KAJIAN PETA FILSAFAT DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN
KAJIAN
PETA FILSAFAT DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Kurikulum
Pendidikan Matematika
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. Marsigit,
M.A
Disusun oleh:
DAFID SLAMET SETIANA (14703261004)
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA
2015
PETA
FILSAFAT DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN
Pendidikan Kapitalisme
|
Pendidikan Saintisisme |
Pendidikan Sosialisme |
Pendidikan Spiritualisme
|
Pendidikan Demokrasi |
Pendidikan Kontemporer Indonesia (Praktek dan Fakta
di lapangan)
|
|
filsafat
|
Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
|
Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
|
Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
|
Absolutisme
|
Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
|
Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
|
ideologi
|
Kapitalisme
Liberalisme
Pragmatisme
Utilitarianisme
Materialisme
|
Kapitalisme
Liberalisme
Pragmatisme
Utilitarianisme
Materialisme
|
Sosialisme
Komunisme
Komunis
|
Fundamen-talisme
|
Demokrasi
|
Kapitalisme
Liberalisme
Pragmatisme
Utilitarianisme
Materialisme
|
politik
|
Demokrasi-Kapital
(Korporasi)
Investasi
Pasar Bebas
|
Kapital
Investasi
Pasar bebas
|
Sosialis
Komunis
Proteksi-hegemoni
Demok-Negara
|
Konservatif
|
Demokrasi
Nasionalisme
|
Demokrasi-
Transaksional
Egosentris-Pasar Bebas
|
moral
|
Relatif
Hedonisme
|
Relatif
Hedonisme
|
Egosentris
Deontologi
|
Absolut
Spiritual
|
Moral
Deontologi
|
Krisis Multidimensi
|
sosial
|
Alienasi
Multikultur
Global-sistemik-networking
|
Alienasi
Multikultur
Global-sistemik-networking
|
Dealienasi
Monokultur
Egaliter
Elitisme
|
Dealienasi
Monokultur
Egaliter
Elitisme
|
Alienasi
Multikultur
|
Primordial
Kolusi
Nepotisme
Korupsi
Local-intrinsic-networking
|
Budaya/karakter
|
Pos Modern
Kontemporer
|
Pos Modern
Kontemporer
|
Modern
Klasik
|
Tradisional
Klasik
|
Modern
Pos Modern
|
Pos Modern
Konpemporer
|
ilmu
|
Disiplin
|
Disiplin
|
Disiplin
|
Absolut
|
Kreatif
Interaktif
Aktivitas sosial |
Disiplin-Egosentris
|
Epistemologi pendidikan
|
Pendidikan Laskar
Indoktrinasi
|
Pendidikan Laskar
Fenomenologi
|
Pendidikan Laskar
Indoktrinasi
|
Pendidikan Laskar
Indoktrinasi
|
Pendidikan Utk Semua
Fenomenologi
|
Pendidikan Laskar
Indoktrinasi
|
kurikulum
|
Sbg Instrumen
Negara
|
Sbg Instrumen
Negara
|
Sbg Instrumen
Negara
|
Sbg Instrumen
|
Sebagai Kebutuhan
|
Instrumen Egosentris
|
Tujuan pendidikan
|
Investasi
Status quo
|
Investasi
Relatif Absolut
|
Hegemoni
Egosentris
Status quo
|
Mono-dualis
Status quo
|
Pembebasan
Kebutuhan
Reformasi
|
Investasi
Egosentris Status quo |
Teori mengajar
|
Berbasis Riset
Behaviorisme
Knowle-Based
|
Investigasi
Behaviorisme
Knowle-Based
|
Transfer of knowledge
Behaviorisme
|
Ekspositori
Behaviorisme
|
Konstruktivis
Interaktif
|
Trans of know.
Ekspositori
Behaviorisme
|
Teori belajar
|
Modeling
Motivasi-Eksternal
|
Eksplorasi
Motivasi-Eksternal
|
Modeling
Motivasi-Eksternal
|
Modeling
Motivasi-spiritual
|
Otonomi
Motivasi-intern
Konstruktivis
|
Modeling
Motivasi-eksternal
|
peran guru
|
Think Tank
Pengambang-terkendali
|
ThinkTank
Pelaksana
|
Think Tank
Pelaksana-terkendali
|
Model
Pelaksana-terkendali
|
Fasilitator
Pengembang
|
Think Tank
Pelaksana-terkendali
|
kedudukan siswa
|
Empty Vessel
|
Empty Vessel
|
Empty Vessel
|
Empty Vessel
|
Aktor Belajar
|
Empty Vessel
|
teori evaluasi
|
Eksternal
Ujian Nasional
|
Eksternal
Ujian Nasional
|
Eksternal
Ujian Nasioal
|
Evaluasi-Intrinsik
|
Penilaian-Berbasis
Kelas
PortoFolio
Otentik-Asesm
|
Egosentris-
Eksternal
Ujian Nasional
|
sumber/alat belajar
|
ICT
|
ICT
|
Media/Alat Peraga
|
Tradisional
|
Kreativitas Guru
|
Paket Pemerintah
|
Dalam peta tersebut terdapat enam jenis pendidikan yang dibandingkan
dalam berbagai sudut pandang. Keenam jenis pendidikan tersebut yaitu,
pendidikan kapitalisme, pendidikan saintisisme, pendidikan sosialisme,
pendidikan spiritualisme, pendidikan demokrasi, dan pendidikan kontemporer
Indonesia (Praktek dan Fakta di lapangan). Sedangkan sudut pandang yang
digunakan untuk membandingkannya antara lain: filsafat, ideologi, politik,
moral, sosial, budaya/karakter, ilmu, epistemologi pendidikan, kurikulum,
tujuan pendidikan, teori mengajar, teori belajar, peran guru, kedudukan siswa,
teori evaluasi, dan sumber/alat belajar. Akan dibahas perbandingan berdasarkan
sudut pandang satu per satu, yaitu:
1.
Filsafat
Dari sudut pandang filsafat pendidikan kapitalisme,
pendidikan saintisisme, pendidikan sosialisme, pendidikan demokrasi, dan
pendidikan kontemporer memiliki aliran filsafat yang sama, yaitu Esensialisme,
Realisme, dan Esistensialisme. Menurut aliran esensialisme, pendidikan
merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan “Education as Cultural
Conservation”, Pendidikan Sebagai Pemelihara Kebudayaan. Karena ini maka aliran
Esensialisme dianggap para ahli “Conservative Road to Culture” yakni aliran ini
ingin kembali kekebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan
kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme percaya bahwa
pendidikan itu harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan
lama sehingga
memberikan kestabilan dan arah yang jelas. Menurut esensialisme pendidikan harus bertumpu pada
nilai-nilai yang telah teruji ketangguhannya, dan kekuatannya sepanjang masa
sehingga nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial adalah
nilai-nilai kemanusiaan yang berbentuk secara berangsur-angsur melalui kerja
keras dan susah payah selama beratus tahun, di dalam telah teruji dalam
gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu.
Realisme berasal dari kata real yang berarti aktual
atau yang ada. Realisme adalah aliran yang patuh kepada yang ada (fakta). Realisme
termasuk dalam kelompok pemikiran klasik. Aliran ini memandang dunia dari sudut
materi. Menurut mereka, realitas dunia ini adalah alam. Segala sesuatu berasal
dari alam dan yang menjadi subjek adalah hukum alam (dunia nyata, alam dan
benda). Oleh karenanya suatu pengetahuan akan dikatakan benar atau tepat
apabila sesuai dengan kenyataan. Menurut aliran filsafat
realisme, pendidikan dimaksudkan sebagai kajian atau pembelajaran
disiplin-disiplin keilmuan yang melaluinya kemudian kita mendapatkan
definisi-definisi dan juga pengklasifikasiannya. Realisme yang mendukung esensialisme yang disebut
realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam
serta tcmpat manusia di dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran
realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat
dipelajari bahwa tiap aspek dari alam.
Sedangkan menurut aliran
esistensialisme pendidikan menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan. Dalam bidang pendidikan, aliran
eksistensialisme menuntut adanya system pendidikan yang beraneka ragam warna
dan berbeda-beda, baik metode pengajarannya maupun penyusunan keahlian-keahlian. Hal ini karena aliran
eksistensialisme mengutamakan perorangan/individu. Oleh sebab itu, ia tidak
membatasi murid dengan buku-buku yang ditetapkan saja. Sebab, hal ini akan
membatasi kemampuan murid untuk mengenal pngetahuan lain yang
bermacam-macam dan berbeda-beda.
Aliran filsafat
menurut pendidikan spiritualisme yaitu aliran absolutisme. Absolutisme memiliki beberapa
pengertian yang dapat dibagi menjadi 4 pengertian (Lorens, 1996: 2-5). Pertama,
absolutisme adalah pandangan bahwa kebenaran
nilai
atau realitas
secara obyektif nyata, final dan abadi.
Kedua, absolutisme adalah keyakinan
bahwa hanya ada satu penjelasan obyektif yang tepat dan tidak berubah tentang
realitas. Dalam pengertian tersebut, absolutisme dilawankan dengan relativisme
dan subyektifisme. Ketiga, absolutisme dalam teori politik
adalah rezim
yang berkuasa mutlak. Dalam pengertian tersebut, orang dituntut untuk setia
dengan seorang penguasa atau klas yang berkuasa tanpa mempersoalkannya.
Keempat, absolutisme dalam metafisika
mengenai Sang Absolut khususnya mengenai filsafat
dari seorang tokoh bernama Bradley
2.
Ideologi
Ideologi adalah suatu filsafat yang bernilai kaya atau pandangan dunia
yang menyeluruh, suatu sistem ide dan keyakinan yang saling mengunci
satu dengan lainnya. Jadi ideologi yang dipahami di sini menjadi persaingan
sistem kepercayaan, menggabungkan kedua sikap nilai epistemologis dan nilai
moral, tanpa arti yang bermaksud merendahkan (Ernest, 1991:105).
a.
Pendidikan
kapitalisme, pendidikan saintisisme, Pendidikan kontemporer
Pada dunia pendidikan tersebut, menganut ideologi yang
sama, yaitu kapitalisme, liberalisme, pragmatisme, utilitarianisme, dan
materialisme. Kapitalisme
atau Kapital adalah sistem
ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh
pemilik swasta dengan tujuan membuat keuntungan dalam ekonomi pasar (Chris
Jenks). Pemilik modal bisa melakukan
usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka
pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi
intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk
kepentingan-kepentingan pribadi.
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi,
pandangan filsafat,
dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan
dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama (Coady, 1995: 40).
Secara
umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh
kebebasan berpikir bagi para individu.
Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan
agama.
Pragmatisme adalah aliran filsafat
yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan
dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya
yang bermanfaat secara praktis(Harun,
1980: 130-131). Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari
pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan
kepada individu-individu
(Adi, 2003: 20-28).
Dasar
dari pragmatisme adalah logika
pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia
dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu
sama lain. Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi realitas yang muncul
di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta
umum. Ide
menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian,
filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar
kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik,
sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat
di dalam sejarah. Contoh pragmatisme dalam pendidikan yaitu Ernest
(1991: 110) yang menunjukkan bahwa penggunaan unreflective matematika
dalam pemodelan matematika adalah bersifat pragmatis, dan dapat berwujud
seperti filsafat .
Utilitarianisme adalah suatu teori
dari segi etika normatif yang menyatakan bahwa suatu tindakan yang patut adalah
yang memaksimalkan penggunaan (utility), biasanya didefinisikan sebagai
memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan.
"Utilitarianisme" berasal dari kata Latin
utilis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan.
Istilah ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the
greatest happiness theory)
(Lorens, 2000: 1144).
b.
Pendidikan
sosialisme
Ideologi pendidikan sosialisme yaitu sosialisme dan
komunisme. Komunisme
adalah sebuah ideologi.
Penganut paham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang
ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels,
sebuah manifesto
politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari
1848
teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas
(sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan
yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam
dunia politik.
Komunisme
pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap paham kapitalisme
di awal abad ke-19, dalam suasana yang menganggap bahwa
kaum buruh
dan pekerja tani
hanyalah bagian dari produksi
dan yang lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, muncul beberapa faksi
internal
dalam komunisme antara penganut komunis teori dan komunis revolusioner yang
masing-masing mempunyai teori dan cara perjuangan yang berbeda dalam pencapaian
masyarakat sosialis
untuk menuju dengan apa yang disebutnya sebagai masyarakat utopia.
Dalam
bidang pendidikan, aliran ini tidak memisakan antara materi pengajaran dengan
metode pengajaran. Variasi metode pengajaran yang digunakan berpijak atas
konsep demokrasi. Guru tidak boleh menghilangkan keaktifan anak didiknya.
Seorang guru tidak boleh membatasi kegiatan murid dan hanya menerima pemikiran
guru. Aliran ini menuntut agar peserta didik diikutsertakan secara demokratis
dan dinamis; baik dalam berpikir dan membahas. Dengan demikian, peserta didik
akan mampu menemukan hakikat kebenaran dengan sendirinya Aliran ini mempercayai
adanya perbedaan-perbedaan kecerdasan individual. Untuk itu, pendidikan yang
perlu dikembangkan seyogyanya menekankan pada upaya menanamkan rasa kebebasan
individual kepada setiap orang yang bekerja di bidang pendidikan. Aliran ini
tidak melihat perlunya menggunakan hukuman fisik terhadap anak didik dengan
alas an bahwa ketertiban dan kesadaran bertanggung jawab mesti tumbuh dari
murid sendiri dan murid haruslah dilibatkan dalam semua kegiatan. Bila timbul
kesulitan, guru harus berusaha memecahkannya bersama murid, tanpa
menyerahkannya ke bagian administrasi.
c.
Pendidikan
spiritualisme
Ideologi pendidikan spiritualisme yaitu
fundamentalisme. Fundamentalisme
adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham
atau agama
yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau
asas-asas (fondasi). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini
seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di
lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan
dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau
ajaran agamanya telah "tercemar".Kelompok fundamentalis
mengajak seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci
yang otentik
dan tanpa kesalahan. Mereka juga mencoba meraih kekuasaan politik demi
mendesakkan kejayaan kembali ke tradisi
mereka (Bruce, 2000).
d.
Pendidikan
demokrasi
Ideologi yang dianut dalan pendidikan demokrasi yaitu
ideologi demokrasi. Tujuan ideologi pendidikan ini berarti untuk mengembangkan
fakultas-fakultas independen yang berpikir kritis, memungkinkan siswa untuk
menerima pertanyaan pengetahuan dengan kepercayaan, apapun sumber otoritasnya,
dan hanya menerima yang dapat dibenarkan secara rasional. Dua outcomes dari
tujuan ini adalah bahwa penerimaan pengetahuan bukan lagi diterima secara
mutlak, dan bahwa budaya 'tinggi' tidak lagi bernilai lebih populer dari atau
budaya 'rakyat'. (Ernest, 1991: 217).
3.
Politik
a.
Pendidikan
kapitalisme
Sistem politik dalam pendidikan ini adalah
demokrasi-kapital (Korporasi), investasi, dan pasar bebas.
Perkembangan industri memunculkan kapitalisme sebagai sang
pemegang kekuasaan (power now). Empat sifat / pilar yang melekat pada era
Power Now adalah kapitalis, utilitarian, pragmatis dan berakibat hedonism.
Teknologi, ekonomi dan politik menjadi unsur yang tidak bisa dilepaskan dari
kapitalisme.
b.
Pendidikan
saintisisme
Sistem politik dalam pendidikan ini adalah kapital,
investasi, dan pasar bebas.
c.
Pendidikan
sosialisme
Sistem politik dalam pendidikan ini adalah Sosialis,
Komunis, Proteksi-hegemoni, dan Demok-Negara.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Sistem politik dalam pendidikan ini adalah
Konservatif.
e.
Pendidikan
demokrasi
Sistem politik dalam pendidikan ini adalah Demokrasi
dan Nasionalisme.
f.
Pendidikan
kontemporer
Sistem politik dalam pendidikan ini adalah
Demokrasi-Transaksional dan
Egosentris-Pasar Bebas
4.
Moral
a.
Pendidikan
kapitalisme
Pendidikan moral dalam dunia pendidikan kapitalisme
yaitu relatif dan hedonisme. Hedonisme
adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan
mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari
perasaan-perasaan yang menyakitkan (Frans,1987:114). Hedonisme merupakan ajaran atau
pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan
manusia. Terdapat tiga sekolah pemikiran dalam hedonis yakni Cyrenaics,
Epikureanisme, dan Utilitarianisme.
b.
Pendidikan
saintisisme
Pendidikan moral dalam dunia pendidikan saintisisme
yaitu relatif dan hedonisme. Hedonisme percaya kenikmatan
tertinggi dari manusia sebagai baik dan benar atau satu-satunya tujuan.
Pendidikan moral yang didasarkan pada filosofi ini akan menghasilkan peserta
didik yang mengejar kepuasan keinginan atau impian atau kesenangan
fisik-biologis yang segera dan lalai terhadap aspek-aspek mental rohani
pendidikan sebab dianggap tidak segera menawarkan kepuasan fisik-biologis dan
kesenangan. Akibatnya, peserta didik dan guru mempatkan kegiatan pendidikan
yang konkrit dan bermanfaat bagi keperluan dalam kehidupan praktis sebagai
titik tekan yang utama.
c.
Pendidikan
sosialisme
Pendidikan moral dalam dunia pendidikan sosialisme yaitu
egosentris dan deontologi. Dalam pemahaman teori Deontologi
memang terkesan berbeda dengan Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme
menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensi, maka dalam Deontologi
benar-benar melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan.
”Deontologi” ( Deontology ) berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu : deon
yang artinya adalah kewajiban. Dalam suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya,
dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan
menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut
wajib dilakukan. Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena
tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita
tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu
baik, karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi
karena ini merupakan suatu keharusan.
Contoh
: kita tidak boleh mencuri, berbohong kepada orang lain melalui ucapan dan perbuatan.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Pendidikan moral dalam dunia pendidikan spiritualisme
yaitu moral dan deontologi. Dalam pandangan deontologi,
perbuatan moral semata-mata tidak didasarkan lagi pada hasil suatu perbuatan
dan tidak menyoroti tujuan yang dipilih dari perbuatan itu, melainkan dari
wajib atau tidaknya perbuatan dan keputusan moral tersebut. Bagi manusia
prinsip-prinsip obyektif bukan merupakan keniscayaan sehingga manusia dengan
sendirinya selalu mau memenuhi kewajibannya melainkan perintah (imperatif).
Imperative itu oleh Kant dibedakan menjadi dua macam yaitu imperatif hipotesis
dan imperati kategoris. Imperative hipotesis adalah perintah bersyarat. Dengan
iperatif hipotesis, prinsip-prinsip obyektif dipersyaratkan dengan
tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai. Artinya prinsip-prinsip itu akan
dituruti, jika dengannya ia dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Sedangkan
imperative kategoris adalah perintah yang “menunjukan sautu tindakan yang
secara obyektif mutlak perlu pada dirinya sendiri terlepas dari kaitannya
dengan tujuan lebih lanjut”. Imperative kategoris berlaku mutlak dan tanpa
kecuali karena apa yang diperintahkan olehnya merupakan kewajiban pada dirinya
sendiri, tidak tergantung dari suatu tujuan sebelumnya.
e.
Pendidikan
demokrasi
Pendidikan moral dalam dunia pendidikan demokrasi
yaitu moral dan deontologi.
f.
Pendidikan
kontemporer
Pendidikan moral dalam dunia pendidikan kontemporer
yaitu krisis multidimensi. Krisis multidimensional adalah
krisis yang terjadi di berbagai bidang dalam waktu yang relatif sama. Krisis
multidimensional lebih sulit untuk diatasi, karena hubungannya yang saling
berkaitan antara satu krisis di satu bidang dengan krisis yang lainnya. Krisis
multidimensional situasi dimana bangsa negara ini dilanda oleh berbagai ragam
pertentangan besar maupun kecil.
5.
Sosial
a.
Pendidikan
kapitalisme
Sifat sosial dalam pendidikan kapitalisme yaitu
alineasi, multikultur, global-sistemik networking. Alienisasi
atau dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan menjadi
proses menuju keterasingan, adalah teori yang dikeluarkan oleh Karl Marx
tentang munculnya sebuah keadaan di mana buruh atau proletar
mendapatkan sebuah keadaan yang terasing dari kehidupanya. Ia percaya bahwa
Alienisasi adalah hasil dari eksploitasi Kapitalisme
terhadap buruh dengan mengartikanya sebagai modal.
Konsep
Keterasingan buatan Marx berasal dari fakta ekonomi yang ada di masanya. Hal
ini tertulis dalam karyanya Das Kapital
dan terbesit dalam karya-karyanya yang lain. Sebenarnya Marx sendiri mengurangi
penggunaan kata alienisasi atau keterasingan dalam karya-karya di fase
kedua hidupnya. Hal ini dikarenakan Marx tidak mau kata ini berkurang nilainya,
sebagai akibat dari banyaknya para filsuf sejaman Marx yang menggunakan kata
tersebut sebagai konsep mereka yang sebenarnya jauh dari yang dimaksud oleh
Marx.
Kemajuan
teknologi pada awalnya membuat efisiensi dalam kehidupan manusia. Namun
perkembangan selanjutnya teknologi justru menenggelamkan manusia dalam suatu
rutinitas dan otomatisasi kerja yang diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi
salah satu penyebab manusia terpisah dari sesama atau dunia luar dan akhirnya
mengalami keterasingan (alienasi). Manusia tidak lagi hidup secara bebas dengan
lingkungannya tetapi secara berangsur-angsur telah dikelilingi oleh teknik,
organisasi, dan sistem yang diciptakan sendiri. Manusia mulai terkuasai oleh
kekuatan-kekuatan tersebut sehingga menjadi tergantung dan lemah. Dalam keadaan
ini manusia tidak lagi menjadi subjek yang mandiri tetapi telah mengalami
detotalisasi dan dehumanisasi.
Dalam
kehidupan berbudaya, suatu lingkup masyarakat akan mempunyai lebih dari dua
kebudayaan yang berbeda atau biasanya disebut masyarakat Multikultural. Jadi,
dalam lingkup masyarakat tersebut pasti ada diantara mereka yang memiliki
kebudayaan yang berbeda-beda, karena Negara pun pastinya memiliki berbagai
macam kebudayaan yang berbeda-beda. Masyarakat multicultural tersusun atas
berbagai budaya yang menjadi sumber nilai bagi terpeliharanya kestabilan
kehidupan masyarakat pendukungnya. Keragaman budaya tersebut berfungsi untuk
mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakatnya
b.
Pendidikan
saintisisme
Sifat sosial dalam pendidikan saintisisme yaitu
alineasi, multikultur, global-sistemik networking. Karl Marx
menyebut keterasingan (alienasi) sebagai proses historis di mana manusia
semakin terasing dari alam dan dari produk dari aktivitas mereka, baik secara nature
maupun secara nurture. Fenomena
ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita.
Perubahan kurikulum yang ditetapkan pemerintah saat ini, yakni Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memang menyediakan ruang gerak bagi pelaksana
pendidikan untuk lebih kreatif, namun
tidak bagi siswa sebagai peserta didik. Tetap saja siswa tidak bisa menjadi
subyek yang kreatif dalam usahanya “memproduksi ilmu”, ia harus mengikuti alur
dan alir yang ditetapkan sebagai sistem pendidikan. Dengan Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai dalam
jangka waktu tertentu sistem pendidikan kita memaksa guru untuk mencapai target
kurikulum, dan bagaimanapun pencapaian target tersebut akan mengabaikan soal
“makna” dari pembelajaran itu sendiri. Semua serba otomatis, awal tahun ajaran
siswa mengikuti tes masuk dan satu tahun berikutnya, senang tidak senang dan
mau tidak mau ia harus menyelesaikan target mempelajari seabrek materi
pelajaran.
Makna dari materi-materi pelajaran itupun akhirnya
menjadi persoalan marginal bagi pengajar, target utamanya adalah menyelesaikan
semua beban mengajar dalam waktu yang ditentukan dengan nilai minimal yang juga
ditentukan. Siswa sebagai peserta didik akhirnya juga harus memposisikan
dirinya sebagai “mesin” penjawab soal, dengan berbagai standar yang ditetapkan.
Tidak penting apakah proses pendidikan bermakna bagi mereka, yang terpenting
kemudian adalah menyelesaikan semua beban studi dan memberikan hasil minimal
sama dengan standar. Inilah yang dinamakan Fromm dengan automaton, manusia
tidak ubahnya seperti mesin.
c.
Pendidikan
sosialisme
Sifat sosial dalam pendidikan sosialisme yaitu
dealienasi, monokultur, egaliter, elitisme. Korupsi pada lembaga
pendidikan mencerminkan ekses, yakni elitisme dan “kaderisasi penderitaan.”
Kaum elite didefinisikan kelompok kecil terpandang dan memiliki derajat sosial
yang tinggi dalam masyarakat. Kosa kata ini perlahan berubah menjadi negatif
ketika perilaku mereka memunggungi kelompok lain dengan perilaku seperti korup,
tidak peduli dan bahkan memagari sosialitas ke dalam kepentingan lingkaran
dalam (in group).
Elitisme disebabkan oleh beberapa kondisi berikut: Pertama,
ekonomi dan politik. Modal dan kekuatan ekonomi sering menjadi faktor
pembeda yang sangat mencengangkan dalam kehidupan bersama.
Dapat saja kita telusuri persoalan ini pada
membengkaknya ongkos politik dalam bursa pencalonan legisatif seperti yang
diberitakan oleh media-media belakangan ini. Hal lain juga dapat ditemukan
dalam proyek pengadaan buku-buku untuk menambah pundi-pundi ekonomi keluarga
dan kelompok.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Sifat sosial dalam pendidikan spiritualisme yaitu
dealienasi, monokultur, egaliter, elitisme
e.
Pendidikan
demokrasi
Sifat sosial dalam pendidikan demokrasi yaitu alineasi
dan multikultur
f.
Pendidikan
kontemporer
Sifat sosial dalam pendidikan kontemporer yaitu
Primordial, Kolusi, Nepotisme, Korupsi, dan Local-intrinsic-networking. Primordialisme adalah sebuah
pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik
mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di
dalam lingkungan pertamanya.
Primordialisme
dapat ditelusuri secara filosofis dengan ide-ide dari Romantisisme Jerman,
terutama dalam karya-karya Johann Gottlieb Fichte dan Johann Gottfried Herder (Steven, 1994). Untuk Herder, bangsa
itu identik dengan kelompok bahasa. Dalam pemikiran Herder itu, bahasa adalah
identik dengan pemikiran, dan karena setiap bahasa yang telah dipelajari di
masyarakat, maka setiap masyarakat harus berpikir secara berbeda. Hal ini juga
menunjukkan bahwa masyarakat tetap menahan sifatnya dari waktu ke waktu.
Kolusi
merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara
tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan
pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya
menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan
barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah). Nepotisme
berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan
berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai
contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara,
bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer
tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi
telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan
naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
6.
Budaya/karakter
a.
Pendidikan
kapitalisme
Budaya yang berkembang dalam pendidikan kapitalisme
yaitu pos modern dan kontemporer.
b.
Pendidikan
saintisisme
Budaya yang berkembang dalam pendidikan saintisisme yaitu
pos modern dan kontemporer.
c.
Pendidikan
sosialisme
Budaya yang berkembang dalam pendidikan sosialisme yaitu
modern dan klasik.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Budaya yang berkembang dalam pendidikan spiritualisme yaitu
tradisional dan klasik
e.
Pendidikan
demokrasi
Budaya yang berkembang dalam pendidikan demokrasi yaitu
modern dan pos modern.
f.
Pendidikan
kontemporer
Budaya yang berkembang dalam pendidikan kontemporer yaitu
pos modern dan kontemporer.
7.
Ilmu
a.
Pendidikan
kapitalisme
Dalam pendidikan kapitalisme mengembangkan disiplin
ilmu. kegiatan
pendidikan ditekankan pada materi yang berisi tentang pengetahuan umum baik
berupa wawasan asal mula, eksistensi serta tujuan kehidupan. Dengan demikian,
pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu pengetahuan (Ilmu Pendidikan) yang
persoalan khasnya adalah menumbuh-kembangkan potensi manusia menjadi semakin
dewasa dan matang. Sebagai suatu disiplin ilmu, maka Ilmu Pendidikan haruslah
dapat dibuktikan secara mendasar terhadap eksistensinya sebagai suatu disiplin
ilmu. Dalam kajian secara filosofis, untuk dapat membedakan antara Ilmu
Pendidikan dengan pengetahuan lainnya yang bukan ilmu, maka Ilmu Pendidikan
haruslah memiliki ciri-ciri yang ilmiah, dimana memiliki obyek kajian yang
jelas (fakta empiris), menggunakan metode keilmuan yang bersifat rasional
(penalaran) dan empiris (eksperimen) serta bagaimana nilai keguanaan Ilmu
Pendidikan tersebut. Induk
dari segala ilmu pengetahuan adalah filsafat, sebab segala ilmu pengetahuan
lahir dari rahim filsafat. Pada fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu
pengetahuan, yakni ilmu-ilmu alam (natural philosophy) dan ilmu-ilmu sosial
(moral philosophy).
b.
Pendidikan
saintisisme
Dalam pendidikan saintisisme mengembangkan disiplin
ilmu.
c.
Pendidikan
sosialisme
Dalam pendidikan sosialisme mengembangkan disiplin
ilmu.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Dalam pendidikan spiritualisme mengembangkan ilmu
absolut.
e.
Pendidikan
demokrasi
Dalam pendidikan demokrasi mengembangkan ilmu kreatif,
interaktif, dan aktivitas sosial.
f.
Pendidikan
kontemporer
Dalam pendidikan kontemporer mengembangkan disiplin
ilmu egosentris.
8.
Epistemologi
pendidikan
a.
Pendidikan
kapitalisme
Epistemologi pendidikan dalam pendidikan kapitalisme
yaitu pendidikan laskar dan indoktrinasi.
b.
Pendidikan
saintisisme
Epistemologi pendidikan dalam pendidikan saintisisme
yaitu pendidikan laskar dan fenomenologi. Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat
yang mempelajari manusia
sebagai sebuah fenomena.
Ilmu fenomonologi dalam filsafat
biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik,
yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Pada dasarnya fenomenologi adalah
suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman
manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa fenomenologi adalah
suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks ini ada
asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah
pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut.Asumsi
pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan
pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena
itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu
yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif,
yakni tindakan menuju pemaknaan.
c.
Pendidikan
sosialisme
Epistemologi pendidikan dalam pendidikan sosialisme
yaitu pendidikan laskar dan indoktrinasi. Indoktrinasi adalah sebuah proses yang dilakukan
berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan,
sikap,
sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu. Praktik ini seringkali
dibedakan dari pendidikan karena dalam tindakan ini, orang yang
diindoktrinasi diharapkan untuk tidak mempertanyakan atau secara kritis menguji
doktrin
yang telah mereka pelajari. Instruksi berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan,
khususnya, tak dapat disebut indoktrinasi karena prinsip-prinsip dasar ilmu
pengetahuan menuntut evaluasi diri yang kritis dan sikap bertanya yang skeptis
terhadap pikiran sendiri.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Epistemologi pendidikan dalam pendidikan spiritualisme
yaitu pendidikan laskar dan indoktrinasi.
e.
Pendidikan
demokrasi
Epistemologi pendidikan dalam pendidikan demokrasi
yaitu pendidikan untuk semua dan fenomenologi.
f.
Pendidikan
kontemporer
Epistemologi pendidikan dalam pendidikan kontemporer
yaitu pendidikan laskar dan indoktrinasi.
9.
Kurikulum
Model yang dikembangkan oleh Ernest (1991:241) menyajikan satu
pendekatan teoritis untuk kurikulum matematika dan identifikasi dari tujuannya.
Ini multidisipliner, bertumpu pada filsafat, sosiologi dan sejarah. Dalam literatur,
ada tiga jenis pendekatan yang dapat dibedakan, bergantung pada disiplin-disiplin
yang mendasarinya.
Pertama, terdapat pendekatan pilosopis untuk kurikulum matematika, digunakan
oleh Confrey ( 1981 ), Lerman ( 1986 ) dan Nickson (1981). Ini
menggunakan filsafat matematika, dan secara khusus, pandangan berbeda sebagaimana
absolutisme dan fallibilistme sebagai basis untuk mengidentifikasi filsafat
yang mendasari kurikulum matematika. Seperti
pendekatan yang disajikan, penulis mengakui makna dari perbedaan filsafat
matematika untuk tujuan dan pedagogiknya. Bagaimanapun, mempertimbangkan
perspektif filosofi tanpa melokasikan mereka secara social berarti bahwa
ketertarikannya disajikan oleh tujuan yang tidak diidentifikasi.
Kedua, terdapat pendekatan secara sosiologis, digunakan oleh Moon (1986)
dan secara khusus Cooper(1985). Yang mendasari model sosiologis adalah
kompetisi kelompok social, dengan membedakan misi dan ketertarikan, yang
membentuk aliansi temporer, tidak secara berturut-turut berbeda ideologi, untuk
mencapai tujuan-tujuannya. Pendekatan ini kuat dalam mendiskripsikan faktor
perubahan sosial, dan tujuan dari kompetisi kelompok.
Pendekatan secara sosiologis yang lain adalah neo-marxists, yang mendasarkan
teori pendidikannya pada hubungan yang komplek antara budaya, klas dan capital,
berasal dari kerja Mark dan yang lainnya, seperti
Gramsci (1971) dan Althusser ( 1971), Williem (1961) termasuk dalam kelompok
ini, seperti yang dikerjakan theoris-theoris yang lainnya termasuk Apple ( 1979
, 1982) , Bowles dan Gintis( 1976), Gintis dan Bowles ( 1980 ) dan Giroux (
1983). Teori-teorinya mulai utnuk diaplikasikan pada kurikulum matematika,
dalam Mellin-Olsen ( 1987), Cooper(1989) dan Noss ( 1989, 1989a). Laporan yang
mereka buat menawarkan model-model yang powerful dari hubungan antara sekolah, masyarakat
dan power, retorika yang lebih dan penjelasan di awal.
Bagaimanapun kelemahan umum adalah kurangnya diskusi dari sifat pengetahuan
matematika, yang diperlukan untuk laporan kurikulum dan tujuan-tujuannya.
Sebuah untaian pemikiran yang mungkin mengkompensasi kekurangan ini adalah
Teori Kritis (Marcuse, 1964; Carr dan Kemmis, 1986), yang sedang diterapkan
pada kurikulum matematika (Skovsmose, 1985).
Ketiga, ada pendekatan historis untuk kurikulum matematika, yang digunakan
oleh Howson (1982,1983) dan Howson et al. (1981). Ini jejak sejarah inovasi
melalui orang yang berkompeten (Howson, 1982) atau proyek kurikulum (Howson et
al., 1981; Howson, 1983). Pendekatannya sebelumnya adalah individualistik, dan
risiko kehilangan arah dari ideologi kelompok dan filsafat, dan peran tujuan
dalam melayani kepentingan kelompok. Pendekatan historis lebih relevan, karena
menawarkan model untuk mengklasifikasi proyek kurikulum matematika menjadi lima
jenis (Keitel, 1975): 1 Matematika baru, difokuskan secara luas dengan diperkenalkannya
konten matematika modern ke dalam kurikulum, murni atau terapan.
a.
Pendidikan
kapitalisme
Dalam pendidikan kapitalisme kedudukan kurikulum
adalah sebagai instrumen negara.
b.
Pendidikan
saintisisme
Dalam pendidikan saintisisme kedudukan kurikulum
adalah sebagai instrumen negara.
c.
Pendidikan
sosialisme
Dalam pendidikan sosialisme kedudukan kurikulum adalah
sebagai instrumen negara.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Dalam pendidikan spiritualisme kedudukan kurikulum
adalah sebagai instrumen.
e.
Pendidikan
demokrasi
Dalam pendidikan demokrasi kedudukan kurikulum adalah
sebagai kebutuhan.
f.
Pendidikan
kontemporer
Dalam pendidikan kontemporer kedudukan kurikulum
adalah sebagai instrumen egosentris.
10. Tujuan pendidikan
a
a.
Pendidikan
kapitalisme
Tujuan pendidikan kapitalisme adalah investasi dan
status quo.
b.
Pendidikan
saintisisme
Tujuan pendidikan saintisisme adalah investasi dan
relatif absolut
c.
Pendidikan
sosialisme
Tujuan pendidikan sosialisme adalah hegemoni,
egosentris dan status quo. Politik dan sistem pendidikan nasional Indonesia
belum menggambarkan pola dan struktur yang konsisten, kompak, dan komperhensif.
Dalam politik Pendidikan kontemporer Indonesia terdapat praktek politik
demokrasi transaksional dan politik uang, serta menuju pada Egosentrisitas
Pasar Bebas. Keadaan ini dapat membawa bangsa Indonesia yang mengalami
kemunduran moral, dan menyebarnya praktik KKN.
Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia memandang
pendidikan sebagai Investasi dan kurikulum sebagai instrument untuk mencapai
tujuan individu atau golongan elit politik. Dengan demikian inovasi dalam
pendidikan dan pembelajaran tidak akan sulit untuk diwujudkan. Sehingga dalam
implementasi Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia, hampir semua guru
mengajar dengan paradigm Behavioral, metode Ekspositori, Ceramah, Motivasi
Eksternal, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis
multidimensi, bangsa Indonesia harus mewujudkan Politik dan Ideologi Pendidikan
berdasarkan Filsafat Pancasila dan Demokrasi UUD’45.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Tujuan pendidikan spiritualisme adalah mono-dualis dan
status quo.
e.
Pendidikan
demokrasi
Tujuan pendidikan demokrasi adalah pembebasan,
kebutuhan, dan reformasi. Paradigma pendidikan demokrasi yang
perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah adalah pendidikan demokrasi yang
bersifat multidimensional atau bersisi jamak. Sifat multidimensional itu antara
lain terletak pada :
1)
Pandangannya yang pluralistik-uniter
(bermacam-macam tetapi menyatu dalam pengertian Bhinneka Tunggal Ika)
2)
Sikapnya dalam menempatkan individu,
negara, dan masyarakat global secara harmonis
3)
Tujuannya yang diarahkan kepada semua
dimensi kecerdasan (spiritual, rasional, emosianal, dan sosial)
4)
Konteks (setting) yang menghasilkan
pengalaman belajarnya yang terbuka, fleksibel atau luwes, dan bervariasi
merujuk kepada dimensi tujuannya.
f.
Pendidikan
kontemporer
Tujuan pendidikan kontemporer adalah investasi,
egosentris dan status quo.
11. Teori mengajar
a.
Pendidikan
kapitalisme
Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan
kapitalisme adalah berbasis riset, behaviorisme, dan knowle-based.
b.
Pendidikan
saintisisme
Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan
saintisisme adalah investigasi, behaviorisme, dan knowle-based.
c.
Pendidikan
sosialisme
Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan
sosialisme adalah transfer of knowledge dan behaviorisme.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan
spiritualisme adalah ekspositori dan behaviorisme.
e.
Pendidikan
demokrasi
Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan
demokrasi adalah konstruktivis interaktif.
f.
Pendidikan
kontemporer
Teori mengajar yang diimplikasikan dalam pendidikan
kontemporer adalah transfer of knowledge, ekspositori, dan behaviorisme.
12. Teori belajar
a.
Pendidikan
kapitalisme
Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan
kapitalisme adalah modeling dan motivasi-eksternal.
b.
Pendidikan
saintisisme
Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan
saintisisme adalah eksplorasi dan motivasi-eksternal. Dalam
proses pembelajaran, pendekatan saintifik ini akan melibatkan banyak
keterampilan proses seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur,
meramalkan, menjelaskan, dan menyimpulkan. Bahkan dalam menjalankan setiap
proses tersebut, guru akan sangat berperan penting dalam membantu siswa. Namun
bantuan yang diberikan oleh guru yang bersangkutan harus semakin berkurang
dengan semakin bertambah dewasanya siswa atau bahkan ketika semakin tingginya
kelas yang di tempuh.
Metode
saintifik sangat relevan dengan tiga teori belajar yaitu teori Bruner, teori
Piaget, dan teori Vygotsky. Teori belajar Bruner disebut juga dengan teori
belajar dengan penemuan. Ada empat hal pokok berkaitan dengan teori belajar
Bruner. Pertama, individu hanya belajar dan mengembangkan pikirannya apabila ia
menggunakan pikirannya. Kedua, dengan melakukan proses-proses kognitif dalam
proses penemuan, siswa akan memperoleh sensasi dan kepuasan intelektual yang
merupakan suatau penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-satunya cara agar
seseorang dapat mempelajari teknik-teknik dalam melakukan penemuan adalah ia
memiliki kesempatan untuk melakukan penemuan. Keempat, dengan melakukan
penemuan maka akan memperkuat retensi ingatan. Empat hal di atas
merupakan bersesuaian dengan proses kognitif yang diperlukan dalam pembelajaran
menggunakan metode saintifik.
c.
Pendidikan
sosialisme
Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan
sosialisme adalah modeling dan dan motivasi-eksternal.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan
spiritualisme adalah modeling dan dan motivasi-spiritual.
e.
Pendidikan
demokrasi
Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan
demokrasi adalah otonomi, dan motivasi-intern dan konstruktivis.
f.
Pendidikan
kontemporer
Teori belajar yang diterapkan dalam pendidikan
kontemporer adalah modeling dan motivasi eksternal.
13. Peran guru
a.
Pendidikan
kapitalisme
Peran guru dalam pendidikan kapitalisme adalah sebagai
think tank dan pengembang-terkendali.
b.
Pendidikan
saintisisme
Peran guru dalam pendidikan saintisisme adalah sebagai
think tank dan pelaksana.
c.
Pendidikan
sosialisme
Peran guru dalam pendidikan sosialisme adalah sebagai
think tank dan pelaksana terkendali.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Peran guru dalam pendidikan spiritualisme adalah
sebagai model dan pelaksana terkendali.
e.
Pendidikan
demokrasi
Peran guru dalam pendidikan demokrasi adalah sebagai
fasilitator dan pengembang.
f.
Pendidikan
kontemporer
Peran guru dalam pendidikan kontemporer adalah sebagai
think tank dan pelaksana terkendali
14. Kedudukan siswa
a.
Pendidikan
kapitalisme
Kedudukan siswa dalam pembelajaran kapitalisme adalah
sebagai empty vessel. Pendidikan yang seharusnya mengembangkan
potensi siswa dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang memiliki
intelektualitas yang tinggi, meningkatkan watak yang berkarakter dan terampil dalam
bekerja tidak lagi diprioritaskan dalam pembelajaran tetapi yang ada hanyalah
mengejar target kelulusan dan akta akdemis/sertifikat. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa realitas pendidikan Indonesia lebih mengabdi pada industry,
bisnis sehingga pendekatan yang dilakukan adalah bagaimana membelajarkan siswa
untuk cepat menyelesaikan studi tanpa melihat kualitas hasil lulusan.
b.
Pendidikan
saintisisme
Kedudukan siswa dalam pembelajaran saintisisme adalah
sebagai empty vessel.
c.
Pendidikan
sosialisme
Kedudukan siswa dalam pembelajaran sosialisme adalah
sebagai empty vessel.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Kedudukan siswa dalam pembelajaran spiritualisme adalah
sebagai empty vessel.
e.
Pendidikan
demokrasi
Kedudukan siswa dalam pembelajaran demokrasi adalah
sebagai aktor belajar. Ciri-ciri pembelajarannya yaitu berpusat
pada siswa, melibatkan
keterampilan proses sains dalam mengonstruksi konsep, hukum atau prinsip, melibatkan proses-proses kognitif
yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan
berpikir tingkat tinggi siswa,
dapat mengembangkan karakter siswa.
f.
Pendidikan
kontemporer
Kedudukan siswa dalam pembelajaran kontemporer adalah
sebagai empty vessel.
15. Teori evaluasi
a.
Pendidikan
kapitalisme
Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan kapitalisme
adalah eksternal dan ujian nasional.
b.
Pendidikan
saintisisme
Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan
saintisisme adalah eksternal dan ujian nasional.
c.
Pendidikan
sosialisme
Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan
sosialisme adalah eksternal dan ujian nasional.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan
spiritualisme adalah evaluasi intrinsik.
e.
Pendidikan
demokrasi
Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan
demokrasi adalah penilaian berbasis kelas, portofolio,otentik-assessment.
f.
Pendidikan
kontemporer
Teori evaluasi yang diterapkan dalam pendidikan
kontemporer adalah egosentris eksternal dan ujian nasional.
16. Sumber/alat belajar
a.
Pendidikan
kapitalisme
Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan
kapitalisme adalah ICT.
b.
Pendidikan
saintisisme
Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan
saintisisme adalah ICT.
c.
Pendidikan
sosialisme
Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan
sosialisme adalah media/alat peraga.
d.
Pendidikan
spiritualisme
Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan
spiritualisme adalah tradisional.
e.
Pendidikan
demokrasi
Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan
demokrasi adalah kreativitas guru.
f.
Pendidikan
kontemporer
Sumber/alat belajar yang dimanfaatkan dalam pendidikan
kontemporer adalah paket pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Chris Jenks. Core Sociological
Dichotomies. "Capitalism, as a mode of production, is an economic
system of manufacture and exchange which is geared toward the production and
sale of commodities within a market for profit, where the manufacture of
commodities consists of the use of the formally free labor of workers in
exchange for a wage to create commodities in which the manufacturer extracts
surplus value from the labor of the workers in terms of the difference between
the wages paid to the worker and the value of the commodity produced by him/her
to generate that profit." London, England, UK; Thousand Oaks, California,
USA; New Delhi, India: SAGE. p. 383.
Adi Armin. 2003. Richard Rorty. Jakarta:Teraju..
Bruce, Steve. 2000. Fundamentalisme.
Pertautan Sikap Keberagaman dan Modernitas. Jakarta, Erlangga.
Coady, C. A. J. 1995. Distributive Justice, A Companion to
Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit,
Philip. Blackwell Publishing..
Ernest, Paul. 1991. The Philosophy of
Mathematics Education (Terjemahan). Taylor & Francis Group
Franz Magnis-Suseno.1987. Etika
Dasar: Masalah-masalah pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah
Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Lorens Bagus. 1996. Kamus
Filsafat. Jakarta: Gramedia. hlm. 2-5.
Lorens Bagus. 2000. Kamus
Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 1144.
Steven Gryosby.1994. The verdict of history: The inexpungeable
tie of primordiality huth
– A response to Eller and Coughlan, Ethnic and Racial Studies.
Komentar
Posting Komentar