MEREKA BERANTITESIS



Parmenides
a.    Biografi Parmenides
Parmenides merupakan filsuf Yunani yang lahir di Elea, sebuah kota di daerah Italia selatan, dan sudah dewasa pada paruh abad ke 5-SM. Ia merupakan pendiri madzhab Eleatic dan banyak berguru pada Xenophanes, guru Zeno dan banyak mempengaruhi pemikiran Plato di masa sesudahnya. Plato menamakan dialognya Parmenides, diambil dari namanya, yang menampilkan pendirian filosofisnya yang utama. Parmenides menulis on nature, sebuah puisi didaktik yang terdiri dari tiga bagia: puisi pendahuluan, “Di Jalan Kebenaran” dan “Jalan Kepalsuan atau Ilusi.” 
b.    Pemikiran Parmenides
Parmenides merupakan filsuf yang disebut-sebut sebagai bapak logika pertama. Karena dalam beberapa pemikirannya, terlihat bahwa ia menggunakan syarat kebenaran koherensi dan konsistensi. Sebagaimana Aristoteles yang memasukkan prinsip no-kontradiksi sebagai salah satu principia. Selain Parmenides menemukan logika dalam membangun pemikirannya, ia juga terlihat sangat metafisis dalam beberapa ognum-ovusnya, terutama dalam pemikirannya tentang kebenaran absolute, yang tetap dan tidak berubah.Parmenides membagi arah pemikiran menjadi dua jalan; The way of truth  and the way of brief or opinion. Pembagian ini dilatar belakangi oleh keyakinannya tentang kebenaran tunggal (pasti, absolute) dan kebenaran semu (opinion). Pertama, Kebenaran absolute. Kebenaran ini bersifat mutlak, apa adanya,  abadi dan tak akan pernah menjadi tidak ada. Sedangkan yang kedua, kebenaran pendapat manusia, yaitu kebenaran yang secara objektif tidak ada kebenaran di dalamnya. Dengan perkataan lain, itu hanyalah prasangka manusia. Prasangka itulah yang mengatakan ada yang banyak padahal “yang banyak” itu tidak ada. Parmenides sesungguhnya tidak mendefinisikan apa itu “yang ada”. Akan tetapi, ia menyebutkan beberapa sifatnya yang meliputi segala sesuatu.  Menurutnya, yang ada itu memiliki empat sifat, yaitu: tidak bergerak, tidak tergoyahkan, tidak berubah, tidak terhancurkamn dan tidak dapat disangkal eksistensinya. Sehingga, bagi orang yang mengatakan bahwa “yang ada” itu tidak ada, itu berarti secara logis “yang ada itu ada”. Karena ketika orang mengatakan bahwa “yang ada itu tidak ada” , maka ia tidak dapat menyangkal adanya “yang ada”. Dari situ muncullah adagium terkenal dari Parmenides yang berbunyi:”Hanya yang ada itu ada”.



Herakleitos
a.    Biografi Herakleitos
Herakleitos adalah seorang filsuf Yunani yang hidup pada tahun 550-480 SM, abad 6-5 SM. Ia hidup sezaman dengan Pythagoras dan Xenophanes, namun lebih muda usianya dari mereka. Akan tetapi, Herakleitos lebih tua usianya dari Parmenides sebab ia dikritik oleh filsuf tersebut Tidak banyak data sejarah yang medeskripsikan kehidupan filsuf ini. Dia hidup di Efesus, sebuah kota penting di Pantai Ionia, Asia kecil, tidak jauh dari Miletus, tempat kelahiran filsafat. Dirinya dikenal sebagai Si Gelap karena perkataannya yang sukar dipahami artinya dan “nama itu menunjuk pesimisme yang ada padanya”. “Pesimisme ini ditimbulkan dari keadaan politik pada waktu itu atau akibat pengajarannya tentang kefanaan dunia”. Fragmen-fragmennya yang ditemukan ditulis dalam bentuk kalimat-kalimat yang estetis dan rumit sehingga bisa menyebabkan salah penafsiran bagi pembacanya. Hal ini adalah kekhasan dalam diri Herakleitos karena dia memang mencoba mengungkapkan pemikirannya dalam bentuk puisi atau epigram yang elegan. Dalam hidupnya, Herakleitos mengabdikan diri untuk mendalami filsafat lewat pemikiran-pemikirannya yang bersifat spekulatif.
b.    Pemikiran Herakleitos
Herakleitos seringkali dikenal dengan pemikiran-pemikirannya mengenai perubahan dalam kosmos dan keseimbangan yang ada di dalamnya. Dia juga banyak mengulas mengenai pertentangan yang ada di dunia. Ini diutarakannya lewat ungkapan bahwa perang adalah bapak dari segala-galanya  Pernyataan ini ingin menegaskan bahwa dalam pertentangan yang terdapat di alam semesta tercipta sebuah harmoni kehidupan.
Pemikiran Herakleitos yang paling terkenal adalah mengenai perubahan-perubahan di alam semesta. Menurut Herakleitos, tidak ada satu pun hal di alam semesta yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada sesuatu yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi. Ia terkenal dengan ucapannya panta rhei kai uden menei yang berarti, "semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap."
Perubahan yang tidak ada henti-hentinya itu dibayangkan Herakleitos dengan dua cara:
·         Pertama, seluruh kenyataan adalah seperti aliran sungai yang mengalir. "Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama," demikian kata Herakleitos. Maksudnya di sini, air sungai selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama dengan yang sebelumnya.
·         Kedua, ia menggambarkan seluruh kenyataan dengan api. Maksud api di sini lain dengan konsep mazhab Miletos yang menjadikan air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu. Bagi Herakleitos, api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu, melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri. Api senantiasa mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama. Karena itu, api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.
1.      Logos
Segala sesuatu yang terus berubah di alam semesta dapat berjalan dengan teratur karena adanya logos. Pandangan tentang logos di sini tidak boleh disamakan begitu saja dengan konsep logos pada mazhab Stoa. Logos adalah rasio yang menjadi hukum yang menguasai segala-galanya dan menggerakkan segala sesuatu, termasuk manusia. Logos juga dipahami sebagai sesuatu yang material, namun sekaligus melampaui materi yang biasa. Hal ini disebabkan pada masa itu, belum ada filsuf yang mampu memisahkan antara yang rohani dan yang materi.
2.      Segala Sesuatu Berlawanan
Menurut Herakleitos, tiap benda terdiri dari yang berlawanan. Meskipun demikian, di dalam perlawanan tetap terdapat kesatuan. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa 'yang satu adalah banyak dan yang banyak adalah satu'. Anaximenes juga memiliki pandangan seperti ini, namun perbedaan dengan Herakleitos adalah Anaximenes mengatakan pertentangan tersebut sebagai ketidakadilan, sedangkan Herakleitos menyatakan bahwa pertentangan yang ada adalah prinsip keadilan. Kita tidak akan bisa mengenal apa itu 'siang' tanpa kita mengetahui apa itu 'malam'. Kita tidak akan mengetahui apa itu 'kehidupan' tanpa adanya realitas 'kematian'. Kesehatan juga dihargai karena ada penyakit. Demikianlah dari hubungan pertentangan seperti ini, segala sesuatu terjadi dan tersusun. Herakleitos menegaskan prinsip ini di dalam kalimat yang terkenal: "Perang adalah bapak segala sesuatu." Perang yang dimaksud di sini adalah pertentangan.
Melalui ajaran tentang hal-hal yang bertentangan tetapi disatukan oleh logos, Herakleitos disebut sebagai filsuf dialektis yang pertama di dalam sejarah filsafat




David Hume
a.    Biografi David Hume
David hume lahir pada tanggal 26 April 1711 di Edinburgh, Skotlandia. Awalnya nama aslinya David Home namun pada tahun 1734, ia mengubah namanya Hume karena di Inggris kesulitan mengucapkan Home dengan cara Skotlandia. Hume merupakan putra pasangan Yusuf Chrinside dan Khaterine Falcorner. Saat usia Hume masih anak – anak, ayahnya meninggal sehingga dia dibesarkan oleh ibunya.
Dalam masalah pendidikan, Hume mendapatkan pendidikan yang sangat baik. Hume mendaftar di Universitas Edinberg untuk belajar sastra klasik, tapi Hume tidak puas dengan pendidikannya itu, kemudian dia memutuskan untuk keluar dari universitas dan memilih pergi ke perancis untuk menjadi seorang filsuf besar.
Pada tahun 1734, setelah beberapa bulan sibuk dengan perdagangan di Bristol, Hume pergi ke La fleche di Anjon, Perancis. Disana dia sering wacana dengan Jesuit dari College of La Fleche, saat itu juga, dia menghabiskan tabungannya untuk menuliskan karyanya yang berjudul A Treatise of Human Nature, dia menyelesaikan karyanya pada usia 26 tahun.
Setelah karyanya dipublikasikan pada tahun 1744, Hume ditetapkan sebagai ketua Pneumatics dan moral filsafat dan moral di Universitas Edinburg. Namun posisinya diberikan kepda William Cleghorn, karena menteri Edinburg mengajukan petisi kepada dewan kota untuk tidak menunjuk Hume karena ia dituduh sebagai ateis. Hume juga dituduh bid’ah, tapi dia dipertahankan oleh ulama muda, teman – temannya berpendapat bahwa sebagai ateis, ia berada di luar gereja yuridiksi. Walaupun adanya pembebasan, Hume gagal untuk mendapatkan jabatan sebagai ketua filsafat di universitas Glasgow.
Hume wafat pada usia yang ke 65 pada tahun 1776 di kota kelahirannya Edinburg, Skotlandia. Sepanjang kehidupannya, Hume tidak pernah menikah.

b.    Pemikiran David Hume
David Hume merupakan puncak dari aliran Empirisme. Baginya, pengalaman lebih dari rasio sebagai sumber pengetahuan, baik pengalaman intern maupun ekstern. Menurut Hume, semua ilmu itu berhubungan dengan hakekat manusia. Dan ilmu inilah yang menjadi satu – satunya dasar bagi ilmu – ilmu yang lain.
Hume mengatakan bahwa, semua pengetahuan dimulai dari pengalaman indra sebagai dasar. Impression pada Hume, sama dengan sensasional pada John Lock yaitu basis pengetahuan. Semua persepsi jiwa manusia terbentuk dari dua alat yang berbeda yaitu impression dan idea. Dari keduanya, perbedaan terletak pada tingkat kekuatan dan garis menuju kekuatan besar dan kasar disebut impression, sedangkan idea adalah gambaran kabur tentang persepsi yang masuk ke dalam pikiran.
Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialaminya hanya kesan – kesan saja tentang beberapa cirri yang selalu ada bersama – sama. Dimulai dari kesan, kemudian muncul gagasan, dimana kesan merupakan hasilpenginderaan secara langsung, sedangkan gagasan itu sendiri merupakan ingatan akan kesan – kesan.
Hume tidak mengakui adanya kausalitas atau hukum sebab akibat. Banyak orang berpendapat bahwa penyimpulan soal – soal yang nyata tampaknya didasarkan atas hubungan sebab akibat. Hume menolak kausalitas sebab sesuatu mengikuti yang lain, tidak melekat pada hal – hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Jika kita bicara tentang hukum alam atau sebab akibat, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte leh kebiasaan atau perasaan kita saja.
David hume menolak membagi persepsi menjadi dua, dimana persepsi sederhana adalah persepsi yang tidak bisa dibagi seperti ketika melihat merah, bulat dan pesepsi ruwet seperti idea apel yang memerlukan idea yang susunannya dan asosiasinya harus kompleks. Jadi untuk mengetahui kebenaran sebuah pengetahuan, maka diuraikan idea yang kompleks menjadi ide- de sederhana dan kemudian menemukan kesan yang merupakan basis idea tersebut.  Oleh karena itu, metode Hume tidak bisa digunakan untuk persoalan metafisika seperti Tuhan karena tidak memiliki basis pengalaman dan tidak bisa mempunyai basis berupa hubungan antara idea yang dapat didemonstrasikan melalui logika sederhana atau pembuktian matematis.
Di dalam etikanya, Hume membuang segala kausalitas, karena akal hanya bisa menunjuk pada kesesuaian antara suatu perbuatan tertentu dengan defacto. Pada dasarnya, pemikiran Hume bersifat analisis, kritis dan skeptis. Ia berpangkal pada keyakinan bahwa hanya kesan – kesanlah yang pasti, jelas dan tidak diragukan, dari situlah dia sampai pada keyakinan bahwa “ aku “ termasuk dunia khayalan. Berarti, dunia terdiri dari kesan – kesan yang terpisah dan dapat disusun secara obyektif, sistematis, karena tiada hubungan sebab-sebab diantara kesan – kesan itu.
c.    Kesimpulan
Teori hume ini meruntuhkan teori rasionalisme yang mengatakn bahwa sumber pengetahuan adalah melalui rasio atau akal. Menurut Hume, pengetahuan itu bersumber dari pengalaman yang diterima oleh kesan indrawi. Hal demikian mendorong kita, bahwa untuk menemukan suatu pengetahuan, kita memerlukan pengalaman kita. Dengan demikian, bahwa untuk membuktikan suatu kebenaran akan pengetahuan itu, memerlukan observasi yang mana dengan cara seperti itulah merupakan titik tolak dari pengetahuan manusia.
Selanjutnya, ketika Hume menerapkan teori empirismenya dalam mengkaji eksistensi tuhan, dia mengungkapkan bahwa tuhan yang menurut kaum rasionalisme memang sudah ada dalam alam bawaan, sebenarnya tidak nyata.  Menurut Hume, pengetahuan akan tuhan merupakan suatu hal yang tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya kesan penglaman yang kita rasakan akan tuhan. Persoalan tuhan merupakan persoalan yang berkaitan dengan metafisika. Pembahasan dalam metafisika tidak bisa didekati dengan pembuktian menuntut adanya suatu empiris dan nyata. Jauh dari kritik destruktif terhadap metafisika dan teologi, Hume memberikan analisis yang kontruktif yang membuka kemungkinan baru sambil membuat kita sadar akan kebutuhan mendasarkan teori kita pada fakta pengalaman. Hume menawarkan kesempatan dan tantangan untuk membangun teori sendiri dengan memcoba sedekat mungkin dengan pengalaman.

Immanuel Kant
a.    Biografi Immanuel Kant
Immanuel Kant dilahirkan pada tahun 1724 di Königsberg dari pasangan Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant.Ayahnya kemudian dikenal sebagai ahli perdagangan, namun di tahun 1730-1740, perdangangan di Königsberg mengalami kemerosotan.Hal ini memengaruhi bisnis ayahnya dan membuat keluarga mereka hidup dalam kesulitan.Ibunya meninggal saat Kant berumur 13 tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia berumur hampir 22 tahun. Pendidikan dasarnya ditempuh Kant di Saint George’s Hospital School, kemudian dilanjutkan ke Collegium Fredericianum, sebuah sekolah yang berpegang pada ajaran Pietist.
Keluarga Kant memang penganut agama Pietist, yaitu agama di jerman yang mendasarkan keyakinannya pada pengalaman religius dan studi kitab suci. Pada tahun 1740, Kant menempuh pendidikan di University of Königsberg dan mempelajari tentang filosofi, matematika, dan ilmu alam. Untuk meneruskan pendidikannya, dia bekerja sebagai guru privat selama tujuh tahun dan pada masa itu, Kant mempublikasikan beberapa naskah yang berkaitan dengan pertanyaan ilmiah. Pada tahun 1755-1770, Kant bekerja sebagai dosen sambil terus mempublikasikan beberapa naskah ilmiah dengan berbagai macam topik. Gelar profesor didapatkan Kant di Königsberg pada tahun 1770.
b.    Pemikiran Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah filsuf modern yang paling berpengaruh. Pendirian aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan, sedangkan empirisme berpendirian sebaliknya bahwa pengalaman menjadi sumber tersebut. Tokoh utama Kritisisme adalah Immanuel kant yang melahirkan Kantianisme. Kant kerap dipandang sebagai tokoh paling menonjol dalam bidang filsafat setelah era yunani kuno. Perpaduannya antara rasionalisme dan empirisme yang ia sebut dengan kritisisme, ia mengatakan bahwa pengalaman kita berada dalam bentuk-bentuk yang ditentukan oleh perangkat indrawi kita, maka hanya dalam bentuk-bentuk itulah kita menggambarkan eksitensi segala hal. Kant dengan pemikirannya membangun pemikiran baru, yakni yang disebut denagan kritisisme yang dilawankan terhadap seluruh filsafat sebelumnnya yang ditolaknya sebagai dogmatisme. Artinya, filsafat sebelumnnya yang ditolaknya sebagai dogmatism. Artinya, filsafat sebelum dianggap kant domatis karena begitu saja kemampuan rasio manusia dipercaya, padahal batas rasio harus diteliti dulu.
Perkembangan pemikiran kant mengalami empat periode;
1.      Periode pertama ialah ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz Wolf, yaitu samapi tahun 1760. Periode ini sering disebut periode rasionalistik
2.      Periode kedua berlangsung antara tahun 1760 – 1770, yang ditandai dengan semangat skeptisisme. Periode ini sering disebut periode empiristik
3.      Periode ketiga dimulai dari inaugural dissertation-nya pada tahun 1770. Periode ini bisa dikenal sebagai tahap kritik.
4.      Periode keempat berlangsung antara tahun 1790 sampai tahun 1804. Pada periode ini Kant megnalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial. Karya Kant yang terpenting pada periode keempat adalah Religion within the Limits of Pure Reason (1794) dan sebuah kumpulan esei berjudulEternal Peace (1795).
Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan “Pencerahan”, yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pada masa itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasikan pandangan duniannya, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme, yaitu suatu paham yang kemudian melahirkan apa yang disebut Natural Religion (Agama alam) atau agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya.
Maksud paham ini adalah menaklukkan wahyu ilahi beserta degan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, mukjizat, dan lain-lain kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang alamiah, bebas dari pada segala ajaran Gereja. Singkatnya, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran adalah akal. Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang  dianggap  benar-benar berbeda sama sekali dengan metafisikan pra kant.
Epistemologi Kant, Membangun dari Bawah
Filsafat Kant berusaha mengatasi dua aliran tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang untuk munculnya alternatif ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif. Mendapatkan inspirasi dari “Copernican Revolution”, Kant mengubah wajah filsafat secara radikal, dimana ia memberikan filsafatnya, Kant tidak mulai dengan penyeledikan atas benda-benda yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap.
Kant mengatakan: Akal tidak boleh bertindak seperti seroang mahasiswa yang Cuma puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennnya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya. Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya pertimbangan.

Kritik atas Rasio Murni
Dalam kritik ini, atara lain kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
a.         Putusan analitis apriori; dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (msialnya, setiap benda menempati ruang).
b.        Putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (=post, bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
c.         Putusan sintesis apriori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”.
Tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:
a.       Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
Unsur apriori, pada taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu. Dengan unsur apriori ini membuat benda-benda objek pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu
b.      Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Pengetahuan akal budi baru dieroleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.’.
c.       Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal budi(Verstand) dan tingkat pencerapan indrawi (Senneswahnehmung). Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea argumentatif.
Kendati Kant menerima ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan, dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya sendiri” (das Ding an Sich). 

Auguste Comte
a.    Biografi Auguste Comte
Filsafat positivisme diantarkan oleh Auguste Comte pada abad ke 19. Auguste Comte memiliki nama yang panjang yaitu Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte. Beliau dilahirkan di Montpellier pada tanggal 19 Januari 1798 dari keluarga pegawai negeri yang beragama katolik dan meninggal di Paris pada tanggal 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Karyanya yang pokok adalah Cours de philosophie positive, atau “kursus tentang filsafat positif” tahun 1830-1842 yang diterbitkan dalam 6 jilid.[1] dan Discours L’esprit positive tahun 1844.
Comte kecil tinggal di sebuah kota kecil bagian barat daya dari negara Perancis. Setelah bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya di École Polytechnique di Paris (1814), yang kemudian menghantarkannya menjadi seorang matematikawan yang brilian. Comte memulai karir profesionalnya dengan memberi les dalam bidang matematika. Meskipun ia telah memperoleh pendidikan dalam bidang matematika, namun perhatian yang sebenarnya ialah masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Perhatiannya tersebut kemudian berkembang setelah ia bertemu dengan Henri de Saint-Simon, seorang ahli teori sosial yang tertarik pada reformasi utopis dan pendiri awal sosialisme Eropa, yang kemudian  mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya.
Dengan Simon, Comte menjalin kerjasama yang erat dalam pengembangan karya awalnya. Namun, setelah tujuh tahun pasangan ini akhirnya pecah karena perdebatan mengenai kepengarangan karya bersama, dan Comte pun meninggalkan pembimbingnya tersebut.Namun, walaupun Comte tidak lagi bekerjasama dengan Simon, pengaruhnya tetap saja melekat sepanjang hidup Comte.
Pasca meninggalkan Simon, Comte selanjutnya meneliti tentang filosofi Positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama“Plan de travaux scientifiques nécessaires pour réorganiser la société”pada tahun 1822 (Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi akademis sehingga menghambat penelitiannya.
Sementara Comte sedang mengembangkan filsafat positifnya yang komprehensif, ia menikah dengan seorang bekas pelacur bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum sembuh. Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, pada tahun 1842 ia bercerai dengan Massin. Saat-saat di antara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul “Course of Positive Philosophy”.
Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clothilde de Vaux, seorang wanita yang sedang di tinggal suaminya.Perasaan Comte terhadap Clothilde cukup besar, namun sayangnya hal itu tak berlangsung lama karena Clothilde mengidap TBC dan akhirnya meninggal. Hal ini mengakibatkan Comte cukup terguncang, sampai bersumpah bahwa ia akan membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadari” nya tersebut.
Sifat tulisan Comte umumnya berubah secara mencolok pasca menjalin hubungan dengan Clothilde. Dalam karya keduanya “System of Positive Politics”, ia menggagas bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang dalam dalam kehidupannya adalah perasaan, bukan pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap. Dia mengusulkan suatu reorganisasi masyarakat, dengan sejumlah tata cara yang dirancang untuk membangkitkan cinta murni tanpa egois demi kebesaran manusia. Tujuannya ialah mengembangkan suatu agama yang baru yaitu agama Humanitas. Dan pada gilirannya ia menyatakan diri sebagai pendiri agama universal, Imam Agung Humanitas.
Meskipun egois dan egosentris, Auguste Comte mengabdikan dirinya untuk kemajuan masyarakat sampai akhir hayatnya.Ia meninggal karena kanker perut di Paris pada tanggal 5 September 1857

b.    Pemikiran Auguste Comte
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh ibn al-Haytham dalam karyanya kitab al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte.
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam karya utamanya Cours de Philosophic Positive (1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karya lainnya yakni Discours L’esprit Positive (1844). Dalam karya inilah Comte menguraikan pendapat-pendapat positivis, hukum tiga tahap, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan dan bagan mengenai mengenai tatanan kemajuan.
Dalam kaitannya (positivisme) tentang masyarakat, Comte meyakini bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, maka untuk memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menuntut pengetahuan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya. Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intlektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk-bentuk pemikiran teologi purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif.
Melihat kepada perkembangan ilmu alam (natural science) yang dengan penyelidikannya atas prilaku alam, lalu dapat menemukan hukum-hukum tetap yang dapat berlaku pada alam (hukum alam), Comte kemudian melakukan copy-paste metodologi ilmu alam tersebut untuk digunakan menyelidiki prilaku sosial, dengan begitu, menurut keyakinannya akan ditemukan hukum-hukum tetap yang berlaku general pada masyarakat (hukum sosial).
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 tahap atau 3 zaman, yaitu zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau zaman positif.
1.      Tahap Teologis
Pada zaman atau tahap teologis orang mengarahkan rohnya kepada hakekat batiniah segala sesuatu. Jadi orang masih percaya kepada kemungkinan adanya pengetahuan yang mutlak. Oleh karena itu orang berusaha memilikinya. Orang yakin, bahwa di belakang tiap kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak yang secara khusus. Pada tahap ini terdapat 3 tahap lagi, yaitu: a) tahap yang paling bersahaja atau primitif, ketika orang menganggap, bahwa segala benda berjiwa (animisme); b) tahap ketika orang menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri (politeisme); c) tahap yang tertinggi, ketika orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi, yaitu dalam monoteisme.
2.      Tahap Metafisik
Zaman yang kedua, yaitu zaman metafisika, sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologis. Sebab kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian atau dengan pengada-pengada yang lahiriah yang kemudian dipersatukan dengan sesuatu yang bersifat umum yang disebut alam dan yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
3.      Tahap Positif
Zaman positif adalah zaman ketika orang tahu bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis, maupun pengenalan metafisis. Ia tidak lagi mau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau disajikan padanya, yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya. Pada zaman ini pengertian “menerangkan” berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan dengan suatu fakta yang umum. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja.

a.    Biografi Edmund Husserl
Edmund Gustav Albrecht Husserl (lahir di Prostějov (Prossnitz), Moravia, Ceko, 8 April 1859 – meninggal di Freiburg, Jerman, 26 April 1938 pada umur 79 tahun) adalah seorang filsuf Jerman, yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena obyektif.
Husserl dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostějov (Proßnitz), Moravia, Ceko (yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austria). Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf; karya filsafatnya memengaruhi, antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat, mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Ia mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) dari 1887, lalu di Göttingen sebagai profesor dari 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari 1916 hingga ia pensiun pada 1928. Setelah itu, ia melanjutkan penelitiannay dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga kemudian dilarang menggunakannya - karena ia keturunan Yahudi - yang saat itu dipimpin oleh rektor, dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegger. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia.

b.    Pemikiran  Edmund Husserl
Bagi Husserl fenomenologi adalah suatu bentuk ilmu mandiri yang berbeda dari ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Dengan fenomenologi Husserl mau menantang semua pendekatan yang bersifat biologis-mekanistik tentang kesadaran manusia, seperti pada psikologi positivistik maupun pada neurosains. Ia menyebut fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan transendental (transcendental science), yang dibedakan dengan ilmu pengetahuan naturalistik (naturalistic science), seperti pada fisika maupun biologi. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya, perbedaan utama fenomenologi dengan ilmu-ilmu alam, termasuk psikologi positivistik, adalah peran sentral makna di dalam pengalaman manusia (meaning in experience). Fenomenologi tidak mengambil langkah observasi ataupun generalisasi di dalam penelitian tentang manusia, seperti yang lazim ditemukan pada psikologi positivistik.
Cita-cita Husserl adalah mengembangkan fenomenologi sebagai suatu displin ilmiah yang lengkap dengan metode yang jelas dan akurat. Di dalam ilmu-ilmu alam, seperti kimia, fisika, dan biologi, kita mengenal adalah metode penelitian ilmu-ilmu alam yang sifatnya empiris dan eksperimental. Inti metode penelitian ilmu-ilmu alam adalah melakukan observasi yang sifatnya sistematis, dan kemudian menganalisisnya dengan suatu kerangka teori yang telah dikembangkan sebelumnya. Husserl ingin melepaskan diri dari cara berpikir yang melandasi metode penelitian semacam itu. Baginya untuk memahami manusia, fenomenologi hendak melihat apa yang dialami oleh manusia dari sudut pandang orang pertama, yakni dari orang yang mengalaminya.
Di dalam kerangka berpikir ini, seorang ilmuwan sekaligus adalah sekaligus peneliti dan yang diteliti. Ia adalah subyek sekaligus obyek dari penelitian. Dan seperti sudah ditegaskan sebelumnya, fenomenologi adalah cara untuk memahami kesadaran manusia dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Namun menurut penelitian Smith, Husserl membedakan tingkat-tingkat kesadaran (state of consciousness). Yang menjadi fokus fenomenologi bukanlah pengalaman partikular, melainkan struktur dari pengalaman kesadaran, yakni realitas obyektif yang mewujud di dalam pengalaman subyektif orang per orang. Konkretnya fenomenologi berfokus pada  makna subyektif dari realitas obyektif di dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari. Dalam kosa kata Husserl, “obyek kesadaran sebagaimana dialami.”
Fenomenologi Husserlian adalah ilmu tentang esensi dari kesadaran. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan esensi dari kesadaran? Berdasarkan penelitian Smith fenomenologi Husserl dibangun di atas setidaknya dua asumsi. Yang pertama, setiap pengalaman manusia sebenarnya adalah satu ekspresi dari kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya sendiri yang memang bersifat subyektif. Dan yang kedua, setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ketika berpikir tentang makanan, anda membentuk gambaran tentang makanan di dalam pikiran anda. Ketika melihat sebuah mobil, anda membentuk gambaran tentang mobil di dalam pikiran anda. Inilah yang disebut Husserl sebagai intensionalitas (intentionality), yakni bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu.
Tindakan seseorang dikatakan intensional, jika tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang jelas. Namun di dalam filsafat Husserl, konsep intensionalitas memiliki makna yang lebih dalam. Intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran tidak pernah pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu. Pikiran selalu memiliki obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran. Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of consciousness). Dan intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada satu obyek.
Namun Husserl juga melihat beberapa pengalaman konkret manusia yang tidak mengandaikan intensionalitas, seperti ketika anda merasa mual ataupun pusing. Kedua pengalaman itu bukanlah pengalaman tentang suatu obyek yang konkret. Namun pengalaman itu sangatlah jarang, kecuali anda yang menderita penyakit tertentu. Mayoritas pengalaman manusia memiliki struktur. Mayoritas pengalaman manusia melibatkan kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Husserl menyebut setiap proses kesadaran yang terarah pada sesuatu ini sebagai tindakan (act). Dan setiap tindakan manusia selalu berada di dalam kerangka kebiasaan (habits), termasuk di dalamnya gerak tubuh dan cara berpikir.
Fenomenologi adalah analisis atas esensi kesadaran sebagaimana dihayati dan dialami oleh manusia, dan dilihat dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Fenomenologi menganalisis struktur dari persepsi, imajinasi, penilaian, emosi, evaluasi, dan pengalaman orang lain yang terarah pada sesuatu obyek di luar. Dengan demikian menurut Smith, fenomenologi Husserl adalah suatu penyelidikan terhadap relasi antara kesadaran dengan obyek di dunia luar, serta apa makna dari relasi itu. Konsep bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu merupakan konsep sentral di dalam fenomenologi Husserl.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERMASALAHAN DAN KEMUNGKINAN SOLUSI DALAM PENGEMBANGAN LPTK

MAKALAH PENGEMBANGAN ETNOMATEMATIKA BERORIENTASI LEARNING TRAJECTORY

KAJIAN PETA FILSAFAT DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN