PENGEMBANGAN ETNOMATEMATIKA BERORIENTASI LEARNING TRAJECTORY
PENGEMBANGAN
ETNOMATEMATIKA BERORIENTASI
LEARNING
TRAJECTORY
Disusun
untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Gasal Mata Kuliah Etnomatika
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Marsigit,
M.A
Oleh:
DAFID SLAMET SETIANA (14703261004)
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Salah satu realisasi pembelajaran kreatif dan bermakna
dilaksanakan melalui pembelajaran berbasis budaya. Hal itu sangat beralasan
karena pembelajaran berbasis budaya menjadikan pembelajaran bermakna
kontekstual yang sangat terkait dengan komunitas budaya dan pembelajaran
berbasis budaya menjadikan pembelajaran menarik dan menyenangkan. Apalagi pada
Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013 yang menonjolkan peningkatan kemampuan siswa
terhadap budaya dan pembelelajaran yang berpusat pada siswa. Pembelajaran yang
menarik dan mudah dipahami dapat membantu agar siswa lebih memahami materi
pelajaran. Metode yang inovatif dalam proses pembelajaran dikombinasikan dengan
kegiatan bermuatan budaya membuat siswa menjadi lebih menyenangkan.
Pengaruh modernisasi terhadap kehidupan berbangsa
tidak dapat dipungkiri lagi, hal ini berdampak pada mengikisnya nilai budaya
luhur bangsa kita. Terjadinya hal ini dikarenakan kurangnya penerapan dan
pemahaman terhadap pentingnya nilai budaya dalam masyarakat. Kebudayaan
dapat dipahami sebagai suatu sistem gagasan/ide yang dimiliki suatu masyarakat
lewat proses belajar dan dijadikan acuan tingkah laku dalam kehidupan
sosial bagi masyarakat. Pendidikan dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam
kehidupan sehari-hari, karena budaya merupakan kesatuan utuh dan menyeluruh
yang berlaku dalam suatu masyarakat, dan pendidikan merupakan kebutuhan
mendasar bagi setiap inidividu dalam masyarakat. Pendidikan dan budaya memiliki
peran yang sangat penting dalam menumbuhkan dan mengembangakan nilai luhur
bangsa kita, yang berdampak pada pembentukan karakter yang didasarkan pada
nilai budaya yang luhur. Selama
ini pemahaman tentang nilai-nilai dalam pembelajaran matematika yang
disampaikan para guru belum menyentuh keseluruh aspek. Matematika dipandang
sebagai alat untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam dunia sains saja,
sehingga mengabaikan pandangan matematika sebagai kegiatan manusia (Soedjadi,
2007). Pandangan itu sama sekali tidaklah salah, keduanya benar dan sesuai
dengan pertumbuhan matematika itu sendiri.
Nilai budaya yang merupakan landasan karakter bangsa
merupakan hal yang penting untuk ditanamkan dalam setiap individu, untuk itu
nilai budaya ini perlu ditanamkan sejak dini agar setiap individu mampu lebih
memahami, memaknai, dan menghargai serta menyadari pentingnya nilai budaya
dalam menjalankan setiap aktivitas kehidupan. Penanaman nilai budaya bisa
dilakukan melalui lingkungan keluarga, pendidikan, dan dalam lingkungan
masyarakat tentunya. Hal ini senada dengan dikatakan oleh Eddy dalam Rasyid (2013)
bahwa pelestarian kebudayaan daerah dan pengembangan kebudayaan nasional melalui
pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal, dengan mengaktifkan kembali
segenap wadah dan kegiatan pendidikan. Pendidikan dan budaya adalah sesuatu yang
tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari, karena budaya merupakan
kesatuan yang utuh dan menyeluruh, berlaku dalam suatu masyarakat dan
pendidikan merupakan
kebutuhan mendasar bagi setiap inidividu dalam masyarakat.
Masuknya
matematika secara sadar maupun tidak sadar kedalam berbagai aspek kehidupan
tentunya menarik untuk dikaji, apakah kajian dalam aspek ekonomi, politik,
sosial, budaya, maupun aspek lainnya. Salah satu aspek yang menarik dikaji
adalah aspek budaya. Pada budaya manusia, umumnya matematika merasuk kedalam
budaya tersebut namun manusia jarang menyadari bahwa matematika telah merasuki
budaya mereka. Oleh karena itu, kajian mengenai matematika dalam budaya perlu dikembangkan sehingga dapat
memberikan gambaran pada masyarakat berbudaya mengenai peranan matematika dalam
budayanya.
Salah satu yang dapat menjembatani antara budaya dan
pendidikan khususnya matematika adalah etnomatematika. Etnomatematika adalah bentuk
matematika yang dipengaruhi atau didasarkan budaya. Oleh sebab itu, jika perkembangan
etnomatematika telah banyak dikaji maka bukan tidak mungkin matematika diajarkan
secara bersahaja dengan mengambil budaya setempat. Jika
ditinjau dari sudut pandang
riset maka etnomatematika didefinisikan sebagai antropologi budaya (cultural
anropology of mathematics) dari matematika dan pendidikan matematika. Melalui penerapan etnomatematika
dalam pendidikan diharapkan peserta didik dapat lebih memahami matematika dan budaya mereka, sehingga nilai
budaya yang merupakan bagian karakter bangsa tertanam sejak dini.
Menurut Bishop (1994b), matematika merupakan suatu
bentuk budaya. Matematika sebagai bentuk budaya, sesungguhnya telah
terintegrasi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat dimanapun berada. Selanjutnya
Pinxten (1994) menyatakan bahwa pada hakekatnya matematika merupakan teknologi
simbolis yang tumbuh pada ketrampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat budaya.
Dengan demikian matematika seseorang dipengaruhi oleh latar budayanya, karena yang
mereka lakukan berdasarkan apa yang mereka lihat dan rasakan. Pendidikan
matematika sesungguhnya telah menyatu dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Kenyataan tersebut bertentangan dengan aliran konvensional yang memandang
matematika sebagai ilmu pengetahuan yang bebas budaya dan bebas nilai. Para
pakar etnomatematika berpendapat bahwa pada dasarnya perkembangan matematika
sampai kapanpun tidak terlepas dari budaya dan nilai yang telah ada pada
masyarakat.
Istilah
etnomatematika pertama kali
diperkenalkan
oleh D’Ambrosio,
dimana dalam bukunya dinyatakan bahwa, etnomatematika merupakan matematika yang
dilakukan oleh kelompok budaya tertentu seperti suku-suku di suatu negara,
perserikatan pekerja, kelompok profesi, dan lain-lain. Beberapa contoh dari
etnomatematika dijelaskan pada uraian berikut. Studi yang dilakukan oleh
Tambunan (2009), menunjukkan bahwa para pengerajin kain tenun seperti ulos,
songket dan lain sebagainya yang ada di daerah Pak-pak, secara tidak sadar juga
menggunakan perhitungan the Golden Ratio
untuk menenun untaian-untaian benang sehingga menjadi selembar kain. The Golden Ratio diimplementasikan dalam
pembuatan pola dalam ulos tersebut, warna benang yang akan menjadi pola disisip
dalam warna benang yang akan menjadi warna dasar dalam ulos, banyaknya
warna-warna benang dan panjang benang tersebut telah diperhitungkan dengan
cermat oleh penenun, sehingga untaian benang tadi menjadi sebuah ulos dengan
pola yang indah dan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Pak-pak. Tentu
masih banyak lagi etnomatematika yang telah dikaji selama ini dan tentunya
kajian tersebut telah memberikan gambaran kepada banyak orang bahwa matematika
bukanlah ilmu yang kaku, namun dapat berbaur dalam berbagai aspek kehidupan
manusia. Selain sudah banyak etnomatematika yang dikaji, pastilah terdapat
etnomatematika yang belum ataupun
sedang dikaji. Salah satu etnomatematika yang menarik untuk dikaji yaitu
mengenai pembelajaran etnomatematika berorientasi pada learning
trajectory.
Anak-anak mengikuti suatu pola tingkatan alamiah ketika mereka belajar maupun dalam proses perkembangannya. Sebagai contoh anak-anak mengalami pola yang sama pada perkembangan mereka dari belajar merangkak, berjalan, lalu berlari,
dan melompat dengan kecepatan dan kecekatan yang terus meningkat seiring dengan perkembangan fisiknya. Sama halnya dalam proses belajar mereka. Misalnya, dalam belajar matematika, mereka juga mengikuti suatu pola tingkatan alamiah, yakni belajar
kemampuan-kemampuan dan
ide-ide matematika dengan
cara mereka sendiri. Ketika guru
memahami pola tingkatan alamiah
serta aktivitas-aktivitas yang tersusun
di dalamnya, maka mereka telah membangun suatu lingkungan belajar matematika yang tepat dan efektif. Pola tingkatan alamiah tersebut merupakan dasar dalam membuat learning trajectories atau lintasan belajar. Lintasan belajar sangat berguna bagi guru, khususnya dalam hal menjawab berbagai pertanyaan seperti: apa tujuan pembelajaran yang akan dicapai? bagaimana memulainya? bagaimana langkah-langkah yang akan dilakukan? bagaimana cara mencapai tujuan tersebut? dan seterusnya.
Selama ini, banyak guru pesimis dengan siswa dan tidak
berani menggunakan strategi pembelajaran yang menantang. Guru beranggapan bahwa siswa tidak akan dapat diajak untuk berpikir sesuatu yang menantang. Melihat penemuan Sarama&Clements (2009), tampak bahwa anak-anak memiliki potensi untuk belajar matematika. Yang diperlukan guru adalah keberanian untuk mengeksplor kemampuan dan memahami perkembangan anak-anak. Penting untuk mengembangkan kemampuan mengajar matematika dengan baik. Istilah learning trajectory digunakan untuk menggambarkan transformasi belajar yang dihasilkan dari partisipasi dalam aktivitas
belajar matematika. Selain itu istilah learning
trajectory juga
digunakan untuk serangkaian pembelajaran atau suatu lintasan belajar. Selanjutnya trajectory dari aktivitas untuk keseluruhan pembelajaran, berkisar seputar aktivitas belajar khusus
yang mungkin hanya digunakan sebagai
bagian dari pembelajaran matematika di kelas. Matematika
sangat penting bagi keberhasilan
anak dalam sekolah, di kelas
dasar dan dalam pembelajaran masa
depan, yaitu penting untuk memotivasi
anak-anak, substansi pengalaman pendidikan. Lintasan belajar adalah alat yang ampuh untuk melibatkan semua anak dalam
menciptakan dan memahami matematika.
Mengembangkan etnomatematika dalam
nuansa learning
trajectory (lintasan
belajar) berarti menanamkan dan memanfaatkan nilai-nilai budaya secara
kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan tahapan-tahapan belajar
yang sesuai dengan perkembangan proses berpikir
siswa, metode
yang siswa pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang siswa tunjukkan. Dengan
demikian diharapkan siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep matematika
bermuatan budaya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai
pengembangan etnomatematika berorientasi learning trajectory.
B. Rumusan Permasalahan
Dari latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
masalah-masalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana makna pembelajaran
etnomatematika dan learning trajectory?
2.
Bagaimanakah pengembangan
etnomatematika berorientasi learning trajectory?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penyusunan makalah ini yaitu:
1.
Mengetahui pembelajaran
etnomatematika dan learning trajectory.
2.
Mengetahui pengembangan etnomatematika
berorientasi learning trajectory
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Etnomatematika
Etnomatematika
adalah sebuah studi yang mengkaji hubungan antara matematika dan budaya.
Matematika sebagai ilmu dasar pun berkembang di seluruh negara. Setiap negara
mempunyai budaya (culture) yang
berbeda sehingga perkembangan matematika pun berbeda-beda karena dipengaruhi
oleh culture yang ada.
Study etnomatematika
adalah suatu kajian yang meneliti cara sekelompok orang pada budaya tertentu
dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta
praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu
yang matematis. Sebagaimana dikemukakan oleh Barton bahwa “Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from
other cultures understand, articulate and use concepts and practices which are
from their culture and which the researcher describes as mathematical”
(Barton, 1994).
Ethnomatematics juga didefinisikan sebagai matematika yang digunakan
oleh kelompok-kelompok masyarakat/budaya, seperti masarakat kota dan desa,
kelompok-kelompok pekerja/buruh, golongan profesional, anak-anak pada usia
tertentu, masyarakat pribumi, dan masih banyak kelompok lain yang dikenali dari
sasaran/tujuan dan tradisi yang umum dari kelompok tersebut (D’Ambrosio, 2006).
Selain itu, etnomatematika juga diartikan sebagai penelitian yang
menghubungkan antara matematika atau pendidikan matematika dan hubungannya
dengan bidang sosial dan latar belakang budaya, yaitu penelitian yang
menunjukkan bagaimana matematika dihasilkan, ditransferkan, disebarkan, dan
dikhususkan dalam berbagai macam sistem budaya (Zhang & Zhang, 2010),
serta politik (Knijnik, 2002). Sistem budaya dan politik yang dimaksud
tentunya bukan hanya sistem budaya dan politik yang berlaku di dalam masyarakat
berpendidikan, tetapi juga menyangkut sistem budaya atau ide matematika dari
masyarakat yang tidak atau belum melek huruf. Kajian ethomathematics yang begitu luas, menyebabkan ethnomathematics
dianggap sebagai salah satu dari dua pusat pemikiran untuk memahami matematika
(Wedege, 2010). Hal tersebut menimbulkan gagasan bahwa peranan etnomatematika
seharusnya memiliki pengaruh yang lebih luas dalam masyarakat dan pendidikan khususnya
pendidikan matematika (Begg, 2001). Peranan tersebut sebenarnya sangat nyata
sekali, tetapi hal terpenting adalah bagaimana usaha dan kerja keras kita
untuk menampilkan konsep matematika yang ada dalam etnomatematika
kedalam kegiatan pembelajaran, sehingga konsep tersebut dapat
berhubungan secara langsung dengan budaya siswa dan dengan pengalamannya
sehari-hari (Rosa & Orey, 2001). Jika kita dapat melakukannya, maka akan
terciptalah sebuah pendekatan etnomatematika dalam pembelajaran
matematika dan diharapkan mampu membuat matematika di sekolah lebih relevan dan
penuh makna bagi siswa dan kualitas pendidikannya.
Siswa yang menganggap bahwa matematika tidak relevan
dan tidak bermakna bagi dirinya, salah satunya disebabkan karena siswa
kesulitan mempelajari bahasa matematika yang tentunya tidak mudah untuk
dipahami. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Meaney, Fairhill, & Trinick
(2008), yang menyatakan bahwa ada kalanya kesulitan dalam mempelajari bahasa matematika
menyebabkan ide tentang matematika yang dihantarkan dengan bahasa tersebut
menimbulkan masalah. Oleh karena itu, pengembangan bahasa asli dalam
menjelaskan matematika yang berasal dari barat membutuhkan perhatian.
Penggunaan istilah matematika yang memiliki konotasi yang sama baik dilihat
dari segi matematika dan budaya akan membantu siswa kita dalam mempelajari matematika dengan
lebih baik.
Menurut Francois (2012), perluasan penggunaan
etnomatematika yang sesuai dengan keanekaragaman budaya siswa dan dengan praktik
matematika dalam keseharian mereka membawa matematika lebih dekat dengan
lingkungan siswa karena etnomatematika secara implisit merupakan program
atau kegiatan yang menghantarkan nilai-nilai dalam matematika dan pendidikan
matematika. D’Ambrosio (2007) menambahkan bahwa, penggunaan etnomatematika dalam
kegiatan pembelajaran seharusnya dapat digunakan sebagai alat penyokong
solidaritas dan kerjasama antar siswa. Selain itu, tujuan utama etnomatematika adalah
membangun masyarakat yang bebas dari kebiadaban, arogansi, intoleransi,
diskriminasi, ketidakadilan, kefanatikan, dan rasa kebencian, sehingga etnomatematika
diharapkan dapat menumbuhkan perdamaian di antara umat manusia.
Pembahasan di atas membawa kita kedalam sebuah
kesimpulan bahwa etnomatematika penting untuk dikaji dan dipelajari.
Begitu pentingnya kajian tentang etnomatematika yang secara khusus
disebutkan oleh D’Ambrosio (2006) sebagai program penelitian tentang sejarah
dan filsafat matematika, dengan implikasi langsungnya untuk pembelajaran,
membawa kita ke dalam pembahasan tiga bidang kajian tentang kajian dalam etnomatematika
yang tentuya tidak memandang bahwa kajian tentang sejarah cerita
tradisional pada matematika tidak penting untuk dipelajari atau dibahas.
Secara praktis,
studi etnomatematika berarti melakukan dengan cara dua hal: (1)
menginvestigasi aktivitas matematika yang terdapat dalam kelompok budaya
tertentu; (2) mengungkap konsep matematis yang terdapat dalam aktivitas
tersebut (Barton, 1994). Gerdes memaparkan perkembangan-perkembangan yang ada
pada studi etnomatematika sebagai berikut (Alan, 1996).
1.
Para
peneliti etnomatematika dalam penelitiannya menggunakan dan mengadopsi konsep
umum matematika berupa menghitung, menempatkan, mengukur, merancang, memainkan,
dan menjelaskan;
2.
Para
peneliti etnomatematika telah mengkaji dan menganalisis pengaruh faktor sosial
budaya dalam pengajaran, pembelajaran, dan pengembangan matematika;
3.
Para
peneliti etnomatematika pada akhirnya berpendapat bahwa cara-cara dan
kebenaran-kebenaran dalam matematika adalah hasil dari budaya mengembangkan
bentuk matematikanya sendiri;
4.
Para
peneliti etnomatematika berkeyakinan bahwa hal-hal yang dimasukkan dalam
kurikulum matematika sekolah selama ini asing dari tradisi-tradisi dan
budaya-budaya yang ada di Asia, Afrika, atau Amerika Selatan;
5.
Para
peneliti etnomatematika juga memandang bahwa elemen lain dari budaya dan
aktivitas-aktivitasnya adalah suatu hal yang dapat dijadikan sebagai titik awal
untuk mengajarkan dan mengelaborasi matematika di dalam kelas (sekolah);
6.
Pada
konteks pendidikan, para peneliti etnomatematika secara umum melihat bahwa
sudut pandang sosial budaya dan interpretasi terhadap pendidikan matematika, keduanya,
akan mampu mendorong siswa untuk sadar dan melakukan refleksi diri terhadap
realita dimana mereka tinggal, dan memotivasi mereka untuk mengembangkan dan
menggunakan matematika dalam cara-cara yang mungkin saja tidak diduga oleh para
matematikawan sebelumnya.
Mengadopsi etnomatematika ke dalam kegiatan
pembelajaran matematika merupakan sesuatu yang sangat mungkin dilakukan (Zhang
& Zhang, 2010). Bahkan dapat pula etnomatematika dijadikan sebagai
alternatif pembelajaran matematika (Owens, 2012). Kedua pendapat tersebut
menjadi inspirasi bagi praktisi dalam dunia pendidikan matematika untuk
mengaplikasikan etnomatematika dalam kegiatan pembelajaran
matematika.
Bonner (2010), melakukan kegiatan pembelajaran
berbasis etnomatematika dengan subjeknya adalah para calon guru. Pembelajaran
ini dilakukan dengan cara pengkonstruksian pengalaman bermakna baik di
dalam maupun di luar kelas yang memfokuskan pada budaya. Kegiatan ini telah meningkatkan
dan memperdalam pemahaman calon guru dalam pengajaran matematika dengan
berbagai macam budaya. Selain itu, kegiatan seminar yang dilakukan
Massarwe, Verner, & Bshouty (2012) menyimpulkan bahwa, pemahaman tentang
geometri para siswa/peserta seminar meningkat dan mereka paham terhadap
pentingnya aktivitas pembelajaran etnomatematika yang berhubungan dengan
siswa dan budaya yang lain.
Kegiatan lain yang masih menggunakan calon guru
sebagai subjek penelitiannya, menunjukkan bahwa etnomatematika telah
memberi pengaruh terhadap pengembangan profesionalisme calon guru
matematika (Katsap & Silverman, 2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa etnomatematika sangat
penting dalam kegiatan pembelajaran bagi calon guru, baik kegiatan di kelas
maupun kegiatan di lapangan. Calon guru pada saat di lapangan/sekolah dapat
langsung mengaplikasikan apa yang telah mereka dapat dalam kegiatan
pembelajaran dengan siswanya yang tentunya juga berasal dari berbagai
macamlatar belakang budaya yang berbeda (DeKam, 2007).Berbedaan latar belakang
budaya yang ada telah menginspirasi Duranczyk &Higbee dalam penelitiannya.
Duranczyk & Higbee (2012), telah mengintegrasikandesain pembelajaran
multi-budaya dan aplikasinya dalam berpikir matematissiswa. Kegiatan tersebut
tentunya untuk mengakomodasi peranan etnomatematika dalam
pengajaran matematika. Hal yang perlu diingat adalah guru matematika
harusmengetahui peranannya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, dan
bukan sebagai sumber dan pengantar pengetahuan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pemanfaatan pengetahuan
siswa tentang etnomatematika di dalam pembelajaran danini akan mendorong
pegembangan dasar pengatahuan konseptual siswa. Selain itu, kegiatan ini juga
memungkinkan siswa mengembangkan perluasan strategi pemecahan masalah, sehingga
membuat matematika menjadi pelajaran yang penuh arti dan reflektif (Matang,
2002).
Penelitian yang dilakukan Palomar, Simic, Varley
(2007) menyoroti hubungan antara matematika dan kehidupan keseharian yang
menekankan budaya, bahasa, dan dialog diantara siswa yang sedang belajar
matematika. Hasil penelitian tersebutdiharapkan dapat dijadikan sebagai acuan
dalam pembelajaran matematika yang berbasis etnomatematika agar hasil belajar
siswa meningkat. Menurut Achor, Imoko, & Uloko (2009), hasil belajar
dan daya ingat siswa yang diajarkan dengan pendekatan pembelajaran etnomatematika
lebih tinggi dibandingkan hasil belajar dan daya ingatsiswa yang diajar dengan
pendekatan konvensional. Siswa merasakan bahwa pembelajaran tersebut penuh
makna, relevan, dan menyenangkan. Menurut Massarwe, Verner, & Bshouty
(2010), siswa yang mereka ajar dengan etnomatematika menunjukkan hal yang
sama, yaitu mereka menganggap pembelajaran lebih bermakna dan
menyenangkan. Materi dalam kegiatan pembelajaran tersebut adalah materi
geometri. Siswa dalam kegiatan tersebut ditugasi untuk menganalisis dan
mempraktikkan pembuatan ornamen dengan bimbingan guru. Selain kegiatan
pembelajaran dengan praktik, Herron & Barta (2009),
menyarankan penggunaan pengejaran pemecahan masalah yang relevan
dengan budaya sebagai alternatif dalam pembelajaran.
Berbagai alternatif memang bisa kita gunakan dalam
kegiatan pembelajaran, tetapi yang lebih penting adalah kita harus
memodifikasi secara produktif pembelajaran agar memberi dampak yang
bermanfaat dari reformasi pengajaran seperti kerja kelompok dan pembelajaran
berbasis masalah (Staats, 2006).
B.
Learning
Trajectory
1.
Konsep Learning
Trajectory
Teori Piaget telah banyak
berpengaruh terhadap desain pembelajaran. Pembelajaran yang berorientasi pada
guru berubah menjadi berorientasi pada siswa. Hal ini berarti bahwa faktor
siswa menjadi hal yang utama dan harus diperhatikan dalam membuat suatu desain
pembelajaran. Sebagai contoh alur pembelajaran harus dirancang sesuai dengan
alur belajar siswa (learning trajectory).
Istilah
Learning Trajectory pertama kali digunakan oleh Simon yang mengajukan
konsep tentang hypothetical learning trajectory. Learning trajectory yaitu
lintasan atau rute belajar yang memberikan gambaran tentang pengetahuan
prasyarat yang telah dimiliki siswa (sebagai titik start) dan setiap langkah
dari satu titik ke titik berikutnya, menggambarkan proses berpikir yang siswa
gunakan, metode yang siswa pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang siswa
tunjukkan.
Learning trajectory mengidentifikasi titik arah kunci di sepanjang
jalan di mana pengetahuan dan keterampilan siswa cenderung tumbuh dan
berkembang dalam mata pelajaran di sekolah. Dalam pendidikan matematika,
progresi ini lebih sering diberi label learning trajectory. Learning
trajectory didukung secara empiris hipotesis tentang tingkat atau titik
arah pemikiran, pengetahuan, dan keterampilan dalam menggunakan pengetahuan,
bahwa siswa cenderung untuk pergi melalui ketika mereka belajar matematika dan,
satu harapan, mencapai atau melebihi tujuan bersama yang ditetapkan untuk
belajar mereka. Learning trajectory melibatkan hipotesis
kedua tentang urutan dan sifat langkah-langkah dalam pertumbuhan pemahaman
matematika siswa, dan tentang sifat dari pengalaman pembelajaran yang mungkin
mendukung mereka dalam bergerak langkah demi langkah menuju tujuan matematika
sekolah.
Learning trajectory mengisyaratkan kita pada bentuk refleksi guru
dalam pembelajaran dan bagaimana guru memperbaiki pembelajaran agar dapat lebih
bermakna bagi siswa yang sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan teaching
trajectory merupakan bagaiamana guru membelajarkan dan learning
trajectory merupakan praktik guru tentang teori-teori yang ada untuk
menyesuaikan perkembangan fisik ataupun kognitif peserta didik.
Learning trajectory maupun teaching trajectory terdiri
atas bentuk material, formal, normatif dan spiritual. Learning
trajectory dalam bentuk material, wujudnya bentuk berupa
konteks dan konten dimana konteks bias berupa artefak (secara fisik),
lingkungan berbasis budaya (misalnya ethnomathematic
yaitu matematika berbasis budaya), dan sampai pada perangkat pembelajaran yang
lain. Bentuk formal learning trajectory dengan wujud berupa
dokumen resmi yang mencakup UUD 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri, Kurikulum, Silabus, RPP, LKS dan sebagainya. Dalam bentuk
normatif, dapat berupa buku, makalah ilmiah, penelitian, jurnal, sampai pengetahuan
tentang filsafat yang meliputi hakikat, metode, etik dan estetik. Dimana
hakikat terdiri atas dua, yaitu wadah dan isi. Tiada wadah yang tidak mempunyai
isi, sebaliknya tiada isi yang tidak ada wadahnya. Dalam bentuk spiritual,
mulai dari syariat, hakikat, dan makrifat. Jadi untuk mengetahui ciri
cara berpikir seorang diri siswa, siswa sebagai warga negara, haknya memperoleh
hak pendidikan, kesejahteraan, keselamatan, kecerdasan, dan sebagainya dengan
dieksplor, diselidiki dan diteliti bagaimana kedudukan siswa dalam hakiketnya.
Filsafat merentang dari lingkungan budaya Indonesia atau budaya Jawa secara filosofis
mengenal tiga istilah Ing Ngarso Sung
Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani.
Perangkat Material digali
dan dieksplor dalam bentuk filsafat, paradigma, atau teori sehingga konten
material/fenomena atau data/pengalaman siswa melalui penelitian, kemudian
diolah melalui teori dan praktik. Melalui interaksi antara siswa dan guru
dengan menggunakan teori-teori yang ada. Untuk menawarkan definisi kerja konsep
learning trajectory dalam matematika dan merefleksikan status
intelektual konsep dan kegunaannya untuk kebijakan dan praktik. Ini
mempertimbangkan potensi learning trajectory dan progresi untuk
menginformasikan perkembangan dari penilaian yang lebih berguna dan mendukung
praktik penilaian formatif yang lebih efektif, untuk menginformasikan
pemahaman siswa guru terus-menerus mendesain ulang standar isi matematika dan
kinerja, dan untuk mendukung pembelajaran dengan cara yang dapat memperkuat
kemampuan mereka untuk memberikan instruksi adaptif.
Konsep learning
trajectory menawarkan salah satu pendekatan yang menjanjikan untuk
mengembangkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mendefinisikan yang siswa
mungkin ada, atau harus ada pada proses belajar dapat menginformasikan guru
tentang apa yang diharapkan dari peserta didik.
Guru berperan untuk
memberikan fasilitas, kesempatan, ruang dan waktu kepada siswa agar siswa mampu
membangun sendiri pengetahuannya sesuai dengan kebutuhan dan potensi peserta
didik sehingga peserta didik tidak merasa dipaksa dan dapat berkembang lebih
baik. Dalam teori Jean Piaget tentang perkembangan, bahwa siswa usia 7-11 tahun
yaitu usia anak pada masa sekolah dasar yang masuk pada tahap operasional konkret.
Dimana ciri anak pada tahap ini adalah mampu berpikir secara logis dan sistematis
tentang simbol yang berkaitan dengan benda-benda konkrit. Guru seharusnya mampu
mengetahui dan mampu membangun kehidupannya sendiri. Guru dapat melakukan
untuk peserta didik pada tahap ini menurut Piaget adalah:
1.
Guru
terus menggunakan alat peraga konkret dan alat bantu visual dalam Proses
Belajar Mengajar.
2.
Guru
terus memberikan peserta didik kesempatan untuk memanipulasi objek dan menguji
ide-ide mereka sesuai apresepsi peserta didik, dengan memberikan kesempatan
siswa untuk mengklasifikasikan dan mengelompokan objek tentang ide-ide
pada tingkatan yang semakin kompleks
3.
Guru
dapat juga menggunakan matematika realistik untuk membelajarkan siswa melalui
lingkungannya.
4.
Guru
dapat menggunakan contoh yang dekat dengan kehidupan siswa untuk membantu
menjelaskan ide-ide yang lebih kompleks sehingga siswa akan memiliki titik awal
untuk asimilasi informasi baru
5.
Guru
menyajikan masalah yang membutuhkan pemikiran logis serta membutuhkan pemikiran
analitis bagi siswa untuk memecahkannya permasalahan.
Pembelajaran terjadi dan
membangun dari waktu ke waktu, dan instruksi yang harus memperhitungkan apa
yang telah terjadi sebelumnya dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dengan berfokus
pada identifikasi kelompok yang signifikan dan mengenali konsep dan koneksi
dalam berpikir siswa yang mewakili langkah kunci ke depan, learning
trajectory menawarkan dasar yang lebih kuat untuk menggambarkan tujuan
sementara.
Konsep-konsep atau teori
yang ada (Piaget, Connectivism, Vygotsky, Kontruksional Sosial) menyebut bahwa
belajar dan pengetahuan berada dalam jaringan. Pada dasarnya kegiatan
peserta didik dalam Proses Belajar Mengajar melalui interaksi, kegiatan
sosial dan pembelajaran kolaboratif dapat terjadi. Sesuai keinginan
pemerintah kita untuk menerapkan kurikulum 2013 dimana pembelajaran yang
dilakukan melalui tema-tema dan pendekatan yang digunakan adalah saintifik,
dimana anak diharapkan untuk menemukan sendiri dan membangun sendiri pengetahuannya
sehingga menjadi lebih bermakna dengan ini guru berperan hanya sebagai
fasilitator dan motivator.
2.
Membangun Teori Learning Trajectory
Sebagai
manusia dan guru
kita memiliki keterbatasan terhadap ruang dan
waktu. Selain itu kita harus sopan dan
santun serta menyesuaikan diri terhadap
ruang dan waktu. Dalam konsep jawa, dalam hidup perlu
mencari keseimbangan. Itu bagian dari mengerti diri sendiri, sebelum kita
mengerti siapa siswa. Kita perlu
mengerti batasan dalam mengembangkan
potensi yang kita miliki. Siswa juga manusia yang
memiliki keterbatasan. Hakikatnya siswa adalah anak yang
bisa berbuat salah atau keliru karena memang anak masih dalam tahap
belajar. Sebagai guru kita diharapkan mengetahui
dan memahami karakteristik siswa. Learning trajectory (lintasan belajar) sangat
berguna bagi guru, khususnya dalam hal
menjawab berbagai pembelajaran
yang akan dicapai? bagaimana
memulainya? bagaimana langkah-langkah
yang akan dilakukan? bagaimana cara mencapai tujuan
tersebut? dan seterusnya. Guru harus
mau meningkatkan kemampuan
dan pengetahuannya agar dapat
memberi harapan bagi peningkatan kualitas pembelajaran. Guru harus
melakukan perubahan tentang cara
membelajarkan siswa melalui
aktivitas yang sesuai dengan tingkat
kemampuan berpikirnya.
Ada empat dimensi Learning trajectory, yaitu: Sprititual, Normatif,
Formal dan Material. Aspek spiritual
merupakan aspek tertinggi dari pembelajaran learning
trajectory.
a. Aspek Spiritual
Aspek spiritual pada learning trajectory meliputi
Ma`rifat, hakikat dan syariat.
Aspek syariat menuju pada hakikat dan
makrifat. Sebagai manusiadan guru kita diharapkan selalu
menjaga hubungan dengan sesama manusia dan dengan sang
pencipta, yaitu Allah SWT. Pengetahuan yang kita miliki, akan lebih bermanfaat
jika kita bagi kepada orang lain. Sehingga sudah seharusnya sebagai
guru, kita membagi ilmu yang kita miliki kepada siswa kita sendiri.
b. Aspek Normatif
Filsafat merupakan dasar dari aspek
normatif pada learning
trajectory yang meliputi buku, makalah, hasil penelitian, jurnal, blog, web dan sumber
referensi lainnya. Dengan banyak membaca
kita bisa memahami pola pikir kita sendiri. Karena pada prinsipnya aspek
normatif adalah filsafat atau pikiran kita sendiri. Yang meliputi hakikat,
metode, etik dan
estetika. Dalam hakikat filsafat terdapat wadah dan isi. Tiada wadah tanpa isi,
tiada isi tanpa wadah. Untuk mengetahui cara berpikir siswa, kita perlu
mengetahui hak siswa dalam pembelajaran itu sendiri. Kita selidiki bagaimana
kedudukan siswa dalam pembelajaran. Dalam hakikat filsafat dalam lingkungan
budaya indonesia, muncul filosofi ajaran ing ngaso sung tulodo, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani. Dan falsafah tersebut sampai sekarang
menjadi pedoman dalam pembelajaran di sekolah. Dalam wadah, terdapat syntak,
hierarki (jenjang) pendidikan itu sendiri. Didalam isi, terdapat kategori dapat
kita sebut sebagai pengetahuan yang berasal dari teori dan paradigma.
Agar kita mendapatkan pengetahuan tersebut kita harus membaca referensi
yang ada.
c. Aspek formal
Aspek formal berupa
dokumen resmi berupa peraturan di negara kita yaitu
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan pemerintah
pengganti Undang-Undang, peraturan presiden, peraturan menteri, sampai pada
kurikulum, silabus, RPP, LKS dan penilaian (Asessmen). Pada aspek formal
ini mencakup perangkat pembelajaran berupa Kurikulum dan penilaian
yang harus kita kembangkan sesuai
dengan kebutuhan siswa dengan menyesuaikan lingkungan
di sekitar sekolah. Sesuai teori Paul Ernest,
bahwa pembelajaran apa saja itu tergantung pada lokasi atau tempat
berlangsungnya pendidikan itu sendiri. Dalam pembelajaran
guru diharuskan memahami dan menguasai
teori dan praktik
pembelajaran, untuk kita perlu
belajar dari berbagai referensi pembelajaran, salah satunya melalui melihat
video pembelajaran. Dengan melihat video pembelajaran secara tidak langsung
kita bisa mengambil manfaat dari media ataupun metode pembelajaran yang
digunakan. Manfaat tersebut bisa kita terapkan pada pembelajaran yang akan kita
laksanakan tentunya disesuaikan dengan kondisi sekolah dan siswa kita agar
kita bisa membangun konsep awal siswa karena setiap siswa
itu memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga kita perlu
menguasai berbagai teori pembelajaran dengan
membaca referensi, lalu menghubungkannya
satu sama lain, sehingga diperoleh bangunan hermeneutika
trajectory.
d. Aspek
Material
Aspek material dalam bentuk
sebagai konteks dan konten yang meliputi, fisik, lingkungan atau budaya, sampai pada perangkat
pembelajaran yang lain. Sebagai guru, kita bisa menggali sumber pembelajaran
yang berasal dari lingkungan dan budaya setempat, pengalaman siswa, data-data
yang ada serta fenomena yang sedang terjadi saat ini. Yang bisa kita jadikan
sebuah penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dan memecahkan
masalah yang muncul dari adanya fenomena dan pengalaman siswa sebagai peserta
didik. Dengan belajar dari lingkungan, guru bisa
membantu mengembangkan kreatifitas siswa. Siswa bisa membangun dan
mengembangkan pengetahuannya sendiri dengan bantuan media pembelajaran. Karena pada learning trajectory, siswa merupakan fokus pembelajaran itu
sendiri. Sedangkan untuk guru, dinamakan teaching
trajectory. Teaching
Trajectory, yaitu tentang bagaimana cara guru membelajarkan siswa dalam proses
belajar mengajar.
Keempat aspek di atas sebagai
landasan untuk membangun dan mengembangkan
hermeneutika learning trajectory.
Hermeneutika Learning trajectory bermula
dari diri kita sendiri. Dalam setiap hermeneutika
learning trajectory memiliki
titik-titik, yang bisa dibagi-bagi untuk
membangun hidup, meliputi rutinitas dalam hidup (fatal), sadar akan ruang dan waktu dan membangun hidup (vital). Sadarakan ruang dan waktu di sini kita sebagai guru
selalu mengikuti perkembangan jaman termasuk dalam hal pengetahuan perkembangan metode pembelajaran.
Pada tiap titik dalam
hermeneutika juga mengandung
tiga unsur dan begitu seterusnya sehingga terbentuk Hermenutika Learning Trajectory.
Anak-anak di sekolah, mengikuti suatu pola
tingkatan alamiah ketika mereka belajar maupun dalam proses perkembangannya.
Sebagai contoh, pada awalnya mereka belajar merangkak, berjalan, lalu berlari,
dan melompat dengan kecepatan dan kecekatan yang terus meningkat seiring dengan
perkembangan fisiknya. Begitu pula ketika
mereka belajar. Dalam belajar matematika misalnya, mereka juga mengikuti suatu
pola tingkatan alamiah, yakni belajar kemampuan-kemampuan dan ide-ide matematika
dengan cara mereka sendiri. Ketika para guru memahami pola tingkatan alamiah
tersebut, serta aktivitas-aktivitas yang tersusun di dalamnya,
maka mereka telah membangun suatu lingkungan belajar matematika yang tepat dan
efektif. Pola tingkatan alamiah tersebut merupakan dasar dalam membuat learning
trajectories atau lintasan belajar. Learning
Trajectory mempunyai tiga bagian penting yakni: tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai, lintasan perkembangan yang akan dikembangkan oleh anak atau
siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran, dan seperangkat kegiatan pembelajaran
ataupun tugas-tugas, yang sesuai dengan tingkatan berpikir yang ada pada
lintasan perkembangan yang akan membantu anak tersebut dalam mengembangkan
proses berpikirnya bahkan sampai pada proses berpikir tingkat tinggi.
Bagian pertama dari sebuah lintasan belajar adalah tujuan pembelajaran matematika.
Tujuan pembelajaran seorang guru merupakan pengelompokan konsep-konsep dan
kemampuan-kemampuan yang merupakan hal yang pokok dan saling berhubungan,
konsisten dengan pemikiran siswa, serta berguna dalam pembelajaran berikutnya. Bagian kedua
dari lintasan belajar terdiri dari tingkatan-tingkatan berpikir, mulai dari
yang mudah sampai yang rumit, untuk membawa siswa agar dapat mencapai tujuan
pembelajaranyang telah ditetapkan. Progres perkembangan yang dibuat oleh guru
menggambarkan sebuah lintasan yang akan diikuti oleh anak atau siswa dalam
mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka tentang suatu topik. Perkembangan
kemampuan seseorang dimulai sejak mereka hidup di dunia. Sebagai contoh
sebagaimana yang kita lihat, anak-anak mempunyai suatu kompetensi yang mirip
dengan kompetensi matematika dalam hal bilangan, indera spasial, dan pola atau
bentuk dari sejak lahir. Namun, ide dan interpretasi anak-anak tentang suatu
situasi atau kondisi merupakan sesuatu yang unik dan berbeda dengan ide dan
interpretasi yang dimiliki oleh orang dewasa. Oleh karena itu, seorang guru
yang baik akan sangat berhati-hati dengan tidak mengasumsikan bahwa anak-anak
“melihat” situasi, masalah ataupun penyelesaian dari masalah tersebut
sebagaimana orang dewasa melihatnya. Melainkan,
guru yang baik adalah guru yang mampu menginterpretasi apa yang sedang
dilakukan dan dipikirkan oleh anak didiknya dan berusaha melihat permasalahan
tersebut dari sudut pandang anak didik tersebut. Sama halnya ketika guru
tersebut berinteraksi dengan siswa, dia juga mempertimbangkan tugas-tugas
pembelajaran serta tindakan yang ia lakukan dari sudut pandang siswa. Hal ini
membuat pembelajaran di sekolah dasar, menantang
sekaligus memberi kebanggaan tersendiri.
Bagian ketiga dari lintasan belajar terdiri dari sekumpulan tugas-tugas
pembelajaran yang bersesuaian dengan tingkat berpikir siswa yang ada dalam
lintasan perkembangan yang telah dibuat. Tugas-tugas tersebut disusun untuk
membantu siswa belajar tentang ide-ide dan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan
untuk mencapai suatu tingkatan berpikir. Oleh karena itu, sebagai seorang guru,
kita dapat menggunakan tugas-tugas tersebut untuk mendorong perkembangan
berpikir siswa dari satu level ke level berikutnya.
Sebagai kesimpulan, lintasan belajar menggambarkan tujuan pembelajaran,
proses belajar dan berpikir anak pada berbagai macam level, dan aktivitas
pembelajaran yang mungkin menarik bagi mereka. Peran guru adalah bagaimana
memberi fasilitas, kesempatan ruang dan waktu kepada siswa, agar siswa bisa membangun.
Maka akan tercipta hermeneutika learning
trajectory. Learning Trajectory merupakan
ilmu yang mempelajari bagaimana siswa belajar serta bagaimana siswa berpikir
yang diaplikasikan dalam Teaching
Trajectory tentang bagaimana guru menyelenggarakan proses belajar mengajar.
Dalam mengembangkan teaching trajectory dapat dilakukan dengan
membentuk team teaching. Dimana dalam
team teaching ini bisa saling
mengobservasi atau melakukan Lesson Study
untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan metode dan media yang digunakan.
3.
Referensi Mathematical Learning Trajectory
Lintasan belajar matematika diajukan oleh Sarama&Clements (2009) pada pembelajaran konsep pengukuran panjang yang dirancang dari penelitian berbasis teori yang telah dikembangkan dari teori
belajar Piaget dan Vygotsky.
Sarama&Clements (2009)
menyatakan bahwa Mathematichal
Learning Trajectory terdiri
dari tiga bagian:
Math
learning trajectories have three
parts: a mathematical goal,a developmental path along which children’s math knowledge grows to reach that goal, and a set of instructional tasks, or activities, for each level of children’s understanding along that path to help them become proficient in that level before moving on to the next level.
Lintasan
belajar matematika mempunyai tiga bagian penting yakni: tujuan pembelajaran matematika yang ingin dicapai, lintasan perkembangan
yang akan dikembangkan oleh siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran, dan seperangkat kegiatan
pembelajaran ataupun tugas-tugas, yang sesuai dengan tingkatan berpikir pada lintasan perkembangan yang akan
membantu anak dalam mengembangkan proses berpikirnya bahkan sampai pada proses
berpikir tingkat tinggi.
a.
Goals
Bagian
pertama dari lintasan belajar
adalah Goals yaitu tujuan pembelajaran matematika. Tujuan pembelajaran merupakan The Big Ideas of
Mathematics yakni pengelompokan konsep-konsep dan kemampuan-kemampuan yang secara matematis merupakan hal yang pokok
dan saling berhubungan, konsisten dengan pemikiran siswa, serta berguna dalam pembelajaran berikutnya. Tujuan harus mencakup ide-ide besar matematika, seperti
"bilangan yang dapat digunakan untuk menunjukkan berapa banyak, menggambarkan urutan, dan
mengukur" dan "geometri dapat digunakan untuk memahami dan mewakili benda, arah, dan
lokasi di dunia, dan hubungan antara
mereka"(Clements&Sarama, 2009).
b.
Development
Path
Bagian kedua dari lintasan belajar terdiri dari tingkat pemikiran, masing-masing lebih canggih dari yang terakhir, yang mengarah untuk mencapai tujuan matematika. Artinya, lintasan perkembangan menggambarkan rute belajar anak yang khusus mengikuti pemahaman pengembangan dan keterampilan dalam topik matematika tertentu. Lintasan
belajar penting karena ide-ide anak-anak dan interpretasi mereka tentang suatu situasi yang berbeda dengan orang dewasa. Guru harus menafsirkan apa yang anak lakukan dan berpikir dan berusaha untuk melihat situasi dari sudut pandang anak. Pengetahuan lintasan perkembangan meningkatkan pemahaman guru tentang pemikiran anak-anak, guru membantu menilai tingkat pemahaman anak-anak dan menawarkan kegiatan pembelajaran pada tingkat itu. Demikian pula,
guru secara efektif mempertimbangkan tugas instruksional dari sudut
pandang anak.
Sarama & Clements (2009) menjelaskan
bagian kedua learning trajectories sebagai berikut:
The second part of a learning trajectory consists of levels of thinking; each more sophisticated than the last, which lead to achieving the mathematical goal. That is, the developmental progression describes a typical path children follow in developing understanding and skill about that mathematical topic. Development of mathematics abilities begins when life begins. Young children have certain mathematical-like competencies in number, spatialsense, and patterns from
birth.
Bagian
kedua dari lintasan belajar terdiri
dari tingkatan-tingkatan berpikir,mulai dari yang mudah sampai yang rumit, untuk membawa siswa agar dapat mencapai tujuan pembelajaran matematika yang telah ditetapkan. Kemajuan perkembangan yang dibuat guru menggambarkan sebuah lintasan tertentu yang
akandiikuti oleh siswa dalam mengembangkan
pemahaman dan kemampuan mereka tentang suatu topik matematika.
Perkembangan kemampuan matematika seseorang dimulai sejak mereka hidup di dunia. Anak-anak memiliki kompetensi yang mirip dengan kompetensi matematika dalam hal bilangan, indera spasial, dan pola atau bentuk dari sejak
lahir. Namun, ide dan interpretasi
anak-anak tentang suatu situasi atau kondisi merupakan sesuatu yang unik dan berbeda dengan ide dan interpretasi yang dimiliki oleh orang dewasa. Oleh karena itu, seorang guru yang baik akan sangat berhati-hati dengan tidak mengasumsikan bahwa anak-anak “melihat” situasi, masalah ataupun penyelesaian dari masalah tersebut sebagaimana orang dewasa melihatnya.Melainkan, guru yang baik adalah guru yang mampu menginterpretasi apa yang sedang dilakukan dan dipikirkan oleh anak didiknya dan berusaha melihat permasalahan tersebut dari sudut pandang anak didik tersebut. Sama halnya ketika guru tersebut berinteraksi dengan siswa, dia juga mempertimbangkan tugas-tugas pembelajaran serta tindakan yang ia lakukan dari sudut pandang siswa.
c.
Instructional
Task
Bagian
ketiga dari lintasan belajar
terdiri dari set tugas instruksional
atau kegiatan yang cocok
untuk setiap tingkat berpikir dalam
perkembangan perkembangan. Tugas
ini dirancang untuk membantu anak-anak
belajar ide-ide dan mempraktekkan
keterampilan yang dibutuhkan
untuk mencapai suatu tingkatan
berpikir. Oleh karena itu guru
dapat menggunakan tugas instruksional
tersebut guna mendorong perkembangan berpikir siswa dari satu level ke level berikutnya. Sebagaimana dijelaskan dan Sarama & Clements (2009) sebagai berikut:
The third part of a learning trajectory consists of set of instructional tasks, matched to each of the levels of thinking in the developmental progression. These tasks are designed to help children learn the ideas and skills needed to achieve that level of thinking. That is, as teachers, we can use these tasks to promote children's growth from one level to the next.
Penelitian
Sarama & Clements (2009) menghasilkan tiga temuan penting:
1)
Learning
substantial math is critical for primary grade children.
2)
All
children have the potential to learn
challenging and interesting math.
3)
Understanding
children’s mathematical development helps teachers be knowledgeable andeffective in teaching math.
Dari hasil
penelitiannya, Sarama dan Clements
memberikan saran pendekatan
pengajaran di kelas awal sebagai
berikut:
1) Mengetahui dan menggunakan lintasan belajar.
2) Menyertakan berbagai kegiatan pembelajaran.
3) Lintasan belajar memberikan panduan untuk kegiatan yang cenderung menantang anak-anak untuk menciptakan strategi barudan
membangun pengetahuan baru.
4) Menggunakan kombinasi strategi pengajaran.
5) Salah satu pendekatan yang efektif adalah (a) mendiskusikan masalah dengan kelompok, (b) menindaklanjuti dengan bekerja berpasangan, dan kemudian (c) mengharuskan anak-anak berbagi strategi penyelesaian dengan kelompoknya semula. Diskusikan strategi dengan anak-anak secara berpasangan dan individual. Membedakan instruksi dengan memberi kelompok atau individu jenis masalah yang berbeda.
4.
Hypothetical Learning Trajectory
(HLT)
Hypothetical Learning
Trajectory (HLT) merupakan
suatu instrumen yang menjadi panduan pada proses pelaksanaan penelitian design
research, sebagai perluasan dari percobaan pikiran (tought experiment)
yang dikembangkan oleh Freudenthal.
Simon (dalam Bakker, 2004)
mendefinisikan HLT sebagai berikut:
The hypothetical learning trajectory is made up of
three components: the learning goal that defines the direction, the learning
activities, and the hypothetical learning process a prediction of how the
students’ thinking and understanding will evolve in the context of the learning
activities (p. 136).
(HTL terdiri dari tiga komponen : tujuan pembelajaran yang mendefinisikan
arah (tujuan pembelajaran), kegiatan belajar, dan hipotesis proses belajar
untuk memprediksi bagaimana pikiran dan pemahaman siswa akan berkembang dalam
konteks kegiatan belajar).
Sejalan dengan
pendapat Simon, menurut Chuang-Yih Chen dalam “A Hypothetical Learning
Trajectory of Arguing Statements About Geometric Figures”: “The learning
trajectory is made up of three components: the learning goals, the learning
activities, and the hypothetical learning process“. Menurut Chuang-Yih Chen alur belajar terdiri atas tiga komponen yaitu
tujuantujuan belajar (the learning goals), aktivitas belajar (the
learning activities) dan proses belajar hipotetik (hypothetical learning
process). Chuang, menerapkan alur belajar dalam pemecahan masalah dan lebih
melihat alur belajar sebagai barisan aktivitas atau proses.
HLT digunakan sebagai bagian
dari apa yang disebut siklus mengajar matematika (mathematical learning cycle)
untuk satu atau dua pembelajaran, atau bahkan untuk lebih dari dua
pembelajaran. HLT dapat menghubungkan antara teori pembelajaran (instructional
theory) dan percobaan pembelajaran secara konkrit. HLT digunakan untuk
membimbing proses percobaan pembelajaran agar sesuai dengan spesifikasi materi
dan hipotesis pembelajaran yang sudah ditentukan dalam bentuk HLT.
HLT berperan pada setiap
tahapan design research, berikut ini adalah peran dan posisi HLT dalam
setiap tahapan design research (Bakker, 2004).
1.
Tahap Preparation and design : pada tahap ini, HLT dirancang untuk membimbing
proses perancangan bahan pembelajaran yang akan dikembangkan dan diadaptasi.
Konprontasi antara pemikiran umum dengan kegiatan konkrit sering mengarah pada
HLT yang lebih spesifik. HLT dirancang selama tahap preparation and design.
2.
Tahap Design Experiment : Selama percobaan pembelajaran, HLT berfungsi sebagai
pembimbing (guideline) untuk guru dan peneliti apa yang akan difokuskan
dalam proses pembelajaran, wawancara dan observasi. Peneliti dan guru perlu
menyesuaikan HLT dengan kegiatan pembelajaran untuk pertemuan pembelajaran.
Dengan HLT, proses penelitian dan pengembangan bisa lebih efisien. Perubahan
dalam HLT biasanya dipengaruhi oleh kejadian di kelas yang belum dapat diantisipasi,
strategi yang belum terlaksana, serta kegiatan yang terlalu sulit untuk
dilaksanakan. Perubahan HLT dilakukan untuk menghasilkan kondisi yang optimal
dan merupakan bagian dari data yang akan dianalisis. Perubahan HLT harus
dilaporkan untuk mendukung proses pembentukan teori. HLT dapat berubah selama
tahap teaching experiment.
3.
Tahap Restrospective Analysis : Pada tahap ini, HLT berperan sebagai petunjuk dalam
menentukan fokus analisis bagi peneliti. Karena prediksi dibuat berkaitan
proses belajar siswa, maka peneliti dapat membandingkan antisipasi dari
prediksi melalui observasi selama percobaan pembelajaran (teaching
experiment). Analisis seperti ini, menyangkut saling mempengaruhi antara
HLT dan dan pengamatan empiris dapat menjadi dasar pembentukan teori. Setelah
tahap ini, HLT diformulasikan kembali berdasarkan hasil temuan observasi dan
analisis yang dilakukan. HLT yang baru akan menjadi petunjuk pada tahap
rancangan (design phase) berikutnya. Dengan begitu, HLT merupakan bentuk
konkrit atau pengkonkritan teori pembelajaran. Sebaliknya, teori pembelajaran
dibentuk dari pengembangan HLT.
Ada tiga komponen utama dari
HLT, yaitu tujuan
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan hipotesis proses belajar siswa. Tujuan
pembelajaran sebagai komponen pertama mengindikasikan perlunya perumusan tujuan
pembelajaran sebagai bentuk hasil yang akan kita tuju atau capai setelah proses
pembelajaran. Penentuan tujuan pembelajaran sangat bermanfaat dalam penentuan
arah dan strategi pembelajaran yang akan digunakan. Berdasarkan tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan maka kegiatan pembelajaran sebagai jalan
untuk mencapai tujuan pembelajaran bisa dirancang. Kegiatan dalam pembelajaran
dapat disusun menjadi sub-sub kegiatan dengan sub-sub tujuan pembelajaran.
Komponen terakhir dari learning trajectory adalah hipotesis proses
belajar siswa yang berguna untuk merancang tindakan ataupun alternatif strategi
untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin dihadapi siswa dalam proses
pembelajaran. Learning trajectory atau bagaimana cara anak-anak berpikir
ketika mereka belajar untuk mencapai tujuan spesifik dari proses pembelajaran,
melalui serangkaian tugas-tugas instruksional yang dirancang untuk menimbulkan
proses-proses mental atau tindakan yang dihipotesiskan untuk memindahkan
anak-anak melalui pengembangan perkembangan berfikir anak.
Dapat disimpulkan lintasan
belajar menggambarkan tujuan pembelajaran, proses belajar dan berpikir anak
pada berbagai tingkatan, dan aktivitas pembelajaran yang mungkin menarik bagi
siswa.
Sesuai refleksi dari
perkuliahan dengan Prof. Dr. Marsigit, M.A., dalam membangun learning
trajectory sudah semestinya seorang guru harus bisa menyesuaikan dengan
keadaan. Secara filsafat seorang guru harus bisa menyesuaikan ruang dan waktu.
Untuk dapat mencapai hal tersebut seorang guru tidak boleh untuk merasa puas
dengan pengetahuan yang dmilikinya. Seorang guru harus selalu belajar. Bukan
hanya belajar saja tetapi juga harus senantiasa tawakal, tekun, rajin, dan
sabar.
Guru harus mengetahui dan
memahami perangkat pembelajaran yang berupa UUD 1945, UU, PP, kurikulum,
silabus, RPP, LKS, dll. Namun seorang guru tidak hanya berpedoman pada
perangkat pembelajaran saja. Guru yang hanya berpedoman hal tersebut sama
halnya dengan tukang. Guru yang baik harus mengetahui setiap tingkatan di
atasnya yaitu sesuatu yang akuntabel. Agar guru dapat dipercaya maka harus mau
untuk membaca berbagai referensi yang bersumber dari buku, internet, dsb.
Guru juga harus mengetahui
mengenai teori-teori belajar. Dari teori-teori belajar tersebut guru dapat
memprediksi alur belajar siswa. Dari hal tersebut guru dapat membangun learning
trajectory. Melalui pengetahuannya akan berbagai macam teori maka seorang
guru dapat memilih pendekatan yang tepat dalam proses pembelajaran.
Teaching trajectory berkaitan dengan bagaimana cara mengajar kepada siswa.
Oleh karena itu membangun learning trajectory dan menerapkannya dalam teaching
trajectory akan memaksimalkan kemampuan berpikir siswa. Hal tersebut hanya
akan dapat dicapai oleh guru profesional. Guru yang berkompeten akan selalu
mencari inovasi-inovasi pembelajaran yang berguna untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran sehingga dapat membentuk siswa yang memiliki karakter baik seperti
bertakwa, mandiri, dan cendekia sehingga dapat bertahan oleh gempuran faham-faham
yang melunturkan kebudayaan bangsa.
5. Manfaat
Learning Trajectory (lintasan
belajar)
Soedjadi (2007:
31) memberikan sebuah ilustrasi menarik tentang lintasan belajar (learning
trajectory) seperti pada gambar berikut ini:
Gambar 1. Sebuah
Ilustrasi tentang Alur Belajar
Lebih lanjut
Soedjadi (2007: 31) menjelaskan bahwa secara umum perkembangan kemampuan
kognitif anak mulai dengan hal yang konkret secara bertahap mengarah ke hal
yang abstrak. Bagi setiap anak perjalanan dari konkret ke abstrak dapat saja
berbeda. Ada yang cepat dan ada yang lamban sekali. Bagi yang cepat mungkin
tidak memerlukan banyak tahapan, tetapi bagi yang tidak cepat, tidak mustahil
perlu melalui banyak tahapan. Dengan demikian bagi setiap anak mungkin saja
memerlukan learning trajectory atau alur belajar yang berbeda.
Alur belajar
hipotetik adalah suatu dugaan tentang rangkaian aktivitas yang dilalui anak
dalam mememecahkan suatu masalah atau memahami suatu konsep. Sedangkan lintasan
belajar adalah suatu rangkaian aktivitas yang secara aktual dilalui anak dalam
memecahkan suatu masalah atau memahami suatu konsep. Dalam mengungkap lintasan
belajar maka terlebih dahulu dirumuskan lintasan belajar hipotesis Dalam pelaksanaan/uji
coba lintasan belajar hipotetik mungkin mengalami beberapa perubahan atau
perbaikan. Lintasan yang diperoleh berdasarkan beberapa revisi tersebut itulah
yang disebut dengan lintasan belajar. Jadi alur belajar yang merupakan hasil
revisi terhadap alur belajar hipotetik berdasarkan peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada saat pembelajaran berlangsung.
Seperti telah
disampaikan di atas bahwa lintasan belajar adalah suatu istilah diambil dari
Simon (1995). Mula-mula, Simon menggunakan lintasan belajar yang hipotetis
untuk merancang dan merencanakan siklus-siklus pengajaran pendek, yang meliputi
satu atau dua kali pembelajaran. Menurut Bakker (2003) lintasan belajar
hipotetik lebih dekat dengan konsep pembelajaran lokal yang dikemukakan oleh
Gravemeijer, ataupun penafsiran lintasan belajar hipotetik (HLT) adalah dekat
dengan konsep skenario seperti yang digunakan oleh Klaassen (1995).
Dalam setiap
siklus penelitian desain secara makro, kita dapat membagi dalam tiga tahap
yaitu tahap desain awal, tahap eksperimen dan tahap analisis retrospeksi (retrospective
analysis). Pada tahap desain awal termasuk di dalamnya menghubungkan antara
dua bagian utama yaitu, pengembangan suatu lintasan belajar hipotetik dan
desain aktivitas belajar. Jadi merumuskan atau mengembangkan sebuah lintasan
belajar hipotetik merupakan langkah pertama dalam sebuah siklus penelitian.
Dikatakan lintasan belajar hipotetik kerena bersifat individual dan selalu
dapat dirubah.
Sebuah lintasan
belajar memberikan petunjuk bagi guru untuk menentukan dan merumuskan
tujuan-tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Selanjutnya guru dapat membuat
keputusan-keputusan tentang langkah-langkah strategi yang akan digunakan untuk
mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Sebelum menentukan langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam pembelajaran atau pemecahan masalah, guru seharusnya memiliki terlebih
dahulu informasi tentang pengetahuan prasyarat, strategi berpikir yang digunakan
anak, level berpikir yang mereka tunjukkan dan bagaimana variasi aktivitas yang
dapat menolong mereka mengembangkan pemikiran yang dibutukan untuk tujuannya
tersebut. Semuanya termuat dalam lintasan belajar hipotesis.
Informasi-informasi
itu dapat diperoleh melalui observasi, pre-tes, atau penilaian lain.
Berdasarkan observasi, penilaian, dan informasi lain yang telah dikumpulkan,
guru dapat mengetahui alur belajar ataupun tingkat berpikir yang dimiliki anak
saat itu. Dengan mengetahui level dan alur pikir yang dimiliki anak, dalam
proses pembelajaran kita dapat mengetahui mana yang harus didahulukan dalam
proses pengembangannya. Alur belajar memberikan suatu kerangka kerja bagi guru
untuk mengembangkan pengetahuan tentang berpikir dan belajar peserta didik.
Selanjutnya pengetahuan tentang berpikir dan belajar peserta didik dapat
digunakan untuk merencanakan pembelajaran.
Memformulasikan
suatu alur belajar hipotetik dapat didasarkan pada salah satu jenis sumber
seperti: konjektur tanpa data empirik, eksperimen atau pengalaman mengajar,
pretes dan postes, interview atau
protokol tertulis dari beberapa pertanyaan, analisis tugas terstruktur dan
seterusnya (Chuang-Yih Chen, 2002: 10). Dalam proses memformulasikan lintasan
belajar hipotetik, tujuan belajar (learning goals) dapat diuraikan dalam
sub-sub tujuan (subgoals), sedangkan proses belajar disusun berdasarkan
data empirik. Jika tujuan belajar (learning goals) dapat dikorelasikan
dengan proses belajar akan mempermudah seorang guru dalam menyusun kerangka
kerja untuk mendesain pembelajaran dan penilaian.
Berikut ini
adalah sebuah siklus pembelajaran yang memuat alur belajar yang dikonstruk oleh
guru untuk perencanaan pembelajaran yang mengacu pada: (a) tujuan belajar, (b)
pengaturan pembelajaran dan aktivitas, dan (c) proses belajar yang mungkin untuk
melibatkan peserta didik secara aktif.
Gambar 2. Siklus
pembelajaran matematika menurut Simon, (dalam Leikin R & Dinu S., 2002:18)
Untuk mengetahui
hubungan antara lintasan belajar dengan lintasan belajar hipotetik, sebuah ilustrasi
menarik dapat disimak pada uraian berikut ini. Simon (dalam Leikin R & Dinu
S., 2002: 19) memberikan ilustrasi bahwa pada awalnya seseorang mungkin
merencanakan pelayaran atau perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain.
Mungkin keseluruhan atau hanya sebagian saja. Orang tersebut memperkenalkan
pelayaran menurut rencananya. Dalam pelayaran, ia harus secara konstan
melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang ditemui. Oleh karena itu ia
terus menerus berusaha untuk memperoleh pengetahuan tentang pelayaran, tentang
kondisi-kondisi yang ada, dan tentang wilayah-wilayah yang ingin ia kunjungi.
Berdasarkan hal tersebut mungkin ia mengubah rencana berkenaan dengan
tujuan-tujuan perjalanan. Ia memodifikasi sifat dan panjangnya atau rute
perlajanan sebagai hasil interaksi-interaksi dengan orang-orang yang ditemui
sepanjang perjalanan. Ia menambahkan tujuan-tujuan baru yang sebelum perjalanan
tidak dikenal. lintasan yang secara aktual dilalui itulah yang disebut dengan lintasan
perjalanan. Lintasan yang dirubah pada titik tertentu dalam perjalanan itulah
yang disebut disebut lintasan yang hipotetik.
Berdasarkan
ilustrasi yang digambarkan oleh Simon bahwa lintasan belajar memberikan
gambaran secara utuh tentang apa yang terjadi atau yang kita temui, daerah yang
kita singgahi sepanjang perjalanan. Dengan demikian dalam pemecahan masalah sebuah
lintasan belajar akan memberikan gambaran tentang pengetahuan prasyarat yang telah
dimiliki peserta didik (sebagai titik start) dan setiap langkah dari satu titik
ke titik berikutnya menggambarkan proses berpikir yang mereka gunakan, metode
yang mereka pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang mereka tunjukkan.
6. Perangkat pembelajaran yang
berbasis Learning Trajectory
Learning
Trajectory diaplikasikan pada perangkat pembelajaran yang
digunakan untuk kegiatan pembelajaran (Teaching
Trajectory). Namun para guru masih banyak yang masih tradisional dimana
guru membuat perangkat pembelajaran yang masih bersifat tradisional. Guru masih
egois karena tidak memperhatikan kebutuhan, kesiapan, dan tahap perkembangan
berpikir siswa dalam membuat dan mengaplikasikan perangkat pembelajarannya.
Perangkat
pembelajaran yang dibuat oleh guru tradisional belum berbasis Learning Trajectory, belum mengaitkan materi sebelum, materi PBM, dan materi sesudahnya
dari level rendah menuju level tinggi saling berkaitan. Materi pembelajaran
bersifat parsial sehingga pengetahuan siswa terbatas atau terputus kurang
berkembang secara maksimal. Perangkat pembelajaran belum berbasis Learning Trajectory yang belum
memfasilitasi siswa belajar ilmu misalnya matematika secara konkret berdasarkan
fakta dan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari sehingga intuisi siswa
akan tercabut dan kehilangan nuraninya.
Perangkat pembelajaran masih tradisional dimana
kurangnya pengalaman siswa tanpa pembelajaran kontekstual. Guru tradisional yang otoriter terhadap muridnya, guru munafik
yang mengharuskan siswa menjawab sempurna. Fasilitas guru belum menyesuaikan
dengan karakteristik dan tahap perkembangan berpikir siswa dimana siswa
langsung belajar pada tahap formal secara tradisional. Guru mengkondisikan
dalam proses belajar siswa sehingga siswa akan tergantung kepada guru.
Perangkat pembelajaran yang seharusnya adalah perangkat
pembelajaran yang berbasis Learning
Trajectory mengaitkan materi sebelum, materi PBM, dan materi sesudahnya
dari level rendah menuju level tinggi yang saling berkaitan. Perangkat
pembelajaran yang berbasis Learning
Trajectory menyesuaikan tahap perkembangan berpikir siswa. Berdasarkan
teori Piaget, tahap perkembangan anak tingkat sekolah dasar masih berpikir
secara konkret berdasarkan fakta dan pengalaman sehingga perangkat pembelajaran
berbasis Learning Trajectory
memfasilitasi siswa belajar ilmu misalnya matematika secara konkret berdasarkan
fakta dan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari. Jika siswa difasilitasi
belajar Matematika secara konkret berdasarkan fakta dan pengalaman siswa dalam
kehidupan sehari-hari maka siswa akan dapat membangun konsep berdasarkan
intuisinya yang melahirkan nurani siswa.
Perangkat pembelajaran yang berbasis Learning Trajectory bersifat Sintetik
Apriori seperti pembelajaran kontekstual dimana
sebenar-benar ilmu pengetahuan menurut Immanuel Kant adalah harus ada
pengalaman dan logika, harus Sintetik dan Apriori, siswa terlibat secara
langsung dalam proses belajar sehingga siswa mampu membangun pengetahuannya.
Perangkat pembelajaran yang berbasis Learning
Trajectory bersifat membangun (Constructivism).
Perangkat pembelajaran berbasis Learning
Trajectory bersifat guru yang melayani siswa, guru yang membangun siswa,
guru yang inovatif.
Perangkat pembelajaran yang berbasis Learning Trajectory menyesuaikan
karakteristik siswa dalam memberikan fasilitas belajar siswa. Banyak teori
belajar yang dijadikan dasar dalam usaha memfasilitasi belajar siswa. Wujud
teori-teori belajar adalah proses belajar mengajar. Cara berpikir siswa ada 3
unsur menurut Shigeo Katagiri yaitu sikap, metode, dan materi/isi sehingga ada pembelajaran
kontekstual yang terdapat dalam perangkat pembelajaran berbasis Learning Trajectory. Dalam memfasilitasi
belajar matematika berawal dari tahap konkret, model konkret, model formal,
kemudian formal. Sama seperti Teori Bruner diawali dari tahap enactive (benda), iconic, dan symbolic.
Teori-teori belajar tersebut berdasar tahap perkembangan berpikir oleh Piaget
dimana anak SD berpikir secara konkret.
Perangkat pembelajaran berbasis Learning Trajectory tidak bersifat guru mengkondisikan dalam proses
belajar siswa karena belajar merupakan berdaya sehingga mengajar merupakan
memberdayakan siswa dan siswa tidak akan selalu tergantung kepada guru.
Perangkat pembelajaran berbasis Learning
Trajectory membiarkan bola ada di tangan siswanya. Bola yang ada ditangan siswa
biarkan mau diapakan oleh siswa tersebut. Bola tersebut merupakan milik siswa
dan siswa mempunyai daya atas bola tersebut untuk diapakan sehingga siswa tidak
akan tergantung kepada guru dalam memperlakukan bola tersebut. Bola itu sendiri
merupakan fasilitas guru yang dapat dimanfaatkan oleh siswa karena guru
memberikan fasilitas kepada siswa dalam usaha memberdayakan siswa agar siswa
mampu berdaya dengan fasilitas tersebut.
C. Pengembangan
Etnomatematika Berorientasi Learning
Trajectory
1. Konsep
Pembelajaran
Etnomatematika
menjadi disiplin ilmu dan menjadi perhatian luas akhir-akhir ini. Salah satu
alasan yang bisa dikemukakan adalah karena pengajaran matematika di sekolah memang
terlalu bersifat formal. Hiebert & Capenter (1992) mengingatkan kepada
semua pihak bahwa pengajaran matematika di sekolah dan matematika yang
ditemukan anak dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda. Oleh sebab itu
pembelajaran matematika sangat perlu memberikan muatan/menjembatani antara
matematika dalam dunia sehari-hari yang berbasis pada budaya lokal dengan
matematika sekolah.
Gagasan
etnomatematika akan dapat memperkaya pengetahuan matematika yang telah ada.
Oleh sebab itu, jika perkembangan etnomatematika telah banyak dikaji maka bukan
tidak mungkin matematika diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya
setempat. Menurut Bishop (1994b), matematika merupakan suatu bentuk budaya.
Matematika sebagai bentuk budaya, sesungguhnya telah terintegrasi pada seluruh
aspek kehidupan masyarakat dimanapun berada. Selanjutnya Pinxten (1994)
menyatakan bahwa pada hakikatnya matematika merupakan teknologi simbolis yang
tumbuh pada ketrampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat budaya. Dengan
demikian matematika seseorang dipengaruhi oleh latar budayanya, karena yang
mereka lakukan berdasarkan apa yang mereka lihat dan rasakan. Budaya akan
mempengaruhi perilaku individu dan mempunyai peran yang besar pada perkembangan
pemahaman individual, termasuk pembelajaran matematika (Bishop, 1991).
Pendidikan
matematika sesungguhnya telah menyatu dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Kenyataan tersebut bertentangan dengan aliran konvensional yang memandang matematika
sebagai ilmu pengetahuan yang bebas budaya dan bebas nilai. Para pakar etnomatematika
berpendapat bahwa pada dasarnya perkembangan matematika sampai kapanpun tidak
terlepas dari budaya dan nilai yang telah ada pada masyarakat.
Dalam kegiatan
pembelajaran matematika di sekolah tujuan guru adalah pembentukan skema baru.
Pembentukan skema baru ini sebaiknya dari skema yang telah ada pada diri siswa.
Oleh sebab itu tepat sekali jika dalam mengajarkan matematika formal
(matematika sekolah), guru sebaiknya memulai dengan matematika yang tidak
formal yang diterapkan oleh anak di masyarakat. Jika pada diri anak terbentuk
skema dengan baik tentang matematika yang dipakai dalam dunia sehari-hari, maka
untuk menambah pengetahuan yang telah ada tersebut guru memperkuat skema yang
telah ada atau membentuk skema baru berdasarkan skema yang telah ada.
Di sekolah yang dominan suku atau etnis tertentu
seringkali mengajarkan matematika tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia
demikian juga pada beberapa daerah dimana dalam bahasa pengantar juga
menggunakan bahasa setempat. Oleh sebab itu guru harus mengajarkan matematika
dengan menggunakan bahasa pengantar dari bahasa daerah setempat. Bahasa daerah
setempat mempunyai istilah sendiri, misalnya untuk kata ” berhitung, ditambah, dikurang,
dikali dan dibagi ”. Kata–kata semacam itu mempunyai makna begitu banyak bagi anak
dan guru untuk mngajarkan matematika formal dalam komputasi. Demikian juga
ketika guru akan menjelaskan dalam pembelajaran tentang pencerminan dan
simetri, guru bisa membawa atau memperlihatkan contoh–contoh artefak, lukisan
tato, dan lukisan lain yang bermotif budaya lokal yang mempunyai nilai
pencerminan setelah siswa dikenalkan dengan bentuk–bentuk tadi, barulah
kemudian mengenalkan konsep pencerminan dan simetri yang formal.
Pengintegrasian
etnomatematika dalam pembelajaran dilaksanakan dalam proses pembelajaran
berorientasi learning trajectory. Learning Trajectory merupakan
ilmu yang mempelajari bagaimana siswa belajar serta bagaimana siswa berpikir
yang diaplikasikan dalam Teaching
Trajectory tentang bagaimana guru menyelenggarakan proses belajar mengajar
(Prof. Dr. Marsigit, M.A.). Guru inovatif membangun Learning Trajectory dengan mempelajari bagaimana siswa berpikir dan
belajar melalui berbagai referensi tentang teori belajar dan mengajar untuk
membuat perangkat pembelajaran yang berbasis Learning Trajectory serta memfasilitasi belajar siswa (Teaching Trajectory) dengan mengaitkan
materi sebelum, materi PBM, dan materi sesudah pembelajaran.
Menurut Abraham S Lunchins dan Edith N Luchins (Erman Suherman, 2003),
matematika dapat dijawab secara berbeda-beda tergantung pada kapan pertanyaan
itu dijawab, dimana dijawabnya, siapa yang menjawabnya, dan apa sajakah yang
dipandang termasuk dalam matematika. Materi pembelajaran matematika diajarkan
secara berjenjang atau bertahap, yaitu dari hal konkret ke abstrak, hal yang
sederhana ke kompleks, atau konsep mudah ke konsep yang lebih sukar. Pembelajaran
matematika mengikuti metode spiral. Setiap mempelajari konsep baru perlu
memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari sebelumnya. Bahan yang
baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari. Pengulangan konsep
alam bahan ajar dengan cara memperluas dan memperdalam adalah perlu dalam
pembelajaran matematika (spiral melebar dan naik).
Guru harus mampu memfasilitasi siswa untuk belajar matematika berdasarkan Learning Trajectory. Guru yang memahami Learning Trajectory akan memahami cara
memfasilitasi siswa belajar matematika sesuai dengan cara berpikir dan belajar
matematika siswa. Guru harus berani meninggalkan comfort zone dari tradisional yang sekedar transfer of knowledge menuju guru yang inovatif dengan cara
mempelajari Learning Trajectory sehingga
guru mampu membuat perangkat pembelajaran dan mengaplikasikannya dalam rangka
memfasilitasi siswa belajar matematika sesuai dengan cara berpikir dan belajar
siswa. Cara berpikir dan belajar siswa berkaitan dengan kesiapan, kebutuhan,
dan tahap perkembangan siswa. Guru harus memperhatikan dan menyesuaikan proses
pembelajaran dengan hal-hal tersebut.
Dalam pengembangan etnomatika berorientasi learning trajectory, hal yang terpenting
adalah bagaimana usaha dan kerja keras guru untuk menampilkan konsep
matematika yang ada dalam etnomatematika kedalam
kegiatan pembelajaran, sehingga konsep tersebut dapat berhubungan secara
langsung dengan budaya siswa dan dengan pengalamannya sehari-hari. Di mana
pembelajaran dilaksanakan mengikuti suatu pola tingkatan alamiah, yakni belajar
kemampuan-kemampuan dan ide-ide matematika dengan cara siswa. Peran guru
adalah bagaimana memberi fasilitas, kesempatan ruang dan waktu kepada siswa dengan berbagai metode yang inovatif sesuai dengan
tahap perkembangan siswa, agar siswa bisa membangun pengetahuannya sendiri. Selain itu berdasarkan prinsip learning trajectory, pembelajaran
selalu mengaitkan antara pembelajaran sebelumnya, pembelajaran yang sedang
berlangsung dan pembelajaran yang akan datang. Ketika para guru
memahami pola tingkatan alamiah siswa dan
menerapkan prinsip pembelajaran, serta aktivitas-aktivitas yang tersusun didalamnya,
maka telah terbangun suatu
lingkungan belajar matematika yang tepat dan efektif.
2.
Learning Trajectory dalam Kurikulum 2013
Learning
Trajectory tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana siswa
berpikir yang berimplikasi pada Teaching
Trajectory. Seperti dalam filsafat tentang membangun hidup siswa, dalam learning trajectory pun berimplikasi
dengan teaching trajectory yaitu guru
memfasilitasi belajar siswa dengan berbagai metode yang inovatif sesuai dengan
tahap perkembangan siswa.
Learning trajectory
timeline meliputi hakikat/makna/arti serta sejarahnya. Struktur ketentuan learning trajectory meliputi filsafat,
ideologi, UUD 1945, UU, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan
Pemerintah, Kurikulum, Silabus, RPP, LKS (Lembar Kegiatan Siswa), Sekolah,
Guru, Siswa, Mata Pelajaran, PBM. Kurikulum saat ini adalah kurikulum 2013 yang
menggunakan pendekatan scientific meliputi
mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan serta authentic assessment yang menilai ranah
sikap, pengetahuan, dan keterampilan siswa.
Learning trajectory
dapat diaplikasikan oleh guru dengan memfasilitasi
belajar siswa dalam perangkat pembelajaran dan proses pembelajaran yang
diselenggarakan sesuai dengan kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan scientific dan authentic assessment. Guru menyesuaikan cara berpikir dan belajar
siswa di dalam perangkat dan proses pembelajaran menggunakan pendekatan scientific dan authentic assessment.
Cara berpikir siswa ada 3 unsur menurut Shigeo
Katagiri yaitu sikap, metode, dan materi/isi. Dalam memfasilitasi belajar matematika
berawal dari tahap konkrit, model
konkrit, model
formal, kemudian formal. Sama seperti Teori Bruner diawali dari tahap enactive (benda), iconic, dan symbolic.
Penilaian autentik (authentic assessment)
dalam kurikulum 2013 dapat dijadikan pedoman guru sejauh mana guru berhasil
melakukan teaching trajectory yang
merupakan implikasi dari learning trajectory.
Dalam
Kurikulum 2013, pendidik diharapkan mampu menciptakan pembelajaran bermakna
sehingga materi yang disampaikan tidak hanya lewat begitu saja tanpa ada kesan
sama sekali. Salah satu langkah untuk menciptakan pembelajaran bermakna
tersebut adalah dengan memanfaatkan budaya Indonesia sebagai sumber dalam
pelaksanaan pembelajaran. Mengingat masih banyak generasi muda yang masih minim
pengetahuan budayanya, pendekatan budaya dalam pembelajaran pun merupakan salah
satu strategi untuk menciptakan pembelajaran bermakna sekaligus memberikan
pengetahuan budaya kepada peserta didik. Di samping
itu, kurikulum 2013 menggunakan tematik integratif berupa tema-tema terdiri
dari beberapa mata pelajaran yang dikaitkan dalam satu tema. Dalam hal ini
pembelajaran senantiasa dikaitkan dengan hal-hal kontekstual termasuk pemanfaatan
unsur-unsur budaya. Unsur budaya diintegrasikan khususnya dalam pembelajaran
matematika sehingga membentuk etnomatika. Pembelajaran etnomatika dilaksanakan
secara learning trajectory, yaitu
pembelajaran secara bertahap sesuai perkembangan cara berpikir siswa. Dengan
demikian terwujud pembelajaran etnomatika berorientasi learning trajectory.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etnomatematika
adalah bentuk matematika yang dipengaruhi atau didasarkan budaya. Etnomatematika
telah banyak dikaji dan diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya
setempat. Melalui penerapan etnomatematika dalam pendidikan
diharapkan peserta didik dapat lebih memahami matematika dan budaya mereka, sehingga nilai
budaya yang merupakan bagian karakter bangsa tertanam sejak dini.
Learning
Trajectory merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana siswa
belajar serta bagaimana siswa berpikir yang diaplikasikan dalam teaching trajectory tentang bagaimana
guru menyelenggarakan proses belajar mengajar (Prof. Dr. Marsigit, M.A.). Guru
inovatif membangun learning trajectory dengan
mempelajari bagaimana siswa berpikir dan belajar melalui berbagai referensi
tentang teori belajar dan mengajar untuk membuat perangkat pembelajaran yang
berbasis learning trajectory serta
memfasilitasi belajar siswa (teaching trajectory)
sesuai dengan tingkatan berpikir siswa agar siswa mampu membangun
pengetahuannya sendiri serta dengan mengaitkan materi sebelum, materi pembelajaran,
dan materi sesudah pembelajaran.
Mengingat pentingnya pendidikan yang berkesinambungan
dari sisi konten dan proses, mathematical learning trajectory menjadi
isu penting dalm pembelajaran matematika. Proses pembuatan mathematical
learning trajectory memang membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.
Meskipun demikian, isu ini penting untuk dapat dilakukan/ditindaklanjuti. Siswa
membutuhkan guru/pendidik yang benar-benar menjadi fasilitator bagi mereka
dalam mempelajari suatu ide besar.
Learning
trajectory
terdiri atas bentuk material, formal, normatif dan spiritual. Learning
trajectory dalam bentuk material, wujudnya berupa konteks dan
konten di mana konteks biasa berupa artefak (secara fisik), lingkungan berbasis
budaya (misalnya ethnomathematic
yaitu matematika berbasis budaya). Mengembangkan etnomatematika dalam
nuansa learning
trajectory (lintasan
belajar) berarti menanamkan dan memanfaatkan nilai-nilai budaya secara
kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan tahapan-tahapan belajar
yang sesuai dengan perkembangan proses berpikir
siswa, metode
yang siswa pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang siswa tunjukkan. Dengan
demikian diharapkan siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep matematika
bermuatan budaya.
B. Saran
Pengenalan unsur budaya kepada siswa dapat dilakukan
dengan mengintegrasikannya ke dalam materi pembelajaran khususnya ke dalam mata
pelajaran matematika dalam konteks etnomatematika. Pembelajaran etnomatematika
dapat dilaksanakan secara learning trajectory
di mana pembelajaran disesuaikan dengan tingkatan berpiki siswa. Hal tersebut
dapat dijadikan alternatif dalam memilih strategi pembelajaran. Di mana siswa
menerapkan pembelajaran kontekstual sekaligus mengenal budaya yang ada dengan
suasana yang menyenangkan dan siswa tidak merasa terbebani karena tingkatan
berpikirnya sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, A. (2003). Design Research on How IT May
Support the Develapment of Symbols and Meaning in Mathematics Education. Freudenthal
Institute, Utrecht University. Tersedia dalam http://www.math.ntnu.Edu.tw/ Diakses 2 Januari 2016.
Bishop,J.A.
(1994b). Cultural Conplicts in the Mathematics Education of Indigenous
people. Clyton, Viktoria: Monash University.
Chuang- Yih C. (2002). A Hypothetical Learning Trajectory
of Arguing Statements about Geometric Figures. Electric Journal of
Mathematics Education, 1(1): 2-11. Tersedia di http://www.math.ntnuEdu.tw/ Diakses 2 Januari 2016.
Clements, D.H. & Sarama, J. (2009). Learning
Trajectories in Early Mathematics - Sequences of Acquisition and Teaching.
Tersedia: http://literacyencyclopedia.ca/index.php?fa=items.show&topicId=270 Diakses 2 Januari 2016.
. (2009). Teaching Math in the Primary
Grades The Learning Trajectories Approach. Tersedia: www.naeyc.org/files/yc/file/Primary_Interest_BTJ.pdf Diakses 2
Januari 2016.
Gerdes,P. (1994). Reflection on
Ethnomatematics. For the Learning of Mathematiccs, 14(2), 19-21
Simon, M. A. (1995). Reconstructing Mathematics Pedagogy from a Constructivist Perspective.Journal for Research in Mathematics
Education, 26(2), 114-145.
Tersedia dalam http://www.math.ntnu.Edu.tw Diakses 2
Januari 2016.
Soedjadi,R. (2007). Masalah Konstekstual sebagai Batu
Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah
UNESA.
Suherman, E., dkk.
(2003). Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: JICA-Universitas Pendidikan Indonesia.
Mantap pak,
BalasHapussaya bisa minta dalam bentuk pdfnya gag ?