadikan suatu pajangan coretan hidup yang merupakan mahakarya murni yang berasal dari jeritan hati yang terdalam. Dan bagi si pembaca, Elegi bisa menimbulkan daya pikat seni dari untaian kata-kata yang terukir di setiap kalimat-kalimat yang menyusun elegi tersebut. Tidak hanya itu, bagi pembaca, elegi juga bisa menimbulkan reaksi seni yang timbul secara tiba-tiba dari jiwa maupun hatinya, hingga si pembaca serasa berada pada dunia yang lain yang di dunia itu sungguh beda dengan dunia yang ia ketahui selama ini. Yang jelas di dunia elegi orang diberi kemerdekaan yang sungguh merdeka hingga meski terbatas orang itu tiada mengetahui batasnya.

Elegi adalah Pesan dan Nasihat. Di setiap karya-karya berbentuk elegi pasti ada amanat yang ingin disampaikan oleh sang penulis pada setiap pembaca yang mau meresapai dan merenungkan. Pesan maupun nasihat yang penulis ingin sampaikan biasanya tiada tertulis secara gamblang hingga orang mudah untuk memahaminya. Namun, pesan maupun nasihat tersebut biasa penulis sampaikan secara tersirat dari setiap kata hingga kalimat yang telah penulis rangkai menjadi tarian elegi.

Elegi adalah kritik. Jika kita resapi dan kita renungkan kita akan mengetahui betapa pedas dan kerasnya sebuah kritik yang terkandung dari sebuah elegi. Tapi, elegi mampu menampilkan kritik yang begitu pedas maupun keras itu dengan nuansa seni yang terluap dengan bahasa-bahasa sopan, maupun bahasa yang menggelitik perasaan karena biasa terlihat aneh dan sulit dimengerti. Karena memang pada dasarnya yang mengetahui secara utuh akan maksud dan arti dari sebuah elegi tidak lain hanyalah pembuatnya.

Elegi adalah rayuan. Setiap elegi adalah sebuah hasutan romantis yang biasa disebut dengan “rayuan”. Hingga karena indah, lembut hingga kocaknya bahasa yang terurai dalam elegi, seseorang biasanya tidak sadar bahwa dirinya telah mengikuti dan takhluk pada elegi itu.

Elegi adalah elegi. Saya teringat salah satu bait dalam puisi salah seorang tokoh idola saya, Jallaludin Rumi. Garis besarnya dalam bait tersebut dijelaskan,” tiada yang mampu mendefinisikan cinta melainkan cinta itu sendiri seperti matahari yang tiada mampu seorangpun untuk mendefinisikannya karena hanya mataharilah yang mampu mendefinisikan matahari”. Sayapun meresapi arti dari helai kalimat-kalimat itu dan menurutku begitu pula sebuah elegi, yaitu elegi adalah elegi…biarlah dia bebas mendefinisikan dirinya…


JARGON
Berdasarkan persepsi saya Jargon itu banyak sekali pengertiannya, dan rangkaian kata-katapun sebenarnya tiada mampu memberikan pengertian ataupun mendefinisikan sebuah jargon karena hanya jargon sendiri yang mampu memberi pengertian ataupun mendefinisikan atas dirinya.

Namun, akan saya coba memberikan gambaran sedikit yang mungkin bisa menjadikan pembaca mengetahui atau malah membuat pembaca semakin bingung dengan yang namanya jargon. Jangan marah ataupun kecewa jika anda kebingungan karena “ilmumu adalah kebingunganmu”.

Jargon adalah bahasa kalbu. Dengan jargon kita bisa mengungkapkan isi hati kita pada sebuah tulisan yang susunannya terserah kita yang membuat, hingga tulisan kita tiada terpatok oleh pagar-pagar peraturan penulisan. Dari situ segala yang di hati yang ingin kita curahkan terasa lebih ringan karena bisa kita curahkan pada tulisan-tulisan jargon yang meski terkadang menurut orang lain terasa aneh dan tiada bermakna. Namun, bagi sang pembuat jargon itulah sebenar-benarnya tulisan yang sungguh bermakna yaitu tulisan dari hati yang begitu menyentuh jiwa.

Jargon adalah pemberontakan. Benar adanya jargon kita sebut dengan pemberontakan. Itulah pemberontakan dengan menggunakan perca kata-kata. Jargon selalu memberontak pada peraturan-peraturan penulisan. Jargon sangat egois hingga menciptakan sebuah aturan tanpa aturan. Dia berkeliaran pada sebuah wilayah yang luas meski wilayahnya tiada kita ketahui dengan pandangan mata kita. Dia mengklaim wilayah pemikiran seseorang yang sedang berfikir hingga ikut dan patuh pada perintah-perintahnya. Sungguh penakhluk yang sangat hebat jargon itu.

Jargon adalah seni. Itu tiada dapat dipungkiri jika kita lihat disetiap kata hingga setiap kalimat pada jargon mengandung unsur seni yang tiada ternilai hanya dengan bilangan-bilangan coretan manusia. Setiap kata, setiap kalimat begitu bermakna bagi si pembuat maupun bagi si pembaca yang mau meresapai dan merenungkannya. Bagi yang membuat bisa dijadikan suatu pajangan coretan hidup yang merupakan mahakarya murni yang berasal dari jeritan hati yang terdalam. Dan bagi si pembaca, Jargon bisa menimbulkan daya pikat seni dari untaian kata-kata yang terukir di setiap kalimat-kalimat yang menyusun jargon tersebut. Tidak hanya itu, bagi pembaca, jargon juga bisa menimbulkan reaksi seni yang timbul secara tiba-tiba dari jiwa maupun hatinya, hingga si pembaca serasa berada pada dunia yang lain yang di dunia itu sungguh beda dengan dunia yang ia ketahui selama ini. Yang jelas di dunia jargon orang diberi kemerdekaan yang sungguh merdeka hingga meski terbatas orang itu tiada mengetahui batasnya.

Jargon adalah Pesan dan Nasihat. Di setiap karya-karya berbentuk jargon pasti ada amanat yang ingin disampaikan oleh sang penulis pada setiap pembaca yang mau meresapai dan merenungkan. Pesan maupun nasihat yang penulis ingin sampaikan biasanya tiada tertulis secara gamblang hingga orang mudah untuk memahaminya. Namun, pesan maupun nasihat tersebut biasa penulis sampaikan secara tersirat dari setiap kata hingga kalimat yang telah penulis rangkai menjadi sebuah jargon.

Jargon adalah kritik. Jika kita resapi dan kita renungkan kita akan mengetahui betapa pedas dan kerasnya sebuah kritik yang terkandung dari sebuah jargon. Tapi, jargon mampu menampilkan kritik yang begitu pedas maupun keras itu dengan nuansa seni yang terluap dengan bahasa-bahasa sopan, maupun bahasa yang menggelitik perasaan karena biasa terlihat aneh dan sulit dimengerti. Karena memang pada dasarnya yang mengetahui secara utuh akan maksud dan arti dari sebuah jargon tidak lain hanyalah pembuatnya.

Jargon adalah rayuan. Setiap jargon adalah sebuah hasutan romantis yang biasa disebut dengan “rayuan”. Hingga karena indah, lembut hingga kocaknya bahasa yang terurai dalam jargon, seseorang biasanya tidak sadar bahwa dirinya telah mengikuti dan takhluk pada jargon tersebut.

Jargon adalah jargon. Saya teringat salah satu bait dalam puisi salah seorang tokoh idola saya, Jalaluddin Rumi. Garis besarnya dalam bait tersebut dijelaskan,” tiada yang mampu mendefinisikan cinta melainkan cinta itu sendiri seperti matahari yang tiada mampu seorangpun untuk mendefinisikannya karena hanya mataharilah yang mampu mendefinisikan matahari”. Sayapun meresapi arti dari helai kalimat-kalimat itu dan mungkin menurutku begitu pula sebuah jargon, yaitu jargon adalah jargon…biarlah dia bebas mendefinisikan dirinya…


Akhirnya benar adanya jika; elegi adalah jargon, jargon adalah elegi, elegi belum tentu jargon dan jargon belum tentu elegi, elegi bisa menjadi jargon dan jargon bisa menjadi elegi….Begitulah sewajarnya hal dunia yang mudah dan dapat dibolak-balik. Dan hanya Dialah yang mutlak berdiri tegak dengan segala kekuasaan-Nya, tiada terbolak-balik dan membolak-balikkan…Dialah yang konsisten, ALLAH SWT.

Komentar

  1. Thanks mas, atas infonya, selama ini saya sangat bingung apa artinya elegi itu. Saya sudah bisa mengira ira sendiri, jadi satu kata elegi, bisa juga disisipkan pada sebuah kalimat, untuk sesuatu tujuan, perasaan, balada, dll.

    BalasHapus
  2. ya begitulah...pada radixnya elegi adalah elegi, :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERMASALAHAN DAN KEMUNGKINAN SOLUSI DALAM PENGEMBANGAN LPTK

MAKALAH PENGEMBANGAN ETNOMATEMATIKA BERORIENTASI LEARNING TRAJECTORY

KAJIAN PETA FILSAFAT DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN