Kuliah Perdana Etnomatematika



Kuliah Perdana Etnomatematika, hari ini Rabu 9 September 2015, jam 13.40-15.20.
Program Ilmu Pendidikan Konsentrasi Pendidikan Matematika di gedung 300C Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Dengan peserta 4 (empat) orang yaitu; Dafid Slamet Setiana, Rahayu Condro Murti, Alkusaeri dan Riawan Yudi Purwoko. Pada semester sebelumnya keempat orang itu mengikuti perkuliahan pengembangan kurikulum yang juga diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Kata-kata etno itu kalau seseorang ingin membahas secara lebih detil dan lebih luas sesuai dengan waktu dan tempatnya yang semuanya bermuara pada filsafat ilmu yang ditarik sedikit yaitu pada spiritualitasnya. Dari kajian yang diutarakan itu, mengandung maksud setiap kata punya tempat dan kedudukan, punya lokasi, kata itu bisa istilah, bisa konsep bisa pengertian, bisa formula, bisa rumus, aturan-aturan, karakteristik juga aspek-aspek. Pasti setiap kata/konsep punya kedudukan, cara menentukan kedudukan adalah lampau, sekarang dan yang akan datang, yang memang kodratnya seperti itu. Kenapa kita bisa bicara kodrat seperti agama, dari pengetahuan intuitif kita kodrat (sunatullah) suatu konsep itu, kalau orang sudah biasa melakukan telaah apa, bagaimana, darimana, mau ke mana, oleh siapa, mengapa, begitu melihat suatu konsep akan timbul kecurigaan positif atau suspek bahwa lokasi kata-kata ini berada dimana, oleh siapa dst. Karena suatu konsep berada di jejaring konseptual secara lebih luas, maka setiap konsep pasti berkemistri degan miliunya. Kalau contohnya hidup di kampung yang biasanya tidak mempunyai kartu Muhammadiyah maupun kartu NU, tetapi di kampung itu biasa kelihatannnya melaksanakan apa yang digariskan oleh para nahdiyin ahli sunnah al jamaah, jadi tinggal di situ hidup di situ jadi berkemistri. Kalau ada kenduri ya datang, , wajibnya orang diundang ya datang, kalau diumdang datang jadi terbiasa datang. Jadi berkaitan dengan kenduri sudah berkemistri dengan miliunya. 

KKNI suatu silabus S1 menjadi genus silabusnya S3, dengan direntang standar kompetensinya, atau outcomenya.  Dulu Prof. Dr. Marsigit, M.A., pernah langsung kuliah dengan ahli etnomatematika, yaitu dari orang Brasil yaitu Teresa nun ketika di London. Penelitian yag terkenal dari Teresa nun yaitu Street Mathematics (matematika jalanan). Jadi etno itu berada di area umum,common, grass root area, area akar rumput. Bukan sesuatu yang berada di trans seperti ide yang terbebas dari grass rootnya. Dengan menghimpun obyek dan ditetapkan deinisinya dengan pengertian pangkalnya.

Berfikir menurut Emmanual kant yaitu prinsip identitas dan prinsip kontadiksi.
Ex. Alien adalah oyek pikir yang terbebas dari ruang dan waktu. Terdapat lebih dari 1 alien, jumlah alien tak terbatas, banyak alian berkorepondensi dengan bilangan bulat, alien bisa berkorespondensi dengan alien yang lain. Postulaiat 1; jika alien 1 berkoresponsi dengan alien yang lain akan memunculkan alien yang baru. Jika alien satu tidak berkorespondensi dengan alien yang lain belum tentu tidak mengahsilkan alien yang baru, dst.

Untuk mendekati etno, matematika model alien itu perlu diturunkan lagi.pertemuan antara stalagtid yang dari atas dan stalagmid yang dari bawah. Stalagtid matematika dengan stalagmid etno, pertemuan stalagtid dan stalagmid merupakan daerah etnonya. Jika kira-kira membuat stalagtid dan stalagmit buatan terlihat sangat sulit.

Ini masih kompromi, mempertanggung jawabkan ini lho matematik dari stalagmid. Hanya sedikit dari matematika yang mau menjadi stalagtid, karena mereka banyak yang menjadi stalagmid yang berada di atas. Matematika apa yang kita fikirkan sedemikian hingga sehingga menimbulkan nuansa yang berkemistri yang berkaitan dengan naiknya unsur bawah ke atas. Berarti kita berurusan dengan genus/core. 

Dari ideal menuju praktikal, dari abstrak menuju konkret.
Kalau tidak turun dari seinggasana jelas tidak mungkin tahu apa yang akan dipelajari. Mesti turun dari singgasana, sesuai dengan judul pada blog pemberontakan pendidikan matematika. Ada metamika aksiomatik, matematika sekolah untuk anak kecil, ada matematika formal ada matematika konkret. 

Ada gunung matematika realistik yang merangkum anak tangga dari matematika bawah ke atas. Etnomatematik berkemistri dengan matematika realistik. Kalau dari sisi atas (pure mateatics) maka etno matematika yang dilihat matematikanya, kalau dari segi etnomatematika yang kelihatan adalah etnonya, yaitu yang konkret. Kalau sudah kembali ke kandang masing-masing semuanya tidak akan peduli pure kembali ke kandangnya demikian pula dengan etno. Ex. Saya pure matematika 30 th mengajar matematika, tidak perlu belajar filsafat, tidak perlu belajar etnomatematika dsb. Sebaliknya etnomatematika asik mengembangkan dengan etno tidak perlu ketakutan akan keliru dengan matematika yang murni. Karena mahadewa sudah turun ke bumi. Tanpa menghilangkan kesadaran bahwa dia adalah dewa. Terjadi trasfer dari stalakmid murni ke stalagtid pure mathematics, begitu pula sebaliknya. Kenapa kita perlu berinteraksi dengan grass root, karena mereka adalah domisili/tempat subyek didik kita. Anak SD, SMP, SMA, berada di lembah stalagmid yang dari bawah itu. Maka matematika jalanan dari Teresa nun itu benar-benar meneliti dari jalanan, kenapa para peadagang asongan  jalanan itu menghitung  lebih cepat daripada dengan aturan-aturan yang biasa di ajarkan di kelas/sekolah secara formal. Maka diterbitkanlah bukunya street mathematics, kalau para dewa ingin menyejahterakan manusia di bumi, menjelmalah jadi manusia biasa agar bisa dipahami oleh manusia biasa. Seperti Semar yang menjelma menjadi manusia biasa.

Kalau anda para dewa mahadewa mau mensejahterakan masyarakat di bumi, gunakanlah metode-metode yang bisa dipahami oleh manusia, maka agar dipahami oleh manusia, maka menjelmalah para dewa itu menjadi manusia biasa. Dalam perwayangan ada Semar yang menjelma menjadi manusia biasa. Dia menjelma menjadi manusia biasa supaya bisa dipahami oleh manusia. Tuhan saja menurunkan firman-Nya saja melalui para Nabi dan Rasul, turun ke bawah. Karena itulah kalau kita mau membangun masyarakat yang ada di lereng gunung merapi tetapi kita tidak mau turun, hanya di atas saja, ya persis seperti jilatan letusan gunung merapi itu, lava yang tumpah ke bawah. Akhirnya orang-orang yang ada di bawah itu ibaratnya seperti terbakar. Itulah tadahan siswa-siswa SD kita di mana gurunya tidak mengerti metodologi pembelajaran matematika, dia hanya mengerti definisi matematika dan rumus diberikan kepada anak SD suruh menghafalkan. Itulah sebetulnya sudah membakar hutan di lereng gunung merapi. Itulah pentingnya kita belajar etnomatematika.

Dari urusan memanage atau mengorganisasi kesejahteraan warga di lereng gunung merapi, walaupun ada kesadaran, tetapi kita tidak selalu setiap saat. Ketika kita sedang berlari, ketika kita sedang membawa cangkul, kita tidak setiap saat membawa kitab suci. Ketika kita mencangkul ya mencangkul. Kalau kita ke sawah kita nggak bawa hadits. Hadis cukup di dalam hati dan pikiran saja. Kalau kita ke sawah ya cukup bawa sabit. Inilah etnomatematik. Jadi kalau begitu dari sisi Anda para mahadewa turun dari langit ke bumi mau membangun perkampungan etnomatematika untuk menyelamatkan dan mensejahterakan para warga, dimana warganya adalah para younger learner in mathematic, para pemula atau beginner in thinking mathematic kita harus mempunyai intuisi. Kita harus mengetahui ada yang namanya mathematical intuition (intuisi matematik). Logika matematika yang basic, karakter-karakter matematika yang basic  yang bisa diturunkan lewat saringan, air kapur sebagai bahan bahan stalakmit mengendap di sana, yang saya minta anda mengidentifikasi, diteruskan. Misalnya sifat-sifat matematika adalah mengurutkan, membandingkan, mencari kesamaan bentuk, memindahkan, mentranslasikan, didalamnya mengandung translasi, rotasi, refleksi dari benda-benda. Kemudian mengurutkan, berfikir logis. Silahkan nanti diidentifikasikan.

Kemudian etno secara intuisi, artinya jelas etno terkait dengan etnik, silahkan dikaji ditelaah dari segi bahasa. Etno, etnik, ethnicity, kesukuan etnis. Kalau kesukuan etnis kita berbicara ekstensi dari subjek belajar yang berada di lembah gurung berapinya matematika realistis, diekstensikan. Kalau diekstensikan kita menemukan yang namanya society, masyarakatnya. Kemudian yang namanya ekstensi selalu bergandeng tangan dengan intensi. Diekstensikan kemudian diintensikan. Ekstensi dan intense berada di setiap dimensi. Pure mathematician juga bisa melakukan ekstensi dan intensi. Maka di sebuah kebun lading matematika realistic juga bias diekstensikan. Ekstensikan akan menghasilkan bertemu dengan masarakat. Intensikan akan menghasilkan produk atau karakteristik yang dihasilkan jadi peradaban dan budaya. 

Jadi etnomatematik itu kegiatan sudah mempunyai pergeseran nilai dari sekedar etno dan matematik. Kalau dari sisi atas melihatnya etnomatematik adalah matematika yang ada di dalam etno. Kalau dari sisi bawah, etnomatematik adalah etno yang mengandung unsur matematika, atau budaya yang mengandung unsur matematika.

Intense dan ekstensi bersifat kontekstual. Bisa saja Bu Condro tinggal di Los Angeles atau California, atau Ohio, di sana kita bisa melakukan ekstensi dan intense. Ekstensi kita di Yogyakarta ini menghasilkan area komuniti masyarakat DIY khususnya beserta produk-produk budanyanya. Maka lahirlah kegiatan etnomatematik, yaitu mempelajari budaya Jogja dan Jawa Tengah yang mengandung unsur-unsur yang dapat dikembangkan dan digali, unsur-unsur matematika yang belum tampak bagi orang lain yang saya sudah dapat menangkapnya dari sisi matematik yang sabfat soft yang bersifat genetika baik secara intuisi maupun secara hakiki atau hakikat dari matematika untuk younger learner, anak kecil, atau matematikanya orang awam, atau pengertian matematika secara kontekstual. Dari sini sudah kelihatan, Ibu Bapak nanti kalau mau research, kalau S3 hasilnya adalah proposal research. Kalau sudah sampai proposal tinggal melaksanakan, yang ada pelaksanaan research-nya, kemudian ada presentasinya.

S1 juga melaksanakan, satu kelas dibagi tiga kelompok. Kelompok 1 ke kraton Yogyakarta, kelompok 2 ke Candi Borobudur, kelompok 3 ke Candi Borobudur. Karena ini 4 orang, maka ditambah satu yang mengandung etnomatematika. Atau Dieng, di sana ada Candi Dieng, Wonosobo. Gunung Srandil terlalu kecil, terlalu sedikit objeknya. Dikhawatirkan tersesat hati dan pikiran, karena banyak sesaji-sesaji.

Jadi pasti ada observasi, telaah referensi, kemudian dicoba unsur-unsur apa yang bias sejalan dengan matematika untuk anak sekolah, SD SMP, SMA, atau sampai orang dewasa ya silahkan, matematika apa. Kalau di Kraton jangan hanya berpikir masalah kratonnya, tetapi juga produknya, termasuk produk sastra. Sastra jawa, tembang Jawa, bukan sekedar pintu gerbangnya. Produknya berupa buku-buku kuno, kalender Jawa, legi, pahing, pon, wage, kliwon. Seberapa jauh Pranata Mangsa Jawa, kapisan, kapindo, katelu. Ada mocopat.

Ada penanggalan Jawa, ada penanggalan Arab, kalender Jawa, kalender Arab, perhitungan perkawinan. Kalender Jawa berbasis 5 hari (legi, pahing, pon, wage, kliwon), kalender nasional berbasis  7 (senin-minggu). Dari jumat kliwon sampai jumat kliwon lagi berarti 7 x 5 = 35. Dikatakan selapan dina. Selapanan untuk bayi. Kalau 40 hari untuk orang meninggal. Cara menghitung jumat kliwon sampai jumat kliwon ditambah lima hari. Selamatan seratus hari, seribu hari. Di Blog Bapak Marsigit ada ritual matematik. Seribu dibagi basis itu, tidak perlu pakai tally/turus.

Segala macam konsep dapat dilihat dari dua sisi, dua hal. Yang pertama sintak, yang kedua semantiknya. Yang diomongkan ini adalah semantik. Karena tidak membaca buku. Artinya substansi yang diomongkan, semantik itu. Tapi kalau membuka buku berarti sintaknya. Dalam berpikir kontekstual ada dua macam, kontekstual dalam arti sintak atau semantik. Dalam arti sintak sesuai referensinya sesuai karangan siapa, yang ada tujuh langkah, itulah yang dapat dijadikan pedoman karya ilmiah, karena berbasis sebagai ilmiah yang diakui orang, jurnal referensi dan sebagainya. Sedangkan yang saya maksud kontekstual yang dikatakan tadi bersifat semantik, artinya mari kita berdebat 24 jam. Silahkan ibu berpikir sendiri, saya berpikir sendiri tentang kontekstual.
Jadi etnomatematik jelas kontekstual. Tapi kontekstual belum tentu etnomatematik. 

Karena kontekstual yang bersifat sintak langkah-langkah pembelajaran belum tentu etnomatematik. Oleh karena itu, dulu ada tesis tentang pengembangan perangkat pembelajaran berbasis budaya sasak. Apa yang dimaksud berbasis budaya sasak? Kalau belum melakukan telaah budaya sasak, maka tesis tidak valid, tidak logis, tidak akuntabel dan tidak dapat dipercaya. Dari hasil telaah budaya, matematika apa yang digunakan untuk pengembangan perangkat pembelajaran. Mungkin yang dimaksud sekedar pengembangan perangkat pembelajaran berbasis kontekstual, konteksnya contoh-contoh matematika yang ada di masyarakat sasak. Solusinya, bisa ditambah telaah budaya sasak, atau diganti judul berbasis CTL. Sekedar CTL bukan berarti berbasis budaya.

Telaah budaya misalnya pergi ke Borobudur, prambanan, Dieng. Kalau mendekati sesuatu kalau orang jawa pakai Sosro Bahu (tenaga seribu). Level Anda itu sudah Sosrobahu (seribu Jin). Ada perwayangan, orang yang sudah menjadi orang sakti adalah sosro bahu. Aji sosrobahu adalah seribu kuasa, seribu tangan, seribu referensi, seribu metode. Melakukan telaah dan pendekatan multimedia, multi purpose. Teropongnya jangan sekedar satu visi saja. Dari matematika murni seperti apa, perspektif internasionalnya seperti apa, referensinya seperti apa, metodologinya seperti apa, pengolahan datanya seperti apa. Proposalnya seperti itu.

Ketika ke sana, membawa kamera untuk merekam, agar bisa mengungkap etno. Yang namanya etno adalah area daripada tempat berawalnya sesuatu yang sedang tumbuh dan berkembang. Ibarat menyemaikan tumbuhan harus siap, kalau tumbuhan besar pohon semakin tinggi, harus menyiapkan tempat yang tinggi, sinar yang cukup. Supaya sukses dan berhasil mengungkapnya, kita sudah tes awal, sudah berchemistry belum dengan kraton dan sebagainya. Paling tidak chemistrynya rumahnya dekat dengan tempatnya.

Kalau sudah memutar logika yang dihasilkan hanya rekayasa. Jadi harus ada telaah, identifikasi, pakai dua pendekatan, pendekatan referensi dan efidensi, empirical. Sebelum berkunjung, buka internet, harus memiliki bekal. Bukan seperti orang awam, datang sebagai profesional. Sukses dan berhasil mengungkapnya tergantung sejauhmana berkemistri dengan kraton. Paling tidak dengan alasan jarak rumah dengan lokasi relatif dekat (dari segi geografi). Yang asli kadang-kadang spontan tapi benar. Dalam penelaahan ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan referensi dan pendekatan efidensi (empirikel efiden). Sebelum ke Prambanan misalnya harus sedikit banyak mengetahui dulu tentang Candi Prambanan, misalnya dengan mencari informasi dari internet. Dalam melakukan penelaahan dengan obyek telaah kita harus memposisikan diri secara profesional, jadi begitu pula kalau ke kraton, harus tahu dulu tentang refensi tentang seluk beluk keraton, buku-buku ajaran kraton, produk-produk, yang mengandung ajaran keraton dan sebagainya, yang mengandung ajaran keraton dan sebagainya mulai dari pethal jemur kitab-kitab dan sebagainya, pranata mangsa dan sebagainya, tata cara adat dan sebagainya (komplit), buka di internet. Setelah itu baru cari efiden, efiden di sini untuk memperkokoh, membuktikan dan menemukan yang belum ada di internet. Itu baru studi awal, bagi yang judul disertasinya mengenai budaya maka kuliah ini sangat membantu, maka bersyukurlah yang mengikuti kuliah ini dan disertasi berkaitan dengan budaya. Yang disertasinya tidak berkaitan dengan budayapun juga mesti bersyukur karena kuliah ini sangat memperkaya pengetahuan. Antara bersyukur dan tidak bersyukur hanya dilapisi oleh selembar kain yang tipis (dalam hati yang berdoa dan tidak). Ternyata kuliah ini sangatlah mendukung. Referensinya bisa ditulis di tulisan-tulisan Prof. Dr. Marsigit, M.A., Silabusnya dapat dicari di tulisan-tulisan Prof. Dr. Marsigit, M.A. Karena untuk membaca-baca blog dan komen sudah, maka pada kesempatan kuliah ini merefleksikan, kuliah ini direfleksikan dan di uplod di blog masing-masing mahasiswa. Juga sekaligus Prof. Dr. Marsigit, M.A. membantu mengisi blog dari masing-masing mahasiswa. Supaya blognya diisi, dan dapat follower...untuk judulnya bebas, cari buku-buku internasional etnomatematika dari Teresa nun dsb. Kemistrinya seharusnya sudah dipahami/disadari, yaitu pembelajaran inovatif yang berorientasi pada siswa. Jadi yang psikologi cocok/berkemistri yang yaitu kontruktifisme, kognitif developmen , bukan behaviorisme. Yang cocok lagi realistik matematik. Yang pada tahap aal ini juga memulai membuat propasal studi lapangan, dengan biaya sendiri (mandiri). Berawal dari proposal, dilanjutkan dengan pengambilan data, kembali ke kampus, diolah yang hasilnya untuk perangkat pembelajaran dan model pembelajaran matematika berasis budaya/etnomatematik. Misalnya untuk borobudur, adalah model pembelajaran matematika berbasis karya-karya ...di candi borobudur. Kalau pengembangan perangkat pembelajaran itu taraf tesis, kalau disertasi ya pengembangan model pembelajaran. Misal, Pendidikan Matematika berbasis etnomatematika/budaya. Kalau S3 lebih keren dengan judul ‘Pendidikan Matematika berbasis Budaya’. Jadi level kita adalah berjuang keras...berjuang keras...berjuang keras...pada akhirnya hingga profesional mempelajari PTK, Lesson Study, dsb. Hingga pada level tertentu blanded menyatu menjadi satu menjadi cair...blanded...cair kalau menjadi satu menjadi uap. Kalau jadi uap nanti meninggalkan dunia pada akhirnya, ilmu yang paling tinggi kan kalau sudah sampai akhirat. Bisa berbicara banyak sekali itu karena blanded itu tadi (merasakan yang blanded tadi), mau menetes yang mana, mau menetes yang mana. Kalau ada pertanyaan tinggal tinggal mau dijaab dari segi mana, dilihat dimana peristianya, hingga jawaban di luar dugaan bahkan labih dari jaaban yang diharapkan. Itu merupakan pentingnya sebuah pengalaman. Sekali lagi kuliah pertama ini direfleksikan dengan judul yang bebas yang penting inti sarinya terkandung di kuliah pertama ini. Selamat Berjuang...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERMASALAHAN DAN KEMUNGKINAN SOLUSI DALAM PENGEMBANGAN LPTK

MAKALAH PENGEMBANGAN ETNOMATEMATIKA BERORIENTASI LEARNING TRAJECTORY

KAJIAN PETA FILSAFAT DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN