Berdasarkan Hasil Perkuliahan di Kelas, Membaca Referensi yang Ada (Web Blog, Online, buku, jurnal, dll.) dan Pengalaman Saya Sebagai Pendidik Matematika Perguruan Tinggi, maka Berkaitan dengan Praktik dan Pengembangan LPTK Pendidikan Guru Dewasa ini di Indonesia saya dapat Mengidentifikasi Permasalahan-permasalahan dan Kemungkinan Solusinya Sebagai Berikut:
Berdasarkan
Hasil Perkuliahan di Kelas, Membaca Referensi yang Ada (Web Blog, Online, buku,
jurnal, dll.) dan Pengalaman Saya Sebagai Pendidik Matematika Perguruan Tinggi,
maka Berkaitan dengan Praktik dan Pengembangan LPTK Pendidikan Guru Dewasa ini
di Indonesia saya dapat Mengidentifikasi Permasalahan-permasalahan dan
Kemungkinan
Solusinya Sebagai Berikut:
(Ditulis oleh: Dafid Slamet
Setiana, 14703261004, Program
Pascasarjana, UNY)
Permasalahan-permasalahan
pedidikan di Indonesia:
1. Rendahnya
Efektifitas Pendidikan
Pendidikan yang efektif
adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar
dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer)
dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran
tersebut dapat berguna. Edwin S dalam Rochmat Wahab (2009) menegaskan bahwa Effective teaching and effective student
learning have been a central focus of current educational reform movements.
Artinya bahwa mengajar dan belajar efektif merupakan sesuatu yang sangat
esensial dalam proses pembelajaran. Pembelajaran harus bermakna, sehingga
berdampak positif, terutama bagi peserta didik sendiri.
Namun pada kenyataannya banyak
pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas
saja untuk membentuk sumber daya manusia. Tidak peduli bagaimana hasil
pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan
pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat.
Ø Solusi:
Solusi
untuk meningkatkan efektifitas pendidikan adalah dengan melakukan inovasi
pembelajaran. Inovasi pembelajaran merupakan jawaban strategis untuk
mengimbangi perkembangan pendidikan dengan pendekatan masalitas selama ini,
sekaligus menjawab tantangan dunia pendidikan dalam membina manusia Indonesia
seutuhnya. Semua ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak yang terkait
dengan pendidikan. Selain itu juga dibutuhkan pembelajaran bermakna. Belajar bermakna adalah proses
mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan terdapat
dalam struktur kognitif seseorang. Dalam menerapkan teori David Ausubel dalam
pembelajaran, guru dianjurkan untuk mengetahui terlebih dahulu kondisi awal
siswa. hal ini sesuai dengan pandangan bahwa ada satu faktor yang sangat
mempengaruhi belajar, yaitu pengetahuan yang telah diterima siswa.
2. Standarisasi
Pendidikan yang Kurang Tepat
Standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar
dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar kompetensi di
dalam berbagai versi, sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan
standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional
Pendidikan (BSNP).
Sebagai contoh konkret standar pendidikan di Indonesia menggunakan tolok ukur UN. Pada dasarnya tujuan utama sistem evaluasi UN cukup baik, namun pada kenyataannya hanya digunakan untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik dalam mengikuti pendidikan, dan hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalui peserta didik yang telah menempuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsung sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi beberapa bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah diikuti oleh peserta didik.
Sebagai contoh konkret standar pendidikan di Indonesia menggunakan tolok ukur UN. Pada dasarnya tujuan utama sistem evaluasi UN cukup baik, namun pada kenyataannya hanya digunakan untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik dalam mengikuti pendidikan, dan hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalui peserta didik yang telah menempuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsung sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi beberapa bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah diikuti oleh peserta didik.
Ø Solusi:
Pihak
yang mengetahui kemampuan peserta didik secara keseluruhan adalah guru,
sehingga pihak yang semestinya berhak menentukan lulus atau tidaknya seorang
siswa adalah guru masing-masing. Terlebih pada kurikulum KTSP sekolah diberi
kesempatan seluas-luasnya dalam mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakter,
budaya dan lingkungan sekolah. Di samping itu, jika nilai yang digunakan untuk
pengambilan keputusan kelulusan hanya nilai UN, merupakan suatu hal yang tidak
adil bagi siswa. Proses belajarnya selama beberapa tahun seakan tidak dihargai.
Oleh karena itu seharusnya penentuan kelulusan mengikutsertakan semua nilai
yang telah dicapai siswa.
Solusi
alternatif untuk mengatasi masalah standarisasi pendidikan yang kurang tepat
adalah dengan menerapkan pendidikan karakter. Kualitas peserta didik
tidak semata-mata diukur oleh hasil prestasi belajar, misalnya angka UN,
melainkan dimensi akhlak dari peserta didik. Oleh karena itu pendidikan
karakter perlu sekali diterapkan. Pendidikan karakter adalah suatu sistem
nilai-nilai karakter kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Dalam hal ini peranan guru, orang tua dan lingkungan harus saling mendukung.
3. Kesempatan
pendidikan yang tidak merata
Masalah
pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat
menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk
memperoleh pendidikan. Sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan
sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan. Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih banyak
warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung di dalam
sistem aatau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang
tersedia.
Masalah
pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting sebab jika anak-anak usia
sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD. Maka mereka memiliki bekal dasar
berupa kemampuan membaca menulis, dan berhitung. Sehingga mereka dapat
mengikuti perkembangan kemajuan melalui berbagai media masa dan sumber belajar
yang tesedia, baik, mereka nantinya berperan sebagai produser dan konsumen. Dengan
demikian merka tidak terbelakang dan menjadi penghambat derap pembangunan
Ø Solusi:
Banyak macam pemecahan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pemerataan
pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkah yang
ditempuh melalui cara-cara konvensional dan cara inovatif :
Cara konvensional antara lain :
a.
Membangun
gedung sekolah seperti SD Inpres dan atau ruangan belajar.
b.
Menggunakan
gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore)
Sehubungan dengan hal itu, yang perlu digalakkan utamanya untuk pendidikan dasar ialah membangkitkan
kemauan belajar bagi masyarakat / keluarga yang kurang mampu agar mau
menyekolahkan anaknya.
Cara inovatif antara lain :
a.
Sistem
Pamong (Pendidikan Oleh Masyarakat, Orang Tua dan Guru) atau Inpact Sistem
(Instructional Management by Parent, Community and Teacher). Sistem ini
dirintis di Solo dan didiseminasikan ke beberapa provinsi)
b.
SD
kecil pada daerah terpencil
c.
Sistem
Guru Kunjung
d.
SMP
Terbuka (ISOSA – In School Out off School Approach)
e.
Kejar
paket A dan B
f. Belajar jarak jauh, seperti Universitas Terbuka
4. Rendahnya
mutu pendidikan
Empat hal penting yang perlu
dilakukan dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan untuk pendidikan
dasar dan menengah di Indonesia, yaitu: (1) Pengkajian mutu pendidikan, (2)
Analisis dan pelaporan mutu pendidikan, (3) Peningkatan mutu pendidikan, (4)
Penumbuhan budaya peningkatan mutu berkelanjutan, dan (5) Peningkatan mutu
merujuk pada Standar Nasional Pendidikan (Satori, 2012).
Kondisi mutu pendidikan di seluruh tanah air
menunjukan bahwa di daerah pedesaan utamanya di daerah terpencil lebih rendah
dari pada di daerah perkotaan, acuan usaha pemerataan mutu pendidikan barmaksud
agar sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan dengan segala jenis dan
jenjangnya di seluruh pelosok tanah air (kota atau desa) mengalami peningkatan
mutu pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.
Ø Solusi
Penanganan
mutu secara menyeluruh dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang terkait
mulai dari hulu sampai hilir, mencakup semua proses yang dilakukan sesuai
standar mutu (quality control), penjaminan mutu (quality assurance), ke
arah peningkatan mutu berkelanjutan (continuous quality improvement). Penjaminan mutu dan peningkatan mutu
pendidikan memerlukan standar mutu, dilakukan dalam satu prosedur tata kerja
yang jelas, strategi, kerjasama dan kolaborasi antar pemangku kepentingan; dan
dilakukan secara terus-menerus berkelanjutan. Kebijakan pembangunan pendidikan
pada dewasa ini menunjukkan adanya modal kuat untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) menyediakan
acuan untuk mengkaji pencapaian pendidikan, mutu pendidikan dan bidang yang
membutuhkan peningkatan mutu pendidikan. Delapan (8) SNP yang dimaksudkan
meliputi: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan,
(3) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) s.tandar sarana dan
prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar
penilaian pendidikan.
Upaya pemecahan masalah mutu pendidikan dalam garis
besarnya meliputi hal-hal yang bersifat fisik dan perangkat lunak, personalia,
dan manajemen sebagai berikut :
a.
Menyeleksi
lebih rasional terhadap masukan SLTA dan PT
b.
Pengembangan
kemampuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut
c.
Penyempurnaan
kurikulum
d.
Pengembangan
prasarana yang menciptakan lingkungan yang tentram untuk belajar
e.
Penyempurnaan
sarana belajar
f.
Peningkatan
administrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran
g.
Kegiatan
pengendalian mutu yang berupa kegiatan – kegiatan :
1)
Laporan-laporan penyelengaraan pendidikan oleh
semua lembaga pendidikan
2)
Supervisi
dan monitoring pendidikan oleh pemilik dan pengawas
3)
Sistem
pendidikan nasional atau negara seperti UN dan SBMPTN.
4)
Akreditasi
terhadap lembaga pendidikan untuk menetapkan status suatu lembaga
5. Rendahnya
Kualitas Infrastruktur dan Sarana Fisik
Banyak sekali sekolah maupun
perguruan tinggi yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar
rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak
sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak
memiliki laboratorium dan sebagainya.
Ø Solusi:
Masalah
fisik berupa gedung maupun ruangan merupakan tanggung jawab pemerintah bagi
sekolah negeri, dan tanggung jawab yayasan bagi sekolah swasta, sehingga perlu
kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Namun untuk sarana fisik
yang lain seperti media belajar, semestinya bukan menjadi alasan untuk
menghambat atau mengurangi kualitas pembelajaran. Justru saat ini guru dituntut
untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan media pembelajaran sendiri.
Pada saat pembelajaran guru menggunakan media pembelajaran yang sesuai yang
membuat anak tidak jenuh mengikuti pelajaran. Guru memanfaatkan dan menyiapkan
media pembelajaran diantaranya LKS (student worksheet) dan media tabel angka yang ditempel
pada papan tulis. LKS dibuat berfungsi tidak hanya sesempit sebagai kumpulan
soal-soal akan tetapi dengan adanya LKS dapat pula menemukan
informasi-informasi dan penemuan-penemuan lainnya yang sifatnya terbimbing. Melalui media pembelajaran yang disediakan siswa diberi
kebebasan untuk mengeksplor kemampuannya untuk menemukan hal-hal baru yang
belum pernah ditemukan, memecahkan berbagai persoalan yang semakin mengembangkan
olah pikir siswa.
6. Rendahnya
Kualitas Pendidik (Guru)
Sedangkan kompetensi guru didefinisikan sebagai himpunan pengetahuan,
keterampilan, kemampuan, dan keyakinan yang dimiliki seorang guru dan
ditampilkan untuk situasi mengajar (Anderson dalam Jacob, 2002a, h.1) Dalam
dunia pendidikan guru menduduki posisi tertinggi dalam hal penyampaian
informasi dan pengembangan karakter. Walaupun pendidik dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, mengingat guru melakukan
interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas.
Disinilah kualitas pendidikan terbentuk dimana kualitas pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru ditentukan oleh kualitas guru yang bersangkutan.
Pada kenyataannya keadaan guru di
Indonesia cukup memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme
yang memadai untuk menjalankan tugasnya yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Ø Solusi:
Dalam
meningkatkan mutu pendidikan, perlu dilakukan pendampingan terhadap guru-guru
di Indonesia dan pemberian apresiasi lebih kepada guru-guru kreatif.
Pendampingan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan profesionalitas,
kreatifitas, dan kompetensi guru dengan model pendampingan berupa seminar,
lokakarya, konsultasi, pelatihan dan praktek. Pendampingan dilakukan secara
bertahap dan berkelanjutan yang didukung oleh pemerintah dan pihak terkait.
Selain pendampingan juga perlu dilakukan mediasi antara masyarakat, pendidik, dan pihak terkait lainnya untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah dalam memperbaiki kurikulum pendidikan. Diharapkan dengan adanya lembaga ini, ide-ide kreatif untuk memperbaiki kurikulum pendidikan dapat tertampung dan pemerintah dapat mempertimbangkan ide masyarakat untuk kebijakan yang dibuat
Selain pendampingan juga perlu dilakukan mediasi antara masyarakat, pendidik, dan pihak terkait lainnya untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah dalam memperbaiki kurikulum pendidikan. Diharapkan dengan adanya lembaga ini, ide-ide kreatif untuk memperbaiki kurikulum pendidikan dapat tertampung dan pemerintah dapat mempertimbangkan ide masyarakat untuk kebijakan yang dibuat
Upaya
lain yaitu perlu guru harus selalu meningkatkan kualitas pembelajaran dan
menyesuaikan proses pembelajaran dengan karakteristik peserta didik maupun
dengan tuntutan perkembangan zaman. Guru tidak menempatkan diri sebagai
satu-satunya sumber ilmu bagi siswanya. Guru seharusnya lebih berperan sebagai
fasilitator, motivator, dan konselor. Sebagai fasilitator, guru memberikan
jalan pada kelancaran proses belajar secara mandiri siswanya. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan sendiri potensi-potensi mereka sehingga siswa lebih berkembang,
mandiri, dan kreatif. Sebagai motivator, guru memiliki tugas untuk
membangkitkan minat siswa untuk belajar secara mandiri. Sesekali guru memberikan
motivasi terhadap siswa-siswanya agar mereka tetap bersemangat dan tidak putus
asa. Sedangkan sebagai konselor, guru membantu siswa menemukan dan mengatasi
masalah-masalah yang dihadapi oleh siswanya, Ketika siswa sedang berdiskusi,
guru memberi arahan/ bimbingan kepada siswa satu persatu dalam kelompok kecil
yang telah dibuat, tidak terpaku pada satu siswa tetapi kepada seluruh
siswanya, sehingga siswa lebih paham terhadap apa yang mereka pelajari. Dengan
demikian guru harus bisa memahami setiap siswanya karena setiap siswa mempunyai
karakteristik, dan potensi yang berbeda-beda.
7. Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan keadaan rendahnya sarana
fisik dan kualitas guru, pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai contoh pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat. Dalam hal
prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme
(UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara
serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development
Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi
ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja,
posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Anak-anak Indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Ø Solusi:
Prestasi
siswa tidak lepas dari kualitas pembelajaran yang mereka alami. Dengan
demikian, untuk mengatasi masalah prestasi siswa hendaknya mengevaluasi proses
pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Kegiatan pembelajaran seharusnya
dipusatkan pada siswa (student centered),
sehingga siswa menjadi lebih aktif dan kreatif. Siswa diposisikan sebagai
subjek pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran tidak hanya merupakan kegiatan
transfer of knowledge dari guru ke
siswa saja melainkan merupakan kegiatan pembelajaran untuk membangun pengertian
terhadap suatu konsep oleh diri siswa masing-masing. Dengan metode diskusi
siswa diberi kesempatan untuk mengeksplor kemampuannya sendiri dengan
menganalisis persoalan dalam diskusi tersebut dan selanjutnya siswa
menyampaikan hasil diskusinya didepan kelas.
8. Tindak
Kecurangan pada saat Ujian Nasional
Ketika Ujian Nasional berlangsung,
banyak fakta di lapangan yang menunjukkan adanya kecurangan yang terjadi secara
sistemik di berbagai sekolah. Bukan hanya siswa yang terlibat tapi juga para
gurunya. Alasan yang paling mendasari beberapa guru melakukan kecurangan adalah
perasaan tidak siap jika sekolahnya ternyata nanti mendapati banyak siswanya
yang tidak lulus dalam Ujian Nasional. Jika hal itu terjadi, maka akan mempengaruhi
akreditasi sekolah. Selanjutnya masalah akreditasi ini akan berpengaruh
terhadap berkurangnya daya tarik siswa untuk sekolah disana. Fakta yang didapat
dari seorang guru yang dipaksa untuk memberi kelonggaran sewaktu ujian di
sebuah sekolah yang diawasinya agar para siswa bisa sedikit leluasa mendapatkan
bocoran jawabannya. Masalah penerapan kejujuran yang tidak tegas diterapkan di
sekolah merupakan bahaya laten. Pengaruhnya akan membentuk karakter siswa yang
suka menipu dan curang. Ketika besar nanti bisa jadi karakter ini yang akan
mendorongnya menjadi seorang koruptor.
Ø Solusi:
Solusi
yang mendasar bukan bagaimana cara meningkatkan pengawasan ujian yang lebih
ketat, namun dengan memberikan pendidikan karakter terhadap siswa. Penanaman
pendidikan karakter yang berkelanjutan yang diintegrasikan dalam proses
pembelajaran akan membentuk karakter siswa, sehingga dengan sendirinya siswa
akan menghindari perbuatan-perbuatan curang, salah satunya tindak kecurangan
saat ujian. Di samping hal itu perlu peningkatan kedisiplinan dan sportivitas
pihak sekolah dalam penyelenggaraan ujian.
9. Kurikulum
yang kurang tepat sasaran
Penyusunan
dan pengembangan kurikulum menurut Gerkhe, N.J, et al. (1992, p. 99) adalah
menyangkut :
a. Kurikulum
ditawarkan dan diterima oleh siswa dalam kelompok yang berbeda-beda dan dengan
cara berbeda-beda pula. Perbedaan dan kesenjangan kesempatan memperoleh
pendidikan dan pendekatan pendidikan yang berbeda hendaknya menjadi
pertimbangan agar tidak terlalu merugikan pihak siswa yang kurang beruntung.
Isi mata pelajaran hendaknya lebih berorientasi pada adanya kenyataan
perbedaan-perbedaan siswa dalam skala nasional agar relevan dengan tujuan
pengembangan kognitif, pembentukan afeksi, dan keterampilan yang dapat diikuti
oleh berbagai tipe peserta didik.
b. Banyak
usaha sering dilakukan untuk mereformasi kurikulum, dengan adopsi dan inovasi
tanpa memperhitungan kondisi dan kesiapan sendiri, atau dengan mempertahankan
apa yang dianggap hebat, dapat berdampak pada gagalnya dan tidak relevannya
pengembangan sistem pendidikan.
c. Guru
membentuk dan memutuskan kurikulum dalam praktek perencanaan dan layanan
belajar, yang bervariasi satu dengan lain, dan sangat sukar untuk
mengeneralisasikan kesamaan isi kurikulum.
d. Kurikulum
berubah dari waktu ke waktu, meskipun sulit diukur apakah perubahan itu membawa
dampak kemajuan.
Pada kenyataannya
sekolah-sekolah di Indonesia memaknai kurikulum hanya sebatas melaksanakan
tugas, tanpa memaknai tujuan pengimplementasian dan pengembangan kurikulum.
Ø Solusi:
Penyempurnaan
kurikulum serta pelaksanaannya. Costa (1999:26) menyatakan changing
curriculum means changing your mind. Perubahan pola berpikir yang dimaksud
tidak hanya dilakukan oleh guru di sekolah, tetapi juga oleh semua unsur
praktisi dan teoretisi pendidikan. Perubahan pola pikir tersebut diperlukan
agar para guru dapat secara optimal memfasilitasi siswanya belajar.
Beberapa
penekanan perubahan pikiran yang diperlukan dalam penyempurnaan pelaksanaan
kurikulum adalah: (1) dari peran guru sebagai transmiter ke fasilitator, pembimbing
dan konsultan, (2) dari peran guru sebagai sumber pengetahuan menjadi kawan
belajar, (3) dari belajar diarahkan oleh kurikulum menjadi diarahkan oleh siswa
sendiri, (4) dari belajar dijadwal secara ketat menjadi terbuka, fleksibel
sesuai keperluan, (5) dari belajar berdasararkan fakta menuju berbasis masalah
dan proyek, (6) dari belajar berbasis teori menuju dunia dan tindakan nyata
serta refleksi, (7) dari kebiasaan pengulangan dan latihan menuju perancangan
dan penyelidikan, (8) dari taat aturan dan prosedur menjadi penemuan dan
penciptaan, (9) dari kompetitif menuju kolaboratif, (10) dari fokus kelas
menuju fokus masyarakat, (11) dari hasil yang ditentukan sebelumnya menuju hasil
yang terbuka, (12) dari belajar mengikuti norma menjadi keanekaragaman yang
kreatif (13) dari penggunaan komputer sebagai obyek belajar menuju penggunaan
komputer sebagai alat belajar, (14) dari presentasi media statis menuju
interaksi multimedia yang dinamis, (15) dari komunikasi sebatas ruang kelas
menuju komunikasi yang tidak terbatas, (16) dari penilaian hasil belajar secara
normatif menuju pengukuran unjuk kerja yang komprehensif.
10. Permasalahan
pendidikan di tingkat pendidikan dasar
Pemerintah memberikan layanan
pendidikan dasar yang bermutu, merata dan berkeadilan, serta relevan dengan
kebutuhan lulusan sebagai warga masyarakat dan negara. Pendidikan dasar
membentuk karakter, literasi dasar, dan kecakapan dasar bagi semua warga negara
melalui pelayanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan. Pelayanan yang
berkeadilan tidak membedakan suku bangsa, golongan, jenis kelamin, serta latar
belakang sosial-ekonomi peserta didik.
Kriteria keberhasilan
relevansi pendidikan dasar bukanlah dalam ukuran banyaknya gedung sekolah,
guru, sarana belajar, dan banyaknya pengetahuan yang dihafal oleh peserta
didik, tetapi yang lebih penting adalah pembentukan karakter dan kemampuan
dasar untuk belajar untuk melaksanakan hak dan kewajiban mereka sebagai warga
negara yang bertanggungjawab.
Namun, kenyataan di lapangan
menunjukan gejala yang memprihatinkan. Satuan pendidikan dasar telah menjadi
mesin pencetak pengetahuan bagi peserta didik. Pendidikan dasar oleh para
penyelenggara lebih difahami sebagai ”kumpulan mata pelajaran” yang diajarkan
oleh guru di SD, SMP, MI, MTs, atau paket A dan Paket B. Pemahaman ini dalam
kenyataannya telah mereduksi esensi pendidikan dasar yang sejatinya membentuk
karakter dan kemampuan dasar untuk belajar, menjadi suatu sekumpulan proses
pengajaran teori dan hafalan di dalam kelas yang dikukur melalui tes hafalan.
Pendidikan dasar tidak akan pernah relevan dan tidak berfungsi sebagai fondasi
yang kokoh baik membentuk karakter dan peningkatan mutu pendidikan pada
jenjang-jenjang berikutnya jika keadaan ini dibiarkan.
Ø Solusi:
Usulan
kebijakan pada pendidikan dasar dengan merujuk pada permasalahannya, maka
program pendidikan dasar perlu dikaji ulang terutama berkaitan dengan struktur
program, substansi program, esensi program, serta kriteria keberhasilannya.
Pembangunan pendidikan dasar melalui pengadaan USB, RKB, sarana belajar, buku
teks pelajaran, serta pengadaan sarana/prasarana fisik lainnya, perlu dikaji
ulang, karena, menurut PP No. 38/2007, sebagian besar program ini merupakan
urusan kabupaten/kota. Pemerintah pusat bertugas melahirkan kebijakan,
menetapkan standar, mengembangkan kapasitas, menetapkan subsidi, insentif dan
disintensif atas dasar keberhasilan sekolah, serta pengendalian mutu pendidikan
secara nasional.
Isu
kebijakan yang mendasar adalah melakukan retrukturisasi program dan kurikulum
pendidikan dasar, termasuk sistem pembelajaran di sekolah. Program pendidikan
dasar perlu direkonstruksi dan dibangun kembali agar semakin relevan dengan
kebutuhan lulusan untuk hidup sebagai warga negara produktif dan
bertanggungjawab (productive and responsible citizen). Pendidikan dasar
setidaknya memiliki empat program, yaitu: Program literasi dasar; Program Pengetahuan
Dasar; Program kecakapan hidup; dan Program pendidikan karakter.
11. Permasalahan
pendidikan di tingkat sekolah menengah atas
Relevansi SMA dapat dianalisis dari
sisi fungsinya sebagai satuan pendidikan pra-akademik untuk menyiapkan peserta
didik melanjutkan ke pendidikan tinggi atau pendidikan berkelanjutan dalam
ranah PNF. SMA sebagai program pendidikan menengah,1 SMA membentuk dan
mengembangkan seluruh potensi siswa agar memiliki dasar yang kuat untuk
berfikir ilmiah melalui proses pembelajaran yang intensif dan sistematis.
Peserta didik bukan hanya diberikan banyak teori dan pengetahuan yang dihafal,
bukan juga banyaknya teori yang telah diajarkan oleh guru (daya serap) sebagai
ukuran keberhasilan, tetapi memiliki kecakapapan dasar untuk mencari dan
meneliti sendiri pengetahuan yang berguna melalui proses belajar inquri dan
bersifat mandiri. Kecakapan dasar harus ditumbuhkan melalui program-program
pendidikan, kurikulum dan pembelajaran, serta pendekatan dan proses pengelolaan
sekolah.
Pendidikan di SMA masih menghadapi
masalah dalam kaitan dengan relevansi kurikulum, pembelajaran, dan manajemen
sekolah yang menciptakan proses belajar siswa yang mutunya rendah (rote
learning). Proses pembelajaran kurang menumbuhkan potensi dan kreativitas
siswa, tetapi menyuguhkan teori dan pengetahuan yang dihafal dengan muatan
teoretis yang padat. Proses pembelajaran seperti ini sudah menjadi “tipikal”
budaya belajar siswa di Indonesia, khususnya pada pendidikan dasar dan
menengah. Sekolah belum mampu menciptakan proses pembelajaran yang nyaman,
menarik dan menyenangkan bagi siswa untuk belajar optimal, sehingga prestasi
belajar siswa rendah dan terkesan semakin buruk akhir-akhir ini.
Ø Solusi:
Permasalahan
yang cukup mendasar dalam pendidikan di SMA sebagai pendidikan pra-akademik
adalah kurikulum, pembelajaran, dan manajemen sekolah yang kurang kondusif
untuk belajar secara optimal karena proses belajar siswa yang rendah
kualitasnya (rote learning). Proses ini terbukti tidak mampu menumbuhkan
kreativitas siswa, karena pembelajaran lebih “menjejali” siswa dengan sejumlah
besar pengetahuan teori dan hafalan dengan beban materi mata yang padat. Perlu
dilakukan perubahan mendasar dalam menumbuhkan budaya belajar (learning
culture) melalui penciptaan proses yang nyaman, menyenangkan, dan menarik
sehingga peseta didik dapat belajar optimal.
Pendidikan
di SMA sebagai pendidikan pra-akademik untuk mengikuti jenjang strata pendidikan
tinggi, memiliki kemiripan dengan pendidikan dasar yang juga sebagai fondasi
untuk pendidikan lebih lanjut. Kedua jenis pendidikan ini sama yaitu pendidikan
umum yang relevansinya tidak tepat jika diukur berdasarkan kebutuhan lapangan
kerja. Oleh karena itu empat program pendidikan dasar tersebut di atas yang
bersifat generik juga dapat diterapkan melalui pendidikan di SMA,
Empat
program pendidikan di atas, perlu juga diterapkan di SMA, namun bobot program
pendidikan menengah harus lebih menekankan pada Program Pendidikan Kemampuan
Belajar (learning tools), dan Program Substansi Belajar (learning
content).
12. Permasalahan
pendidikan di tingkat sekolah menengah kejuruan
Proses pendidikan di pendidikan
menengah kejuruan diindikasikan terdapat gejala yang konsisten bahwa program
pendidikan di SMK, terisolasi dengan kebutuhan riil dunia usaha dan industri.
Program pendidikan bersifat “supply driven” karena jenis program studi,
materi pendidikan, cara mengajar, media belajar, evaluasi dan sertifikasi lebih
ditentukan oleh provider utama, yaitu Pemerintah. Program pendidikan
kejuruan di sekolah kaku dan tidak lentur terhadap perubahan kebutuhan lapangan
kerja. Program pendidikan belum berorientasi terhadap kebutuhan pasar kerja
yang berubah, sehingga terjebak ke dalam pemeo “membidik sasaran yang bergerak”
(aimed at the moving target). Jumlah rumpun dan program studi “relatif
tetap” tidak selaras dengan kebutuhan lapangan kerja yang berubah. Menurut
statistik pengangguran, SMK merupakan satuan pendidikan yang melahirkan angka
pengangguran tertinggi (Sakernas, 2005 s/d 2009).
Pendidikan kejuruan
melalui kursus atau pendidikan kecakapan hidup (PKH) lebih relevan dengan
kebutuhan lapangan kerja. Mereka lebih luwes dan dapat mengikuti perubahan
kebutuhan lapangan kerja. Pendidikan kursus lebih bersifat “demand driven”,
karena jenis program pendidikan berubah karena berubahnya kebutuhan para
penerima kerja. Program pendidikan kursus dan PKH dapat dibuka dan ditutup
sesuai kebutuhan masyarakat yang dibutuhkan sekarang juga.
Pendidikan kejuruan di sekolah
telah menimbulkan permasalahan struktural yang menjadikan kurangnya relevansi
dengan lapangan kerja. Perkembangan program studi bersifat konstan (constant)
karena perangkat pendidikan dibentuk secara legal-formal, yang dapat membatasi
ruang kreativitas para pengelola program dan terkesan “menghindari” perubahan.
Sebaliknya dunia usaha terus berubah (variable), bahkan teknologi
baru-pun lebih dahulu masuk ke dunia usaha karena mengikuti tuntutan pasar. Di
lain pihak, program-program kursus sebagai training providers memiliki
kesamaan sifat dengan dunia usaha dan industri, mereka bersifat “variable”
terhadap tuntutan pasar yang terus berubah. Oleh karena itu integrasi antara
pendidikan kejuruan di SMK dan kursus perlu dipertimbangkan sebagai agenda
kebijakan pembangunan pendidikan kejuruan ke depan.
Ø Solusi:
Pemerintah
bertugas melayani penyelenggaraan semua jenis pendidikan kejuruan yang untuk
menghasilkan lulusan yang produktif baik yang ingin bekerja maupun yang ingin menjadi
pengusaha produktif dan mandiri. Pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk
sebagian besar penduduk karena sasarannya adalah semua angkatan kerja yang
berjumlah di atas 110 juta ditambah calon angkatan kerja yang masih bersekolah.
Belajar
dari pengalaman Korea (Cathy, 2007), produktivitas pekerja Korea Selatan tidak
ditingkatkan melalui SMK atau Politeknik yang sasarannya hanya sebagian kecil
angkatan kerja. Pendidikan sepanjang hayat (life-long education) bagi
Korea jauh lebih penting karena sasarannya bukan hanya anak usia sekolah,
tetapi juga seluruh angkatan kerja, pekerja, atau pengusaha yang ingin
meningkatkan produktivitasnya. Masyarakat dilayani melalui PNF kecakapan hidup
(life skills), pelatihan kerja, berbagai kursus keterampilan, pendidikan
kewirausahaan termasuk bagi penduduk miskin, serta pengakuan terhadap hasil
belajar sebelumnya (recognition of prior learning) serta bentuk
pendidikan berkelanjutan lainnya. Kebijakan perluasan SMK perlu ditinjau
kembali, karena program tersebut baru melayani 0,4% dari calon angkatan kerja
muda dengan biaya investasi yang cukup mahal, ditambah kenyataan bahwa
lulusannya memiliki angka pengangguran tertinggi (BPS, 2008).
Tujuan
pokok pendidikan kejuruan adalah menghasilkan pelaku ekonomi produktif; pekerja
yang kreatif, dan pengusaha mandiri (Depdiknas, 2005). Pendidikan kejuruan
tidak boleh terpisahkan dari program-program perekonomian nasional, serta dunia
usaha dan industri sebagai ”penerima kerja”. Dunia usaha dan industri setiap
saat membutuhkan pekerja terampil, ahli, dan profesional dalam perspektif
sebagai pelaku ekonomi. Keberhasilan pendidikan kejuruan bukan diukur dari
perspektif provider seperti ujian nasional atau ijazah, tetapi diukur
dari perspektif users, seperti: daya-serap lapangan kerja, tingkat
produktivitas, peningkatan karier, dan penghasilan lulusan. Penyelenggaraan
pendidikan kejuruan, Kemdiknas perlu berkoordinasi secara sistemik dengan para
pemegang kebijakan dan program perekonomian nasional, serta dengan dunia usaha
dan dunia industri.
Supply
tenaga
yang cakap dan terampil tidak mungkin dipenuhi seluruhnya oleh SMK dan
politeknik, karena program studi yang ditawarkan jauh lebih sedikit ketimbang
jenis keterampilan dan kecakapan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja. Konsep
SMK perlu diperluas tidak hanya menyelenggarakan pendidikan formal kejuruan
akan tetapi juga menyelenggarakan berbagai jenis kursus atau pelatihan singkat
yang sengaja dibentuk untuk memenuhi kebutuhan pasar (demand diven),
serta pengakuan terhadap pengalaman belajar yang lalu (recognition of prior
learning) seperti: pendidikan berkelanjutan, pendidikan profesional
berkelanjutan, serta berbagai bentuk community colleges.
Pengangguran
merupakan permasalahan yang perlu diatasi, mind set yang bias tentang
pendidikan formal (school education bias) perlu dirubah. Kebijakan
perluasan SMK perlu dirubah menjadi perluasan pendidikan kejuruan. Pendidikan
kejuruan dalam arti luas, seperti: pendidikan kejuruan non-sekolah,
kursus-kursus, politeknik, pelatihan kerja, PKH, pendidikan keterampilan,
kredit mikro, pendidikan wirausaha yang dikemas dalam berbagai bentuk
pendidikan berkelanjutan dan pendidikan profesional berkelanjutan. Perluasan
pendidikan kejuruan perlu ditempuh oleh Kemdiknas dengan berkordinasi
antar-instansi agar pendidikan kejuruan memperoleh perimbangan dengan upaya
perluasan investasi lapangan kerjanya.
13. Permasalahan
pendidikan di tingkat pendidikan tinggi
Pendidikan tinggi
diindikasikan terdapat gejala yang konsisten bahwa, semakin tinggi tingkat
pendidikan angkatan kerja, semakin tinggi angka pengangguran. Kondisi ini
konsisten dalam lima tahun terakhir, akibat dari terjadinya gejala ketimpangan
antara struktur persediaan tenaga kerja dengan struktur lapangan kerja menurut
pendidikan. Timpang, karena pada waktu pendidikan menawarkan pekerja lulusan
pendidikan yang lebih tinggi, lapangan kerja masih bersifat subsistent karena
ternyata lebih membutuhkan pekerja berpendidikan rendah bahkan tidak
berpendidikan sama sekali.
Menurut ISCO (International Classification
of Occupation), ada gejala yang konsisten; bahwa pendidikan nasional belum
menumbuhkan kemandirian bagi lulusan. Kemandirian dalam berusaha justru lebih
banyak dilakukan oleh yang berpendidikan rendah, walaupun produktivitasnya
rendah. Gejala menunjukan bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin rendah
persentase pekerja yang berusaha secara mandiri. Gejala ini menunjukan bahwa
investasi pendidikan berdampak buruk terhadap menurunnya kemandirian pekerja.
Untuk memacu keselarasan pendidikan, maka program pendidikan tinggi harus mampu
menghasilkan lulusan yang mandiri dan profesional. Kenyataan justru sebaliknya,
kemandirian pekerja lulusan pendidikan tinggi belum tumbuh seperti yang
diharapkan.
Ø Solusi:
a. Pendidikan Vokasi
Pengangguran
menurut bidang keahlian terdapat dua kelompok keahlian dengan karakteristik
yang berbeda. Pertama adalah Kelompok lulusan diploma dengan
pengangguran tinggi karena kualifikasinya tanggung8 (underqualified)
jika hanya setingkat diploma karena yang lebih diperlukan adalah sarjana,
magister bahkan doktoral. Kedua adalah lulusan diploma PT yang terlalu
tingi kualifikasinya (over-qualified), yaitu lapangan kerja yang justru
lebih banyak membutuhkan tenaga pelaksana teknis atau operator yang cukup
dikerjakan oleh lulusan SMA atau lebih rendah tetapi yang terlatih (well
trained), terampil, dan mahir. Jenis-jenis pekerjaan manajemen keuangan dan
administrasi perkantoran masih cukup terbuka, namun pekerja jenis ini cukup
dibentuk melalui aplikasi komputer yang dapat berubah dengan cepat seiring
dengan teknologi ICT yang berkembang pesat. Agenda pengembangan program diploma
PT adalah sebagai berikut.
1) Pembukaan
program pendidikan vokasi tidak dilakukan berdasarkan ijin yang sangat ketat
dari Kementerian atau dinas pendidikan tetapi harus lebih banyak ditentukan
oleh pasar, yang dapat dibuka pada waktu dibutuhkan dan ditutup jika pasar
tidak membutuhkan lagi.
2) Program
pendidikan yang hanya diselenggarakan untuk menyiapkan tenaga-tenaga pelaksana
di lapangan serta tenaga pertukangan atau kerajinan, tidak perlu diadakan
pendidikan diploma, tetapi cukup disiapkan pada tingkat pendidikan menengah
kejuruan plus kursus keterampilan yang sesuai;
3) pembentukan
program diploma manajemen keuangan dan administrasi perkantoran perlu sering
diremajakan seiring dengan perkembangan program berbasis teknologi informasi
setiap waktu;
4) Pendidikan
vokasi mungkin tidak diperlukan untuk menyiapkan pekerja yang cakap dan mahir
bidang kesenian, senirupa dan sejenisnya. Pekerjaan bidang ini lebih ditentukan
oleh bakat dan minat seseorang, sehingga lulusan setingkat SMA saja sudah
memadai. Jenis-jenis pekerjaan seperti karikatur, RBT, film, multimedia,
design, periklanan, musik merupakan produk kreatif yang berbasis kultur, dan
Indonesia berpotensi untuk dapat bersaing dan menghasilkan devisa Negara cukup
besar dari sektor ini;
5) Program
yang perlu dikembangkan ke depan adalah pendidikan vokasi dalam berbagai cabang
industri kreatif, sebagai salah satu prioritas Pemerintah. Program pendidikan
vokasi akan memberikan nilai tambah bagi mereka yang berbakat di bidang seni
dan senirupa jika dikaitkan dengan pengembangan industri kreatif, untuk
membantu mereka melahirkan berbagai inovasi, teknologi pengemasan, serta
pemasaran yang lebih efektif; dan
6) Penyiapan
tenaga professional dalam konteks pengembangan agro-industry diperlukan
setingkat magister atau doktoral yang mampu megembangkan produk-produk baru
pertanian serta pemasarannya. Program pendidikan keahlian dan penelitian bidang
pertanian, peternakan dan perikanan masih akan tetap dibutuhkan walaupun tidak
dalam jumlah besar. Indonesia perlu mengembangkan program pendidikan vokasi
dalam berbagai bidang industri agro, yaitu pertanian komersial dengan
penggunaan teknologi tepat guna baik pra- maupun pasca panen.
b. Pendidikan
Sarjana
Pertama,
pengangguran sarjana terjadi karena gejala over-supply yaitu jumlah
kebutuhan lebih kecil dibanding jumlah yang dihasilkan, tetapi terus
diproduksi. Sarjana pendidikan (guru), misalnya, memang dibutuhkan namun tidak
seluruh bidang keahlian karena ada bidang pengajaran yang kurang dibutuhkan,
dan ada juga jurusan-jurusan LPTK yang sudah jenuh dan perlu dibatasi.
Pendidikan sarjana LPTK perlu memprioritaskan program-program studi yang paling
dibutuhkan. LPTK perlu melakukan studi kebutuhan dan persediaan guru bersama users,
yaitu Dinas Pendidikan yang dianggap paling mengetahui bidang yang sangat atau
kurang dibutuhkan. LPTK juga perlu melaksanakan program rutin penelitian pasar
tenaga guru melalui survey sekolah.
Kedua,
pengangguran terjadi karena gejala over-qualification yaitu kualifikasi
sarjana yang terlalu tinggi untuk pekerjaan yang dapat dilakukan oleh lulusan
pendidikan di bawahnya, misalnya lulusan diploma atau SMA yang terlatih melalui
kursus singkat. Program pendidikan tinggi dalam bidang-bidang ini cukup hanya
diselenggarakan sampai dengan tingkat program diploma yang menyiapkan tenaga
pelaksana lapangan. Tenaga pertukangan atau kerajinan, cukup disiapkan pada
tingkat pendidikan menengah kejuruan atau kursus keterampilan yang sesuai.
Ketiga,
beberapa
jenis tenaga sarjana, seperti kesenian dan senirupa yang dapat bekerja mandiri
dan professional, tidak memerlukan lapangan kerja perkantoran. Sarjana kesenian
dan senirupa adalah pekerja profesional karena bakatnya, bahkan pendidikan
formal setinggi apapun tidak dapat menambah bakatnya. Pekerja kesenian dan
senirupa paling tinggi cukup memerlukan program vokasi, karena pekerjaan ini
pada dasarnya tidak memerlukan sarjana, magister, atau doktor. Program
pendidikan sampai tingkat vokasi akan memberikan nilai tambah bagi yang
berbakat di bidang seni daslam rangka melahirkan produk-produk kreatif, serta
membantu melahirkan inovasi, teknologi kemasan, serta pemasaran produk yang
lebih baik dibandingkan dengan cara-cara tradisional.
DAFTAR
PUSTAKA
Anderson, L. W. (1989). The Effective
Teacher: Study Guide and Reading. New York: McGraw-Hill Book Company.
Badan
Pusat Statistik (2008) Survey Sosial
Ekonomi Nasional, Jakarta BPS
Cathy
Andrew, Cindy Howe, John Kane, Reese Mattison (2007) “Dynamic Korea; Education Policies and Reform”
Group Project: EPS530Z-Spring 2007.
Costa, A.
L.1991. The school as a home for the mind. Palatine, Illinois: Skylight
Training and Publishing, Inc.
Depdiknas,
(2005) “Rencana Strategis
Pembangunan Pendidikan Nasional 2005-2009., Jakarta Sekretariat
Jenderal Depdiknas
Rochmat
Wahab. Pembelajaran yang efektif, efisien, dan menarik sesuai dengan
Perkembangan teknologi modern, Seminar Pendidikan, Yogyakarta, 2009.
Satori,
Prof. Dr. Djam’an, M.A. 2010. Peningkatan dan Penjaminan Mutu Pendidikan.
Bandung: UPI
Komentar
Posting Komentar