PENGEMBANGAN ETNOMATEMATIKA BERORIENTASI LEARNING TRAJECTORY

PENGEMBANGAN ETNOMATEMATIKA BERORIENTASI
LEARNING TRAJECTORY

Disusun untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Gasal Mata Kuliah Etnomatika

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Marsigit, M.A

 

Oleh:
DAFID SLAMET SETIANA          (14703261004)




PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Salah satu realisasi pembelajaran kreatif dan bermakna dilaksanakan melalui pembelajaran berbasis budaya. Hal itu sangat beralasan karena pembelajaran berbasis budaya menjadikan pembelajaran bermakna kontekstual yang sangat terkait dengan komunitas budaya dan pembelajaran berbasis budaya menjadikan pembelajaran menarik dan menyenangkan. Apalagi pada Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013 yang menonjolkan peningkatan kemampuan siswa terhadap budaya dan pembelelajaran yang berpusat pada siswa. Pembelajaran yang menarik dan mudah dipahami dapat membantu agar siswa lebih memahami materi pelajaran. Metode yang inovatif dalam proses pembelajaran dikombinasikan dengan kegiatan bermuatan budaya membuat siswa menjadi lebih menyenangkan.
Pengaruh modernisasi terhadap kehidupan berbangsa tidak dapat dipungkiri lagi, hal ini berdampak pada mengikisnya nilai budaya luhur bangsa kita. Terjadinya hal ini dikarenakan kurangnya penerapan dan pemahaman terhadap pentingnya nilai budaya dalam masyarakat. Kebudayaan dapat dipahami sebagai suatu sistem gagasan/ide yang dimiliki suatu masyarakat lewat proses belajar dan dijadikan acuan tingkah laku dalam kehidupan sosial bagi masyarakat. Pendidikan dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari, karena budaya merupakan kesatuan utuh dan menyeluruh yang berlaku dalam suatu masyarakat, dan pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap inidividu dalam masyarakat. Pendidikan dan budaya memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuhkan dan mengembangakan nilai luhur bangsa kita, yang berdampak pada pembentukan karakter yang didasarkan pada nilai budaya yang luhur. Selama ini pemahaman tentang nilai-nilai dalam pembelajaran matematika yang disampaikan para guru belum menyentuh keseluruh aspek. Matematika dipandang sebagai alat untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam dunia sains saja, sehingga mengabaikan pandangan matematika sebagai kegiatan manusia (Soedjadi, 2007). Pandangan itu sama sekali tidaklah salah, keduanya benar dan sesuai dengan pertumbuhan matematika itu sendiri.
Nilai budaya yang merupakan landasan karakter bangsa merupakan hal yang penting untuk ditanamkan dalam setiap individu, untuk itu nilai budaya ini perlu ditanamkan sejak dini agar setiap individu mampu lebih memahami, memaknai, dan menghargai serta menyadari pentingnya nilai budaya dalam menjalankan setiap aktivitas kehidupan. Penanaman nilai budaya bisa dilakukan melalui lingkungan keluarga, pendidikan, dan dalam lingkungan masyarakat tentunya. Hal ini senada dengan dikatakan oleh Eddy dalam Rasyid (2013) bahwa pelestarian kebudayaan daerah dan pengembangan kebudayaan nasional melalui pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal, dengan mengaktifkan kembali segenap wadah dan kegiatan pendidikan. Pendidikan dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari, karena budaya merupakan kesatuan yang utuh dan menyeluruh, berlaku dalam suatu masyarakat dan pendidikan merupakan
kebutuhan mendasar bagi setiap inidividu dalam masyarakat.
Masuknya matematika secara sadar maupun tidak sadar kedalam berbagai aspek kehidupan tentunya menarik untuk dikaji, apakah kajian dalam aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun aspek lainnya. Salah satu aspek yang menarik dikaji adalah aspek budaya. Pada budaya manusia, umumnya matematika merasuk kedalam budaya tersebut namun manusia jarang menyadari bahwa matematika telah merasuki budaya mereka. Oleh karena itu, kajian mengenai matematika dalam budaya perlu dikembangkan sehingga dapat memberikan gambaran pada masyarakat berbudaya mengenai peranan matematika dalam budayanya.
Salah satu yang dapat menjembatani antara budaya dan pendidikan khususnya matematika adalah etnomatematika. Etnomatematika adalah bentuk matematika yang dipengaruhi atau didasarkan budaya. Oleh sebab itu, jika perkembangan etnomatematika telah banyak dikaji maka bukan tidak mungkin matematika diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya setempat. Jika ditinjau dari sudut pandang riset maka etnomatematika didefinisikan sebagai antropologi budaya (cultural anropology of mathematics) dari matematika dan pendidikan matematika. Melalui penerapan etnomatematika dalam pendidikan diharapkan peserta didik dapat lebih memahami matematika dan budaya mereka, sehingga nilai budaya yang merupakan bagian karakter bangsa tertanam sejak dini.
Menurut Bishop (1994b), matematika merupakan suatu bentuk budaya. Matematika sebagai bentuk budaya, sesungguhnya telah terintegrasi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat dimanapun berada. Selanjutnya Pinxten (1994) menyatakan bahwa pada hakekatnya matematika merupakan teknologi simbolis yang tumbuh pada ketrampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat budaya. Dengan demikian matematika seseorang dipengaruhi oleh latar budayanya, karena yang mereka lakukan berdasarkan apa yang mereka lihat dan rasakan. Pendidikan matematika sesungguhnya telah menyatu dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Kenyataan tersebut bertentangan dengan aliran konvensional yang memandang matematika sebagai ilmu pengetahuan yang bebas budaya dan bebas nilai. Para pakar etnomatematika berpendapat bahwa pada dasarnya perkembangan matematika sampai kapanpun tidak terlepas dari budaya dan nilai yang telah ada pada masyarakat.
Istilah etnomatematika pertama kali diperkenalkan oleh D’Ambrosio, dimana dalam bukunya dinyatakan bahwa, etnomatematika merupakan matematika yang dilakukan oleh kelompok budaya tertentu seperti suku-suku di suatu negara, perserikatan pekerja, kelompok profesi, dan lain-lain. Beberapa contoh dari etnomatematika dijelaskan pada uraian berikut. Studi yang dilakukan oleh Tambunan (2009), menunjukkan bahwa para pengerajin kain tenun seperti ulos, songket dan lain sebagainya yang ada di daerah Pak-pak, secara tidak sadar juga menggunakan perhitungan the Golden Ratio untuk menenun untaian-untaian benang sehingga menjadi selembar kain. The Golden Ratio diimplementasikan dalam pembuatan pola dalam ulos tersebut, warna benang yang akan menjadi pola disisip dalam warna benang yang akan menjadi warna dasar dalam ulos, banyaknya warna-warna benang dan panjang benang tersebut telah diperhitungkan dengan cermat oleh penenun, sehingga untaian benang tadi menjadi sebuah ulos dengan pola yang indah dan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Pak-pak. Tentu masih banyak lagi etnomatematika yang telah dikaji selama ini dan tentunya kajian tersebut telah memberikan gambaran kepada banyak orang bahwa matematika bukanlah ilmu yang kaku, namun dapat berbaur dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Selain sudah banyak etnomatematika yang dikaji, pastilah terdapat etnomatematika yang belum ataupun sedang dikaji. Salah satu etnomatematika yang menarik untuk dikaji yaitu mengenai pembelajaran etnomatematika berorientasi pada learning trajectory.
Anak-anak mengikuti suatu pola tingkatan alamiah ketika mereka belajar maupun dalam proses perkembangannya. Sebagai contoh anak-anak mengalami pola yang sama pada perkembangan mereka dari belajar merangkak, berjalan, lalu berlari, dan melompat dengan kecepatan dan kecekatan yang terus meningkat seiring dengan perkembangan fisiknya. Sama halnya dalam proses belajar mereka. Misalnya, dalam belajar matematika, mereka juga mengikuti suatu pola tingkatan alamiah, yakni belajar kemampuan-kemampuan dan ide-ide matematika dengan cara mereka sendiri. Ketika guru memahami pola tingkatan alamiah serta aktivitas-aktivitas yang tersusun di dalamnya, maka mereka telah membangun suatu lingkungan belajar matematika yang tepat dan efektif. Pola tingkatan alamiah tersebut merupakan dasar dalam membuat learning trajectories atau lintasan belajar. Lintasan belajar sangat berguna bagi guru, khususnya dalam hal menjawab berbagai pertanyaan seperti: apa tujuan pembelajaran yang akan dicapai? bagaimana memulainya? bagaimana langkah-langkah yang akan dilakukan? bagaimana cara mencapai tujuan tersebut? dan seterusnya.
Selama ini, banyak guru pesimis dengan siswa dan tidak berani menggunakan strategi pembelajaran yang menantang. Guru beranggapan bahwa siswa tidak akan dapat diajak untuk berpikir sesuatu yang menantang. Melihat penemuan Sarama&Clements (2009), tampak bahwa anak-anak memiliki potensi untuk belajar matematika. Yang diperlukan guru adalah keberanian untuk mengeksplor kemampuan dan memahami perkembangan anak-anak. Penting untuk mengembangkan kemampuan mengajar matematika dengan baik. Istilah learning trajectory digunakan untuk menggambarkan transformasi belajar yang dihasilkan dari partisipasi dalam aktivitas belajar matematika. Selain itu istilah learning trajectory juga digunakan untuk serangkaian pembelajaran atau suatu lintasan belajar. Selanjutnya trajectory dari aktivitas untuk keseluruhan pembelajaran, berkisar seputar aktivitas belajar khusus yang mungkin hanya digunakan sebagai bagian dari pembelajaran matematika di kelas. Matematika sangat penting bagi keberhasilan anak dalam sekolah, di kelas dasar dan dalam pembelajaran masa depan, yaitu penting untuk memotivasi anak-anak, substansi pengalaman pendidikan. Lintasan belajar adalah alat yang ampuh untuk melibatkan semua anak dalam menciptakan dan memahami matematika.
Mengembangkan etnomatematika dalam nuansa learning trajectory (lintasan belajar) berarti menanamkan dan memanfaatkan nilai-nilai budaya secara kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan tahapan-tahapan belajar yang sesuai dengan perkembangan proses berpikir siswa, metode yang siswa pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang siswa tunjukkan. Dengan demikian diharapkan siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep matematika bermuatan budaya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengembangan etnomatematika berorientasi learning trajectory.

B.     Rumusan Permasalahan
Dari latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana makna pembelajaran etnomatematika dan learning trajectory?
2.      Bagaimanakah pengembangan etnomatematika berorientasi learning trajectory?
C.    Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penyusunan makalah ini yaitu:
1.      Mengetahui pembelajaran etnomatematika dan learning trajectory.
2.      Mengetahui pengembangan etnomatematika berorientasi learning trajectory


























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Etnomatematika
Etnomatematika adalah sebuah studi yang mengkaji hubungan antara matematika dan budaya. Matematika sebagai ilmu dasar pun berkembang di seluruh negara. Setiap negara mempunyai budaya (culture) yang berbeda sehingga perkembangan matematika pun berbeda-beda karena dipengaruhi oleh culture yang ada.
Study etnomatematika adalah suatu kajian yang meneliti cara sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis. Sebagaimana dikemukakan oleh Barton bahwa “Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from other cultures understand, articulate and use concepts and practices which are from their culture and which the researcher describes as mathematical” (Barton, 1994).
Ethnomatematics juga didefinisikan sebagai matematika yang digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat/budaya, seperti masarakat kota dan desa, kelompok-kelompok pekerja/buruh, golongan profesional, anak-anak pada usia tertentu, masyarakat pribumi, dan masih banyak kelompok lain yang dikenali dari sasaran/tujuan dan tradisi yang umum dari kelompok tersebut (D’Ambrosio, 2006). Selain itu, etnomatematika juga diartikan sebagai penelitian yang menghubungkan antara matematika atau pendidikan matematika dan hubungannya dengan bidang sosial dan latar belakang budaya, yaitu penelitian yang menunjukkan bagaimana matematika dihasilkan, ditransferkan, disebarkan, dan dikhususkan dalam berbagai macam sistem budaya (Zhang & Zhang, 2010), serta politik (Knijnik, 2002). Sistem budaya dan politik yang dimaksud tentunya bukan hanya sistem budaya dan politik yang berlaku di dalam masyarakat berpendidikan, tetapi juga menyangkut sistem budaya atau ide matematika dari masyarakat yang tidak atau belum melek huruf. Kajian ethomathematics  yang begitu luas, menyebabkan  ethnomathematics dianggap sebagai salah satu dari dua pusat pemikiran untuk memahami matematika (Wedege, 2010). Hal tersebut menimbulkan gagasan bahwa peranan  etnomatematika seharusnya memiliki pengaruh yang lebih luas dalam masyarakat dan pendidikan khususnya pendidikan matematika (Begg, 2001). Peranan tersebut sebenarnya sangat nyata sekali, tetapi hal terpenting adalah bagaimana usaha dan kerja keras kita untuk menampilkan konsep matematika yang ada dalam  etnomatematika  kedalam kegiatan pembelajaran, sehingga konsep tersebut dapat berhubungan secara langsung dengan budaya siswa dan dengan pengalamannya sehari-hari (Rosa & Orey, 2001). Jika kita dapat melakukannya, maka akan terciptalah sebuah pendekatan  etnomatematika dalam pembelajaran matematika dan diharapkan mampu membuat matematika di sekolah lebih relevan dan penuh makna bagi siswa dan kualitas pendidikannya.
Siswa yang menganggap bahwa matematika tidak relevan dan tidak bermakna bagi dirinya, salah satunya disebabkan karena siswa kesulitan mempelajari bahasa matematika yang tentunya tidak mudah untuk dipahami. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Meaney, Fairhill, & Trinick (2008), yang menyatakan bahwa ada kalanya kesulitan dalam mempelajari bahasa matematika menyebabkan ide tentang matematika yang dihantarkan dengan bahasa tersebut menimbulkan masalah. Oleh karena itu, pengembangan bahasa asli dalam menjelaskan matematika yang berasal dari barat membutuhkan perhatian. Penggunaan istilah matematika yang memiliki konotasi yang sama baik dilihat dari segi matematika dan budaya akan membantu  siswa kita dalam mempelajari matematika dengan lebih baik.
Menurut Francois (2012), perluasan penggunaan etnomatematika yang sesuai dengan keanekaragaman budaya siswa dan dengan praktik matematika dalam keseharian mereka membawa matematika lebih dekat dengan lingkungan siswa karena etnomatematika secara implisit merupakan program atau kegiatan yang menghantarkan nilai-nilai dalam matematika dan pendidikan matematika. D’Ambrosio (2007) menambahkan bahwa, penggunaan etnomatematika dalam kegiatan pembelajaran seharusnya dapat digunakan sebagai alat penyokong solidaritas dan kerjasama antar siswa. Selain itu, tujuan utama etnomatematika adalah membangun masyarakat yang bebas dari kebiadaban, arogansi, intoleransi, diskriminasi, ketidakadilan, kefanatikan, dan rasa kebencian, sehingga etnomatematika diharapkan dapat menumbuhkan perdamaian di antara umat manusia.
Pembahasan di atas membawa kita kedalam sebuah kesimpulan bahwa etnomatematika  penting untuk dikaji dan dipelajari. Begitu pentingnya kajian tentang etnomatematika  yang secara khusus disebutkan oleh D’Ambrosio (2006) sebagai program penelitian tentang sejarah dan filsafat matematika, dengan implikasi langsungnya untuk pembelajaran, membawa kita ke dalam pembahasan tiga bidang kajian tentang kajian dalam etnomatematika  yang tentuya tidak memandang bahwa kajian tentang sejarah cerita tradisional pada matematika tidak penting untuk dipelajari atau dibahas.
Secara praktis,  studi etnomatematika berarti melakukan dengan cara dua hal: (1) menginvestigasi aktivitas matematika yang terdapat dalam kelompok budaya tertentu; (2) mengungkap konsep matematis yang terdapat dalam aktivitas tersebut (Barton, 1994). Gerdes memaparkan perkembangan-perkembangan yang ada pada studi etnomatematika sebagai berikut (Alan, 1996).
1.      Para peneliti etnomatematika dalam penelitiannya menggunakan dan mengadopsi konsep umum matematika berupa menghitung, menempatkan, mengukur, merancang, memainkan, dan menjelaskan;
2.      Para peneliti etnomatematika telah mengkaji dan menganalisis pengaruh faktor sosial budaya dalam pengajaran, pembelajaran, dan pengembangan matematika;
3.      Para peneliti etnomatematika pada akhirnya berpendapat bahwa cara-cara dan kebenaran-kebenaran dalam matematika adalah hasil dari budaya mengembangkan bentuk matematikanya sendiri;
4.      Para peneliti etnomatematika berkeyakinan bahwa hal-hal yang dimasukkan dalam kurikulum matematika sekolah selama ini asing dari tradisi-tradisi dan budaya-budaya yang ada di Asia, Afrika, atau Amerika Selatan;
5.      Para peneliti etnomatematika juga memandang bahwa elemen lain dari budaya dan aktivitas-aktivitasnya adalah suatu hal yang dapat dijadikan sebagai titik awal untuk mengajarkan dan mengelaborasi matematika di dalam kelas (sekolah);
6.      Pada konteks pendidikan, para peneliti etnomatematika secara umum melihat bahwa sudut pandang sosial budaya dan interpretasi terhadap pendidikan matematika, keduanya, akan mampu mendorong siswa untuk sadar dan melakukan refleksi diri terhadap realita dimana mereka tinggal, dan memotivasi mereka untuk mengembangkan dan menggunakan matematika dalam cara-cara yang mungkin saja tidak diduga oleh para matematikawan sebelumnya.
Mengadopsi etnomatematika ke dalam kegiatan pembelajaran matematika merupakan sesuatu yang sangat mungkin dilakukan (Zhang & Zhang, 2010). Bahkan dapat pula etnomatematika dijadikan sebagai alternatif pembelajaran matematika (Owens, 2012). Kedua pendapat tersebut menjadi inspirasi bagi praktisi dalam dunia pendidikan matematika untuk mengaplikasikan  etnomatematika dalam kegiatan pembelajaran matematika.
Bonner (2010), melakukan kegiatan pembelajaran berbasis etnomatematika dengan subjeknya adalah para calon guru. Pembelajaran ini dilakukan dengan cara pengkonstruksian pengalaman bermakna baik di dalam maupun di luar kelas yang memfokuskan pada budaya. Kegiatan ini telah meningkatkan dan memperdalam pemahaman calon guru dalam pengajaran matematika dengan berbagai macam budaya. Selain itu, kegiatan seminar yang dilakukan Massarwe, Verner, & Bshouty (2012) menyimpulkan bahwa, pemahaman tentang geometri para siswa/peserta seminar meningkat dan mereka paham terhadap pentingnya aktivitas pembelajaran etnomatematika yang berhubungan dengan siswa dan budaya yang lain.
Kegiatan lain yang masih menggunakan calon guru sebagai subjek penelitiannya, menunjukkan bahwa etnomatematika telah memberi pengaruh terhadap pengembangan profesionalisme calon guru matematika (Katsap & Silverman, 2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa etnomatematika sangat penting dalam kegiatan pembelajaran bagi calon guru, baik kegiatan di kelas maupun kegiatan di lapangan. Calon guru pada saat di lapangan/sekolah dapat langsung mengaplikasikan apa yang telah mereka dapat dalam kegiatan pembelajaran dengan siswanya yang tentunya juga berasal dari berbagai macamlatar belakang budaya yang berbeda (DeKam, 2007).Berbedaan latar belakang budaya yang ada telah menginspirasi Duranczyk &Higbee dalam penelitiannya. Duranczyk & Higbee (2012), telah mengintegrasikandesain pembelajaran multi-budaya dan aplikasinya dalam berpikir matematissiswa. Kegiatan tersebut tentunya untuk  mengakomodasi peranan etnomatematika dalam pengajaran matematika. Hal yang perlu diingat adalah guru matematika harusmengetahui peranannya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, dan bukan sebagai sumber dan pengantar pengetahuan. Hal tersebut dapat  dilakukan dengan pemanfaatan pengetahuan siswa tentang etnomatematika di dalam pembelajaran danini akan mendorong pegembangan dasar pengatahuan konseptual siswa. Selain itu, kegiatan ini juga memungkinkan siswa mengembangkan perluasan strategi pemecahan masalah, sehingga membuat matematika menjadi pelajaran yang penuh arti dan reflektif (Matang, 2002).
Penelitian yang dilakukan Palomar, Simic, Varley (2007) menyoroti hubungan antara matematika dan kehidupan keseharian yang menekankan budaya, bahasa, dan dialog diantara siswa yang sedang belajar matematika. Hasil penelitian tersebutdiharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam pembelajaran matematika yang berbasis etnomatematika agar hasil belajar siswa meningkat. Menurut Achor, Imoko,   & Uloko (2009), hasil belajar dan daya ingat siswa yang diajarkan dengan pendekatan pembelajaran etnomatematika lebih tinggi dibandingkan hasil belajar dan daya ingatsiswa yang diajar dengan pendekatan konvensional. Siswa merasakan bahwa pembelajaran tersebut penuh makna, relevan, dan menyenangkan. Menurut Massarwe, Verner, & Bshouty (2010), siswa yang mereka ajar dengan etnomatematika  menunjukkan hal yang sama, yaitu mereka menganggap pembelajaran lebih bermakna dan menyenangkan. Materi dalam kegiatan pembelajaran tersebut adalah materi geometri. Siswa dalam kegiatan tersebut ditugasi untuk menganalisis dan mempraktikkan pembuatan ornamen dengan bimbingan guru. Selain kegiatan pembelajaran dengan praktik, Herron & Barta (2009),  menyarankan penggunaan pengejaran pemecahan masalah yang relevan dengan budaya sebagai alternatif dalam pembelajaran.
Berbagai alternatif memang bisa kita gunakan dalam kegiatan pembelajaran, tetapi yang lebih penting adalah kita harus memodifikasi secara produktif  pembelajaran agar memberi dampak yang bermanfaat dari reformasi pengajaran seperti kerja kelompok dan pembelajaran berbasis masalah (Staats, 2006).

B.     Learning Trajectory
1.      Konsep Learning Trajectory
Teori Piaget telah banyak berpengaruh terhadap desain pembelajaran. Pembelajaran yang berorientasi pada guru berubah menjadi berorientasi pada siswa. Hal ini berarti bahwa faktor siswa menjadi hal yang utama dan harus diperhatikan dalam membuat suatu desain pembelajaran. Sebagai contoh alur pembelajaran harus dirancang sesuai dengan alur belajar siswa (learning trajectory).
Istilah Learning Trajectory pertama kali digunakan oleh Simon yang mengajukan konsep tentang hypothetical learning trajectory. Learning trajectory yaitu lintasan atau rute belajar yang memberikan gambaran tentang pengetahuan prasyarat yang telah dimiliki siswa (sebagai titik start) dan setiap langkah dari satu titik ke titik berikutnya, menggambarkan proses berpikir yang siswa gunakan, metode yang siswa pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang siswa tunjukkan.
Learning trajectory  mengidentifikasi titik arah kunci di sepanjang jalan di mana pengetahuan dan keterampilan siswa cenderung tumbuh dan berkembang dalam mata pelajaran di sekolah. Dalam pendidikan matematika, progresi ini lebih sering diberi label learning trajectory. Learning trajectory didukung secara empiris hipotesis tentang tingkat atau titik arah pemikiran, pengetahuan, dan keterampilan dalam menggunakan pengetahuan, bahwa siswa cenderung untuk pergi melalui ketika mereka belajar matematika dan, satu harapan, mencapai atau melebihi tujuan bersama yang ditetapkan untuk belajar mereka.  Learning trajectory  melibatkan hipotesis kedua tentang urutan dan sifat langkah-langkah dalam pertumbuhan pemahaman matematika siswa, dan tentang sifat dari pengalaman pembelajaran yang mungkin mendukung mereka dalam bergerak langkah demi langkah menuju tujuan matematika sekolah.
Learning trajectory mengisyaratkan kita pada bentuk  refleksi guru dalam pembelajaran dan bagaimana guru memperbaiki pembelajaran agar dapat lebih bermakna bagi siswa yang sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan teaching trajectory merupakan bagaiamana guru membelajarkan dan  learning trajectory merupakan  praktik guru tentang teori-teori yang ada untuk menyesuaikan perkembangan fisik ataupun kognitif peserta didik.  
Learning trajectory  maupun teaching trajectory terdiri atas  bentuk material, formal, normatif dan spiritual. Learning trajectory dalam  bentuk material, wujudnya bentuk  berupa konteks dan konten dimana konteks bias berupa artefak (secara fisik), lingkungan berbasis budaya (misalnya ethnomathematic yaitu matematika berbasis budaya), dan sampai pada perangkat pembelajaran yang lain.  Bentuk formal learning trajectory dengan wujud berupa dokumen resmi yang mencakup UUD 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Kurikulum, Silabus, RPP, LKS dan sebagainya. Dalam bentuk normatif, dapat berupa buku, makalah ilmiah, penelitian, jurnal, sampai pengetahuan tentang filsafat  yang meliputi hakikat, metode, etik dan estetik. Dimana hakikat terdiri atas dua, yaitu wadah dan isi. Tiada wadah yang tidak mempunyai isi, sebaliknya tiada isi yang tidak ada wadahnya. Dalam bentuk spiritual, mulai dari  syariat, hakikat, dan makrifat. Jadi untuk mengetahui ciri cara berpikir seorang diri siswa, siswa sebagai warga negara, haknya memperoleh hak pendidikan, kesejahteraan, keselamatan, kecerdasan, dan sebagainya dengan dieksplor, diselidiki dan diteliti bagaimana kedudukan siswa dalam hakiketnya. Filsafat merentang dari lingkungan budaya Indonesia atau budaya Jawa secara filosofis mengenal tiga istilah Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani.
Perangkat Material digali dan dieksplor dalam bentuk filsafat, paradigma, atau teori sehingga konten  material/fenomena atau data/pengalaman siswa melalui penelitian, kemudian diolah melalui teori dan praktik. Melalui interaksi antara siswa dan guru dengan menggunakan teori-teori yang ada. Untuk menawarkan definisi kerja konsep learning trajectory  dalam matematika dan merefleksikan status intelektual konsep dan kegunaannya untuk kebijakan dan praktik. Ini mempertimbangkan potensi learning trajectory dan progresi untuk menginformasikan perkembangan dari penilaian yang lebih berguna dan mendukung praktik penilaian formatif yang lebih efektif, untuk menginformasikan  pemahaman siswa guru terus-menerus mendesain ulang standar isi matematika dan kinerja, dan untuk mendukung pembelajaran dengan cara yang dapat memperkuat kemampuan mereka untuk memberikan instruksi adaptif.
Konsep learning trajectory menawarkan salah satu pendekatan yang menjanjikan untuk mengembangkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mendefinisikan  yang siswa mungkin ada, atau harus ada pada proses belajar dapat menginformasikan guru tentang apa yang diharapkan dari peserta didik.
Guru berperan untuk memberikan fasilitas, kesempatan, ruang dan waktu kepada siswa agar siswa mampu membangun sendiri pengetahuannya sesuai dengan kebutuhan dan potensi peserta didik sehingga peserta didik tidak merasa dipaksa dan dapat berkembang lebih baik. Dalam teori Jean Piaget tentang perkembangan, bahwa siswa usia 7-11 tahun yaitu usia anak pada masa sekolah dasar yang masuk pada tahap operasional konkret. Dimana ciri anak pada tahap ini adalah mampu berpikir secara logis dan sistematis tentang simbol yang berkaitan dengan benda-benda konkrit. Guru seharusnya mampu  mengetahui dan mampu membangun kehidupannya sendiri. Guru dapat melakukan  untuk peserta didik pada tahap ini menurut Piaget adalah:
1.      Guru terus menggunakan alat peraga konkret dan alat bantu visual dalam Proses Belajar Mengajar.
2.      Guru terus memberikan peserta didik kesempatan untuk memanipulasi objek dan menguji ide-ide mereka sesuai apresepsi peserta didik, dengan memberikan kesempatan siswa  untuk mengklasifikasikan dan mengelompokan objek tentang ide-ide pada tingkatan yang semakin kompleks
3.      Guru dapat juga menggunakan matematika realistik untuk membelajarkan siswa melalui lingkungannya.
4.      Guru dapat menggunakan contoh yang dekat dengan kehidupan siswa untuk membantu menjelaskan ide-ide yang lebih kompleks sehingga siswa akan memiliki titik awal untuk asimilasi informasi baru
5.      Guru menyajikan masalah yang membutuhkan pemikiran logis serta membutuhkan pemikiran analitis bagi siswa untuk memecahkannya permasalahan.
Pembelajaran terjadi dan membangun dari waktu ke waktu, dan instruksi yang harus memperhitungkan apa yang telah terjadi sebelumnya dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dengan berfokus pada identifikasi kelompok yang signifikan dan mengenali konsep dan koneksi dalam berpikir siswa yang mewakili langkah kunci ke depan, learning trajectory menawarkan dasar yang lebih kuat untuk menggambarkan tujuan sementara.
Konsep-konsep atau teori yang ada (Piaget, Connectivism, Vygotsky, Kontruksional Sosial) menyebut bahwa belajar dan pengetahuan berada dalam jaringan.  Pada dasarnya kegiatan peserta didik dalam  Proses Belajar Mengajar melalui interaksi, kegiatan sosial dan pembelajaran kolaboratif dapat terjadi.  Sesuai keinginan pemerintah kita untuk menerapkan kurikulum 2013 dimana pembelajaran yang dilakukan melalui tema-tema dan pendekatan yang digunakan adalah saintifik, dimana anak diharapkan untuk menemukan sendiri dan membangun sendiri pengetahuannya sehingga menjadi lebih bermakna dengan ini guru berperan hanya sebagai fasilitator dan motivator.

2.      Membangun Teori Learning Trajectory
Sebagai manusia dan guru kita memiliki keterbatasan terhadap ruang dan waktu. Selain itu kita harus sopan dan santun serta menyesuaikan diri terhadap ruang dan waktu. Dalam konsep jawa, dalam hidup perlu mencari keseimbangan. Itu bagian dari mengerti diri sendiri, sebelum kita mengerti siapa siswa.  Kita perlu mengerti batasan  dalam mengembangkan potensi yang kita miliki. Siswa juga manusia yang memiliki keterbatasan. Hakikatnya siswa adalah anak yang bisa berbuat salah atau keliru karena memang anak masih dalam tahap belajar. Sebagai guru kita diharapkan mengetahui dan memahami karakteristik siswa. Learning trajectory (lintasan belajar) sangat berguna bagi guru, khususnya dalam hal menjawab berbagai pembelajaran yang akan dicapai? bagaimana memulainya? bagaimana langkah-langkah yang akan dilakukan? bagaimana cara mencapai tujuan tersebut? dan seterusnya. Guru harus mau meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya agar dapat memberi harapan bagi peningkatan kualitas pembelajaran. Guru harus melakukan perubahan tentang cara membelajarkan siswa melalui aktivitas yang sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya.
Ada empat dimensi Learning trajectory, yaitu: Sprititual, Normatif, Formal dan Material. Aspek spiritual merupakan aspek tertinggi dari pembelajaran learning trajectory.
a.       Aspek Spiritual
Aspek spiritual pada learning trajectory meliputi Ma`rifat, hakikat dan syariat. Aspek syariat menuju pada  hakikat dan makrifat. Sebagai manusiadan guru kita diharapkan selalu menjaga hubungan dengan sesama manusia dan dengan sang pencipta, yaitu Allah SWT. Pengetahuan yang kita miliki, akan lebih bermanfaat jika kita bagi kepada orang lain. Sehingga sudah seharusnya sebagai guru, kita membagi ilmu yang kita miliki kepada siswa kita sendiri.
b.      Aspek Normatif
Filsafat merupakan dasar dari aspek normatif pada learning trajectory yang meliputi buku, makalah, hasil penelitian, jurnal, blog, web dan sumber referensi lainnya.  Dengan banyak membaca kita bisa memahami pola pikir kita sendiri. Karena pada prinsipnya aspek normatif adalah filsafat atau pikiran kita sendiri. Yang meliputi hakikat, metode, etik dan estetika. Dalam hakikat filsafat terdapat wadah dan isi. Tiada wadah tanpa isi, tiada isi tanpa wadah. Untuk mengetahui cara berpikir siswa, kita perlu mengetahui hak siswa dalam pembelajaran itu sendiri.  Kita selidiki bagaimana kedudukan siswa dalam pembelajaran. Dalam hakikat filsafat dalam lingkungan budaya indonesia, muncul filosofi ajaran ing ngaso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Dan falsafah tersebut sampai sekarang menjadi pedoman dalam pembelajaran di sekolah. Dalam wadah, terdapat syntak, hierarki (jenjang) pendidikan itu sendiri. Didalam isi, terdapat kategori dapat kita sebut sebagai pengetahuan yang berasal dari teori dan paradigma. Agar kita mendapatkan pengetahuan tersebut kita harus membaca referensi yang ada.
c.       Aspek formal
Aspek formal berupa dokumen resmi berupa peraturan di negara kita yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang, peraturan presiden, peraturan menteri, sampai pada kurikulum, silabus, RPP, LKS dan penilaian (Asessmen). Pada aspek formal ini mencakup perangkat pembelajaran berupa Kurikulum dan penilaian yang harus kita kembangkan sesuai dengan kebutuhan siswa dengan menyesuaikan lingkungan di sekitar sekolah. Sesuai teori Paul Ernest, bahwa pembelajaran apa saja itu tergantung pada lokasi atau tempat berlangsungnya pendidikan itu sendiri. Dalam pembelajaran guru diharuskan memahami dan menguasai teori dan praktik pembelajaran, untuk kita perlu belajar dari berbagai referensi pembelajaran, salah satunya melalui melihat video pembelajaran. Dengan melihat video pembelajaran secara tidak langsung kita bisa mengambil manfaat dari media ataupun metode pembelajaran yang digunakan. Manfaat tersebut bisa kita terapkan pada pembelajaran yang akan kita laksanakan tentunya disesuaikan dengan kondisi sekolah dan siswa kita agar kita bisa membangun konsep awal siswa karena setiap siswa itu memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga kita perlu menguasai berbagai teori pembelajaran dengan  membaca referensi, lalu menghubungkannya satu sama lain, sehingga diperoleh bangunan hermeneutika trajectory.
d.      Aspek Material
Aspek material dalam bentuk sebagai konteks dan konten yang meliputi, fisik,  lingkungan atau budaya, sampai pada perangkat pembelajaran yang lain. Sebagai guru, kita bisa menggali sumber pembelajaran yang berasal dari lingkungan dan budaya setempat, pengalaman siswa, data-data yang ada serta fenomena yang sedang terjadi saat ini. Yang bisa kita jadikan sebuah penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dan memecahkan masalah yang muncul dari adanya fenomena dan pengalaman siswa sebagai peserta didik. Dengan belajar dari lingkungan, guru bisa membantu mengembangkan kreatifitas siswa. Siswa bisa membangun dan mengembangkan pengetahuannya sendiri dengan bantuan media pembelajaran.  Karena pada learning trajectory, siswa merupakan fokus pembelajaran itu sendiri. Sedangkan untuk guru, dinamakan teaching trajectory. Teaching Trajectory, yaitu tentang bagaimana cara guru membelajarkan siswa dalam proses belajar mengajar.
Keempat aspek di atas sebagai landasan untuk membangun dan mengembangkan  hermeneutika learning trajectory. Hermeneutika Learning trajectory bermula dari diri kita sendiri. Dalam setiap hermeneutika learning trajectory  memiliki titik-titik, yang bisa dibagi-bagi untuk  membangun hidup, meliputi rutinitas dalam hidup (fatal), sadar akan ruang dan waktu dan membangun hidup (vital). Sadarakan ruang dan waktu di sini kita sebagai guru selalu mengikuti perkembangan jaman termasuk dalam hal pengetahuan perkembangan metode pembelajaran. Pada tiap titik dalam hermeneutika juga mengandung tiga unsur dan begitu seterusnya sehingga terbentuk Hermenutika Learning Trajectory.
Anak-anak di sekolah, mengikuti suatu pola tingkatan alamiah ketika mereka belajar maupun dalam proses perkembangannya. Sebagai contoh, pada awalnya mereka belajar merangkak, berjalan, lalu berlari, dan melompat dengan kecepatan dan kecekatan yang terus meningkat seiring dengan perkembangan fisiknya. Begitu pula ketika mereka belajar. Dalam belajar matematika misalnya, mereka juga mengikuti suatu pola tingkatan alamiah, yakni belajar kemampuan-kemampuan dan ide-ide matematika dengan cara mereka sendiri. Ketika para guru memahami pola tingkatan alamiah tersebut, serta aktivitas-aktivitas yang tersusun di dalamnya, maka mereka telah membangun suatu lingkungan belajar matematika yang tepat dan efektif. Pola tingkatan alamiah tersebut merupakan dasar dalam membuat learning trajectories atau lintasan belajar. Learning Trajectory mempunyai tiga bagian penting yakni: tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, lintasan perkembangan yang akan dikembangkan oleh anak atau siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran, dan seperangkat kegiatan pembelajaran ataupun tugas-tugas, yang sesuai dengan tingkatan berpikir yang ada pada lintasan perkembangan yang akan membantu anak tersebut dalam mengembangkan proses berpikirnya bahkan sampai pada proses berpikir tingkat tinggi.
Bagian pertama dari sebuah lintasan belajar adalah tujuan pembelajaran matematika. Tujuan pembelajaran seorang guru merupakan pengelompokan konsep-konsep dan kemampuan-kemampuan yang merupakan hal yang pokok dan saling berhubungan, konsisten dengan pemikiran siswa, serta berguna dalam pembelajaran berikutnya. Bagian kedua dari lintasan belajar terdiri dari tingkatan-tingkatan berpikir, mulai dari yang mudah sampai yang rumit, untuk membawa siswa agar dapat mencapai tujuan pembelajaranyang telah ditetapkan. Progres perkembangan yang dibuat oleh guru menggambarkan sebuah lintasan yang akan diikuti oleh anak atau siswa dalam mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka tentang suatu topik. Perkembangan kemampuan seseorang dimulai sejak mereka hidup di dunia. Sebagai contoh sebagaimana yang kita lihat, anak-anak mempunyai suatu kompetensi yang mirip dengan kompetensi matematika dalam hal bilangan, indera spasial, dan pola atau bentuk dari sejak lahir. Namun, ide dan interpretasi anak-anak tentang suatu situasi atau kondisi merupakan sesuatu yang unik dan berbeda dengan ide dan interpretasi yang dimiliki oleh orang dewasa. Oleh karena itu, seorang guru yang baik akan sangat berhati-hati dengan tidak mengasumsikan bahwa anak-anak “melihat” situasi, masalah ataupun penyelesaian dari masalah tersebut sebagaimana orang dewasa melihatnya. Melainkan, guru yang baik adalah guru yang mampu menginterpretasi apa yang sedang dilakukan dan dipikirkan oleh anak didiknya dan berusaha melihat permasalahan tersebut dari sudut pandang anak didik tersebut. Sama halnya ketika guru tersebut berinteraksi dengan siswa, dia juga mempertimbangkan tugas-tugas pembelajaran serta tindakan yang ia lakukan dari sudut pandang siswa. Hal ini membuat pembelajaran di sekolah dasar, menantang sekaligus memberi kebanggaan tersendiri.
Bagian ketiga dari lintasan belajar terdiri dari sekumpulan tugas-tugas pembelajaran yang bersesuaian dengan tingkat berpikir siswa yang ada dalam lintasan perkembangan yang telah dibuat. Tugas-tugas tersebut disusun untuk membantu siswa belajar tentang ide-ide dan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tingkatan berpikir. Oleh karena itu, sebagai seorang guru, kita dapat menggunakan tugas-tugas tersebut untuk mendorong perkembangan berpikir siswa dari satu level ke level berikutnya.
Sebagai kesimpulan, lintasan belajar menggambarkan tujuan pembelajaran, proses belajar dan berpikir anak pada berbagai macam level, dan aktivitas pembelajaran yang mungkin menarik bagi mereka. Peran guru adalah bagaimana memberi fasilitas, kesempatan ruang dan waktu kepada siswa, agar siswa bisa membangun. Maka akan tercipta hermeneutika learning trajectory. Learning Trajectory merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana siswa belajar serta bagaimana siswa berpikir yang diaplikasikan dalam Teaching Trajectory tentang bagaimana guru menyelenggarakan proses belajar mengajar. Dalam mengembangkan teaching trajectory dapat dilakukan dengan membentuk team teaching. Dimana dalam team teaching ini bisa saling mengobservasi atau melakukan Lesson Study untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan metode dan media yang digunakan.

3.      Referensi Mathematical Learning Trajectory
Lintasan belajar matematika diajukan oleh Sarama&Clements (2009) pada pembelajaran konsep pengukuran panjang yang dirancang dari penelitian berbasis teori yang telah dikembangkan dari teori belajar Piaget dan Vygotsky. Sarama&Clements (2009) menyatakan bahwa Mathematichal Learning Trajectory terdiri dari tiga bagian:
Math learning trajectories have three parts: a mathematical goal,a developmental path along which children’s math knowledge grows to reach that goal, and a set of instructional tasks, or activities, for each level of children’s understanding along that path to help them become proficient in that level before moving on to the next level.

Lintasan belajar matematika   mempunyai tiga bagian penting yakni: tujuan pembelajaran matematika yang ingin dicapai, lintasan perkembangan yang akan dikembangkan oleh siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran, dan seperangkat kegiatan pembelajaran ataupun tugas-tugas, yang sesuai dengan tingkatan berpikir pada lintasan perkembangan yang akan membantu anak dalam mengembangkan proses berpikirnya bahkan sampai pada proses berpikir tingkat tinggi.
a.       Goals
Bagian pertama dari lintasan belajar adalah Goals yaitu tujuan pembelajaran matematika. Tujuan pembelajaran merupakan The Big Ideas of Mathematics yakni pengelompokan konsep-konsep dan kemampuan-kemampuan yang secara matematis merupakan hal yang pokok dan saling berhubungan, konsisten dengan pemikiran siswa, serta berguna dalam pembelajaran berikutnya. Tujuan harus mencakup ide-ide besar matematika, seperti "bilangan yang dapat digunakan untuk menunjukkan berapa banyak, menggambarkan urutan, dan mengukur" dan "geometri dapat digunakan untuk memahami dan mewakili benda, arah, dan lokasi di dunia, dan hubungan antara mereka"(Clements&Sarama, 2009).
b.      Development Path
Bagian kedua dari lintasan belajar terdiri dari tingkat pemikiran, masing-masing lebih canggih dari yang terakhir, yang mengarah untuk mencapai tujuan matematika. Artinya, lintasan perkembangan menggambarkan rute belajar anak yang khusus mengikuti pemahaman pengembangan dan keterampilan dalam topik matematika tertentu. Lintasan belajar penting karena ide-ide anak-anak dan interpretasi mereka tentang suatu situasi yang berbeda dengan orang dewasa. Guru harus menafsirkan apa yang anak lakukan dan berpikir dan berusaha untuk melihat situasi dari sudut pandang anak. Pengetahuan lintasan perkembangan meningkatkan pemahaman guru tentang pemikiran anak-anak, guru membantu menilai tingkat pemahaman anak-anak dan menawarkan kegiatan pembelajaran pada tingkat itu. Demikian pula, guru secara efektif mempertimbangkan tugas instruksional dari sudut pandang anak.
Sarama & Clements (2009) menjelaskan bagian kedua learning trajectories sebagai berikut:
The second part of a learning trajectory consists of levels  of thinking; each more sophisticated than the last, which lead to achieving the mathematical goal. That is, the developmental progression describes a typical path children follow in developing understanding and skill about that mathematical topic. Development of mathematics abilities begins when life begins. Young children have certain mathematical-like competencies in number, spatialsense, and patterns from birth.

Bagian kedua dari lintasan belajar terdiri dari tingkatan-tingkatan berpikir,mulai dari yang mudah sampai yang rumit, untuk membawa siswa agar dapat mencapai tujuan pembelajaran matematika yang telah ditetapkan. Kemajuan perkembangan yang dibuat guru menggambarkan sebuah lintasan tertentu yang akandiikuti oleh siswa dalam mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka tentang suatu topik matematika.
Perkembangan kemampuan matematika seseorang dimulai sejak mereka hidup di dunia. Anak-anak memiliki kompetensi yang mirip dengan kompetensi matematika dalam hal bilangan, indera spasial, dan pola atau bentuk dari sejak lahir. Namun, ide dan interpretasi anak-anak tentang suatu situasi atau kondisi merupakan sesuatu yang unik dan berbeda dengan ide dan interpretasi yang dimiliki oleh orang dewasa. Oleh karena itu, seorang guru yang baik akan sangat berhati-hati dengan tidak mengasumsikan bahwa anak-anak “melihat” situasi, masalah ataupun penyelesaian dari masalah tersebut sebagaimana orang dewasa melihatnya.Melainkan, guru yang baik adalah guru yang mampu menginterpretasi apa yang sedang dilakukan dan dipikirkan oleh anak didiknya dan berusaha melihat permasalahan tersebut dari sudut pandang anak didik tersebut. Sama halnya ketika guru tersebut berinteraksi dengan siswa, dia juga mempertimbangkan tugas-tugas pembelajaran serta tindakan yang ia lakukan dari sudut pandang siswa.
c.       Instructional Task
Bagian ketiga dari lintasan belajar terdiri dari set tugas instruksional atau kegiatan yang cocok untuk setiap tingkat berpikir dalam perkembangan perkembangan. Tugas ini dirancang untuk membantu anak-anak belajar ide-ide dan mempraktekkan keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tingkatan berpikir. Oleh karena itu guru dapat menggunakan tugas instruksional tersebut guna mendorong perkembangan berpikir siswa dari satu level ke level berikutnya. Sebagaimana dijelaskan dan Sarama & Clements (2009) sebagai berikut:
The third part of a learning trajectory consists of set of instructional tasks, matched to each of the levels of thinking in the developmental progression. These tasks are designed to help children learn the ideas and skills needed to achieve that level of thinking. That is, as teachers, we can use these tasks to promote children's growth from one level to the next.
Penelitian Sarama & Clements (2009) menghasilkan tiga temuan penting:
1)      Learning substantial math is critical for primary grade children.
2)      All children have the potential to learn challenging and interesting math.
3)      Understanding children’s mathematical development helps teachers be knowledgeable andeffective in teaching math.

Dari hasil penelitiannya, Sarama dan Clements memberikan saran pendekatan pengajaran di kelas awal sebagai berikut:
1)      Mengetahui dan menggunakan lintasan belajar.
2)      Menyertakan berbagai kegiatan pembelajaran.
3)      Lintasan belajar memberikan panduan untuk kegiatan yang cenderung menantang anak-anak untuk menciptakan strategi barudan membangun pengetahuan baru.
4)      Menggunakan kombinasi strategi pengajaran.
5)      Salah satu pendekatan yang efektif adalah (a) mendiskusikan masalah dengan kelompok, (b) menindaklanjuti dengan bekerja berpasangan, dan kemudian (c) mengharuskan anak-anak berbagi strategi penyelesaian dengan kelompoknya semula. Diskusikan strategi dengan anak-anak secara berpasangan dan individual. Membedakan instruksi dengan memberi kelompok atau individu jenis masalah yang berbeda.

4.      Hypothetical Learning Trajectory (HLT)
Hypothetical Learning Trajectory (HLT) merupakan suatu instrumen yang menjadi  panduan pada proses pelaksanaan penelitian design research, sebagai perluasan dari percobaan pikiran (tought experiment) yang dikembangkan oleh Freudenthal.
Simon (dalam Bakker, 2004) mendefinisikan HLT sebagai berikut:
The hypothetical learning trajectory is made up of three components: the learning goal that defines the direction, the learning activities, and the hypothetical learning process a prediction of how the students’ thinking and understanding will evolve in the context of the learning activities (p. 136). (HTL terdiri dari tiga komponen : tujuan pembelajaran yang mendefinisikan arah (tujuan pembelajaran), kegiatan belajar, dan hipotesis proses belajar untuk memprediksi bagaimana pikiran dan pemahaman siswa akan berkembang dalam konteks kegiatan belajar).
Sejalan dengan pendapat Simon, menurut Chuang-Yih Chen dalam “A Hypothetical Learning Trajectory of Arguing Statements About Geometric Figures”: “The learning trajectory is made up of three components: the learning goals, the learning activities, and the hypothetical learning process“. Menurut Chuang-Yih Chen alur belajar terdiri atas tiga komponen yaitu tujuantujuan belajar (the learning goals), aktivitas belajar (the learning activities) dan proses belajar hipotetik (hypothetical learning process). Chuang, menerapkan alur belajar dalam pemecahan masalah dan lebih melihat alur belajar sebagai barisan aktivitas atau proses.
HLT digunakan sebagai bagian dari apa yang disebut siklus mengajar matematika (mathematical learning cycle) untuk satu atau dua pembelajaran, atau bahkan untuk lebih dari dua pembelajaran. HLT dapat menghubungkan antara teori pembelajaran (instructional theory) dan percobaan pembelajaran secara konkrit. HLT digunakan untuk membimbing proses percobaan pembelajaran agar sesuai dengan spesifikasi materi dan hipotesis pembelajaran yang sudah ditentukan dalam bentuk HLT.
HLT berperan pada setiap tahapan design research, berikut ini adalah peran dan posisi HLT dalam setiap tahapan design research (Bakker, 2004).
1.      Tahap Preparation and design : pada tahap ini, HLT dirancang untuk membimbing proses perancangan bahan pembelajaran yang akan dikembangkan dan diadaptasi. Konprontasi antara pemikiran umum dengan kegiatan konkrit sering mengarah pada HLT yang lebih spesifik. HLT dirancang selama tahap preparation and design.
2.      Tahap Design Experiment : Selama percobaan pembelajaran, HLT berfungsi sebagai pembimbing (guideline) untuk guru dan peneliti apa yang akan difokuskan dalam proses pembelajaran, wawancara dan observasi. Peneliti dan guru perlu menyesuaikan HLT dengan kegiatan pembelajaran untuk pertemuan pembelajaran. Dengan HLT, proses penelitian dan pengembangan bisa lebih efisien. Perubahan dalam HLT biasanya dipengaruhi oleh kejadian di kelas yang belum dapat diantisipasi, strategi yang belum terlaksana, serta kegiatan yang terlalu sulit untuk dilaksanakan. Perubahan HLT dilakukan untuk menghasilkan kondisi yang optimal dan merupakan bagian dari data yang akan dianalisis. Perubahan HLT harus dilaporkan untuk mendukung proses pembentukan teori. HLT dapat berubah selama tahap teaching experiment.
3.      Tahap Restrospective Analysis : Pada tahap ini, HLT berperan sebagai petunjuk dalam menentukan fokus analisis bagi peneliti. Karena prediksi dibuat berkaitan proses belajar siswa, maka peneliti dapat membandingkan antisipasi dari prediksi melalui observasi selama percobaan pembelajaran (teaching experiment). Analisis seperti ini, menyangkut saling mempengaruhi antara HLT dan dan pengamatan empiris dapat menjadi dasar pembentukan teori. Setelah tahap ini, HLT diformulasikan kembali berdasarkan hasil temuan observasi dan analisis yang dilakukan. HLT yang baru akan menjadi petunjuk pada tahap rancangan (design phase) berikutnya. Dengan begitu, HLT merupakan bentuk konkrit atau pengkonkritan teori pembelajaran. Sebaliknya, teori pembelajaran dibentuk dari pengembangan HLT.
Ada tiga komponen utama dari HLT, yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan hipotesis proses belajar siswa. Tujuan pembelajaran sebagai komponen pertama mengindikasikan perlunya perumusan tujuan pembelajaran sebagai bentuk hasil yang akan kita tuju atau capai setelah proses pembelajaran. Penentuan tujuan pembelajaran sangat bermanfaat dalam penentuan arah dan strategi pembelajaran yang akan digunakan. Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan maka kegiatan pembelajaran sebagai jalan untuk mencapai tujuan pembelajaran bisa dirancang. Kegiatan dalam pembelajaran dapat disusun menjadi sub-sub kegiatan dengan sub-sub tujuan pembelajaran. Komponen terakhir dari learning trajectory adalah hipotesis proses belajar siswa yang berguna untuk merancang tindakan ataupun alternatif strategi untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin dihadapi siswa dalam proses pembelajaran. Learning trajectory atau bagaimana cara anak-anak berpikir ketika mereka belajar untuk mencapai tujuan spesifik dari proses pembelajaran, melalui serangkaian tugas-tugas instruksional yang dirancang untuk menimbulkan proses-proses mental atau tindakan yang dihipotesiskan untuk memindahkan anak-anak melalui pengembangan perkembangan berfikir anak.
Dapat disimpulkan lintasan belajar menggambarkan tujuan pembelajaran, proses belajar dan berpikir anak pada berbagai tingkatan, dan aktivitas pembelajaran yang mungkin menarik bagi siswa.
Sesuai refleksi dari perkuliahan dengan Prof. Dr. Marsigit, M.A., dalam membangun learning trajectory sudah semestinya seorang guru harus bisa menyesuaikan dengan keadaan. Secara filsafat seorang guru harus bisa menyesuaikan ruang dan waktu. Untuk dapat mencapai hal tersebut seorang guru tidak boleh untuk merasa puas dengan pengetahuan yang dmilikinya. Seorang guru harus selalu belajar. Bukan hanya belajar saja tetapi juga harus senantiasa tawakal, tekun, rajin, dan sabar.
Guru harus mengetahui dan memahami perangkat pembelajaran yang berupa UUD 1945, UU, PP, kurikulum, silabus, RPP, LKS, dll. Namun seorang guru tidak hanya berpedoman pada perangkat pembelajaran saja. Guru yang hanya berpedoman hal tersebut sama halnya dengan tukang. Guru yang baik harus mengetahui setiap tingkatan di atasnya yaitu sesuatu yang akuntabel. Agar guru dapat dipercaya maka harus mau untuk membaca berbagai referensi yang bersumber dari buku, internet, dsb.
Guru juga harus mengetahui mengenai teori-teori belajar. Dari teori-teori belajar tersebut guru dapat memprediksi alur belajar siswa. Dari hal tersebut guru dapat membangun learning trajectory. Melalui pengetahuannya akan berbagai macam teori maka seorang guru dapat memilih pendekatan yang tepat dalam proses pembelajaran.
Teaching trajectory berkaitan dengan bagaimana cara mengajar kepada siswa. Oleh karena itu membangun learning trajectory dan menerapkannya dalam teaching trajectory akan memaksimalkan kemampuan berpikir siswa. Hal tersebut hanya akan dapat dicapai oleh guru profesional. Guru yang berkompeten akan selalu mencari inovasi-inovasi pembelajaran yang berguna untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga dapat membentuk siswa yang memiliki karakter baik seperti bertakwa, mandiri, dan cendekia sehingga dapat bertahan oleh gempuran faham-faham yang melunturkan kebudayaan bangsa.

5.      Manfaat Learning Trajectory (lintasan belajar)
Soedjadi (2007: 31) memberikan sebuah ilustrasi menarik tentang lintasan belajar (learning trajectory) seperti pada gambar berikut ini:

Gambar 1. Sebuah Ilustrasi tentang Alur Belajar
Lebih lanjut Soedjadi (2007: 31) menjelaskan bahwa secara umum perkembangan kemampuan kognitif anak mulai dengan hal yang konkret secara bertahap mengarah ke hal yang abstrak. Bagi setiap anak perjalanan dari konkret ke abstrak dapat saja berbeda. Ada yang cepat dan ada yang lamban sekali. Bagi yang cepat mungkin tidak memerlukan banyak tahapan, tetapi bagi yang tidak cepat, tidak mustahil perlu melalui banyak tahapan. Dengan demikian bagi setiap anak mungkin saja memerlukan learning trajectory atau alur belajar yang berbeda.
Alur belajar hipotetik adalah suatu dugaan tentang rangkaian aktivitas yang dilalui anak dalam mememecahkan suatu masalah atau memahami suatu konsep. Sedangkan lintasan belajar adalah suatu rangkaian aktivitas yang secara aktual dilalui anak dalam memecahkan suatu masalah atau memahami suatu konsep. Dalam mengungkap lintasan belajar maka terlebih dahulu dirumuskan lintasan belajar hipotesis Dalam pelaksanaan/uji coba lintasan belajar hipotetik mungkin mengalami beberapa perubahan atau perbaikan. Lintasan yang diperoleh berdasarkan beberapa revisi tersebut itulah yang disebut dengan lintasan belajar. Jadi alur belajar yang merupakan hasil revisi terhadap alur belajar hipotetik berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat pembelajaran berlangsung.
Seperti telah disampaikan di atas bahwa lintasan belajar adalah suatu istilah diambil dari Simon (1995). Mula-mula, Simon menggunakan lintasan belajar yang hipotetis untuk merancang dan merencanakan siklus-siklus pengajaran pendek, yang meliputi satu atau dua kali pembelajaran. Menurut Bakker (2003) lintasan belajar hipotetik lebih dekat dengan konsep pembelajaran lokal yang dikemukakan oleh Gravemeijer, ataupun penafsiran lintasan belajar hipotetik (HLT) adalah dekat dengan konsep skenario seperti yang digunakan oleh Klaassen (1995).
Dalam setiap siklus penelitian desain secara makro, kita dapat membagi dalam tiga tahap yaitu tahap desain awal, tahap eksperimen dan tahap analisis retrospeksi (retrospective analysis). Pada tahap desain awal termasuk di dalamnya menghubungkan antara dua bagian utama yaitu, pengembangan suatu lintasan belajar hipotetik dan desain aktivitas belajar. Jadi merumuskan atau mengembangkan sebuah lintasan belajar hipotetik merupakan langkah pertama dalam sebuah siklus penelitian. Dikatakan lintasan belajar hipotetik kerena bersifat individual dan selalu dapat dirubah.
Sebuah lintasan belajar memberikan petunjuk bagi guru untuk menentukan dan merumuskan tujuan-tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Selanjutnya guru dapat membuat keputusan-keputusan tentang langkah-langkah strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Sebelum menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pembelajaran atau pemecahan masalah, guru seharusnya memiliki terlebih dahulu informasi tentang pengetahuan prasyarat, strategi berpikir yang digunakan anak, level berpikir yang mereka tunjukkan dan bagaimana variasi aktivitas yang dapat menolong mereka mengembangkan pemikiran yang dibutukan untuk tujuannya tersebut. Semuanya termuat dalam lintasan belajar hipotesis.
Informasi-informasi itu dapat diperoleh melalui observasi, pre-tes, atau penilaian lain. Berdasarkan observasi, penilaian, dan informasi lain yang telah dikumpulkan, guru dapat mengetahui alur belajar ataupun tingkat berpikir yang dimiliki anak saat itu. Dengan mengetahui level dan alur pikir yang dimiliki anak, dalam proses pembelajaran kita dapat mengetahui mana yang harus didahulukan dalam proses pengembangannya. Alur belajar memberikan suatu kerangka kerja bagi guru untuk mengembangkan pengetahuan tentang berpikir dan belajar peserta didik. Selanjutnya pengetahuan tentang berpikir dan belajar peserta didik dapat digunakan untuk merencanakan pembelajaran.
Memformulasikan suatu alur belajar hipotetik dapat didasarkan pada salah satu jenis sumber seperti: konjektur tanpa data empirik, eksperimen atau pengalaman mengajar, pretes dan postes, interview atau protokol tertulis dari beberapa pertanyaan, analisis tugas terstruktur dan seterusnya (Chuang-Yih Chen, 2002: 10). Dalam proses memformulasikan lintasan belajar hipotetik, tujuan belajar (learning goals) dapat diuraikan dalam sub-sub tujuan (subgoals), sedangkan proses belajar disusun berdasarkan data empirik. Jika tujuan belajar (learning goals) dapat dikorelasikan dengan proses belajar akan mempermudah seorang guru dalam menyusun kerangka kerja untuk mendesain pembelajaran dan penilaian.
Berikut ini adalah sebuah siklus pembelajaran yang memuat alur belajar yang dikonstruk oleh guru untuk perencanaan pembelajaran yang mengacu pada: (a) tujuan belajar, (b) pengaturan pembelajaran dan aktivitas, dan (c) proses belajar yang mungkin untuk melibatkan peserta didik secara aktif.


Gambar 2. Siklus pembelajaran matematika menurut Simon, (dalam Leikin R & Dinu S., 2002:18)

Untuk mengetahui hubungan antara lintasan belajar dengan lintasan belajar hipotetik, sebuah ilustrasi menarik dapat disimak pada uraian berikut ini. Simon (dalam Leikin R & Dinu S., 2002: 19) memberikan ilustrasi bahwa pada awalnya seseorang mungkin merencanakan pelayaran atau perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain. Mungkin keseluruhan atau hanya sebagian saja. Orang tersebut memperkenalkan pelayaran menurut rencananya. Dalam pelayaran, ia harus secara konstan melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang ditemui. Oleh karena itu ia terus menerus berusaha untuk memperoleh pengetahuan tentang pelayaran, tentang kondisi-kondisi yang ada, dan tentang wilayah-wilayah yang ingin ia kunjungi. Berdasarkan hal tersebut mungkin ia mengubah rencana berkenaan dengan tujuan-tujuan perjalanan. Ia memodifikasi sifat dan panjangnya atau rute perlajanan sebagai hasil interaksi-interaksi dengan orang-orang yang ditemui sepanjang perjalanan. Ia menambahkan tujuan-tujuan baru yang sebelum perjalanan tidak dikenal. lintasan yang secara aktual dilalui itulah yang disebut dengan lintasan perjalanan. Lintasan yang dirubah pada titik tertentu dalam perjalanan itulah yang disebut disebut lintasan yang hipotetik.
Berdasarkan ilustrasi yang digambarkan oleh Simon bahwa lintasan belajar memberikan gambaran secara utuh tentang apa yang terjadi atau yang kita temui, daerah yang kita singgahi sepanjang perjalanan. Dengan demikian dalam pemecahan masalah sebuah lintasan belajar akan memberikan gambaran tentang pengetahuan prasyarat yang telah dimiliki peserta didik (sebagai titik start) dan setiap langkah dari satu titik ke titik berikutnya menggambarkan proses berpikir yang mereka gunakan, metode yang mereka pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang mereka tunjukkan.

6.      Perangkat pembelajaran yang berbasis Learning Trajectory
Learning Trajectory diaplikasikan pada perangkat pembelajaran yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran (Teaching Trajectory). Namun para guru masih banyak yang masih tradisional dimana guru membuat perangkat pembelajaran yang masih bersifat tradisional. Guru masih egois karena tidak memperhatikan kebutuhan, kesiapan, dan tahap perkembangan berpikir siswa dalam membuat dan mengaplikasikan perangkat pembelajarannya.
 Perangkat pembelajaran yang dibuat oleh guru tradisional belum berbasis Learning Trajectory, belum mengaitkan materi sebelum, materi PBM, dan materi sesudahnya dari level rendah menuju level tinggi saling berkaitan. Materi pembelajaran bersifat parsial sehingga pengetahuan siswa terbatas atau terputus kurang berkembang secara maksimal. Perangkat pembelajaran belum berbasis Learning Trajectory yang belum memfasilitasi siswa belajar ilmu misalnya matematika secara konkret berdasarkan fakta dan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari sehingga intuisi siswa akan tercabut dan kehilangan nuraninya.
Perangkat pembelajaran masih tradisional dimana kurangnya pengalaman siswa tanpa pembelajaran kontekstual. Guru tradisional yang otoriter terhadap muridnya, guru munafik yang mengharuskan siswa menjawab sempurna. Fasilitas guru belum menyesuaikan dengan karakteristik dan tahap perkembangan berpikir siswa dimana siswa langsung belajar pada tahap formal secara tradisional. Guru mengkondisikan dalam proses belajar siswa sehingga siswa akan tergantung kepada guru.
Perangkat pembelajaran yang seharusnya adalah perangkat pembelajaran yang berbasis Learning Trajectory mengaitkan materi sebelum, materi PBM, dan materi sesudahnya dari level rendah menuju level tinggi yang saling berkaitan. Perangkat pembelajaran yang berbasis Learning Trajectory menyesuaikan tahap perkembangan berpikir siswa. Berdasarkan teori Piaget, tahap perkembangan anak tingkat sekolah dasar masih berpikir secara konkret berdasarkan fakta dan pengalaman sehingga perangkat pembelajaran berbasis Learning Trajectory memfasilitasi siswa belajar ilmu misalnya matematika secara konkret berdasarkan fakta dan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari. Jika siswa difasilitasi belajar Matematika secara konkret berdasarkan fakta dan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari maka siswa akan dapat membangun konsep berdasarkan intuisinya yang melahirkan nurani siswa.
Perangkat pembelajaran yang berbasis Learning Trajectory bersifat Sintetik Apriori seperti pembelajaran kontekstual dimana sebenar-benar ilmu pengetahuan menurut Immanuel Kant adalah harus ada pengalaman dan logika, harus Sintetik dan Apriori, siswa terlibat secara langsung dalam proses belajar sehingga siswa mampu membangun pengetahuannya. Perangkat pembelajaran yang berbasis Learning Trajectory bersifat membangun (Constructivism). Perangkat pembelajaran berbasis Learning Trajectory bersifat guru yang melayani siswa, guru yang membangun siswa, guru yang inovatif.
Perangkat pembelajaran yang berbasis Learning Trajectory menyesuaikan karakteristik siswa dalam memberikan fasilitas belajar siswa. Banyak teori belajar yang dijadikan dasar dalam usaha memfasilitasi belajar siswa. Wujud teori-teori belajar adalah proses belajar mengajar. Cara berpikir siswa ada 3 unsur menurut Shigeo Katagiri yaitu sikap, metode, dan materi/isi sehingga ada pembelajaran kontekstual yang terdapat dalam perangkat pembelajaran berbasis Learning Trajectory. Dalam memfasilitasi belajar matematika berawal dari tahap konkret, model konkret, model formal, kemudian formal. Sama seperti Teori Bruner diawali dari tahap enactive (benda), iconic, dan symbolic. Teori-teori belajar tersebut berdasar tahap perkembangan berpikir oleh Piaget dimana anak SD berpikir secara konkret.
Perangkat pembelajaran berbasis Learning Trajectory tidak bersifat guru mengkondisikan dalam proses belajar siswa karena belajar merupakan berdaya sehingga mengajar merupakan memberdayakan siswa dan siswa tidak akan selalu tergantung kepada guru. Perangkat pembelajaran berbasis Learning Trajectory membiarkan bola ada di tangan siswanya. Bola yang ada ditangan siswa biarkan mau diapakan oleh siswa tersebut. Bola tersebut merupakan milik siswa dan siswa mempunyai daya atas bola tersebut untuk diapakan sehingga siswa tidak akan tergantung kepada guru dalam memperlakukan bola tersebut. Bola itu sendiri merupakan fasilitas guru yang dapat dimanfaatkan oleh siswa karena guru memberikan fasilitas kepada siswa dalam usaha memberdayakan siswa agar siswa mampu berdaya dengan fasilitas tersebut.

C.    Pengembangan Etnomatematika Berorientasi Learning Trajectory
1.      Konsep Pembelajaran
Etnomatematika menjadi disiplin ilmu dan menjadi perhatian luas akhir-akhir ini. Salah satu alasan yang bisa dikemukakan adalah karena pengajaran matematika di sekolah memang terlalu bersifat formal. Hiebert & Capenter (1992) mengingatkan kepada semua pihak bahwa pengajaran matematika di sekolah dan matematika yang ditemukan anak dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda. Oleh sebab itu pembelajaran matematika sangat perlu memberikan muatan/menjembatani antara matematika dalam dunia sehari-hari yang berbasis pada budaya lokal dengan matematika sekolah.
Gagasan etnomatematika akan dapat memperkaya pengetahuan matematika yang telah ada. Oleh sebab itu, jika perkembangan etnomatematika telah banyak dikaji maka bukan tidak mungkin matematika diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya setempat. Menurut Bishop (1994b), matematika merupakan suatu bentuk budaya. Matematika sebagai bentuk budaya, sesungguhnya telah terintegrasi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat dimanapun berada. Selanjutnya Pinxten (1994) menyatakan bahwa pada hakikatnya matematika merupakan teknologi simbolis yang tumbuh pada ketrampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat budaya. Dengan demikian matematika seseorang dipengaruhi oleh latar budayanya, karena yang mereka lakukan berdasarkan apa yang mereka lihat dan rasakan. Budaya akan mempengaruhi perilaku individu dan mempunyai peran yang besar pada perkembangan pemahaman individual, termasuk pembelajaran matematika (Bishop, 1991).
Pendidikan matematika sesungguhnya telah menyatu dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Kenyataan tersebut bertentangan dengan aliran konvensional yang memandang matematika sebagai ilmu pengetahuan yang bebas budaya dan bebas nilai. Para pakar etnomatematika berpendapat bahwa pada dasarnya perkembangan matematika sampai kapanpun tidak terlepas dari budaya dan nilai yang telah ada pada masyarakat.
Dalam kegiatan pembelajaran matematika di sekolah tujuan guru adalah pembentukan skema baru. Pembentukan skema baru ini sebaiknya dari skema yang telah ada pada diri siswa. Oleh sebab itu tepat sekali jika dalam mengajarkan matematika formal (matematika sekolah), guru sebaiknya memulai dengan matematika yang tidak formal yang diterapkan oleh anak di masyarakat. Jika pada diri anak terbentuk skema dengan baik tentang matematika yang dipakai dalam dunia sehari-hari, maka untuk menambah pengetahuan yang telah ada tersebut guru memperkuat skema yang telah ada atau membentuk skema baru berdasarkan skema yang telah ada.
Di sekolah yang dominan suku atau etnis tertentu seringkali mengajarkan matematika tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia demikian juga pada beberapa daerah dimana dalam bahasa pengantar juga menggunakan bahasa setempat. Oleh sebab itu guru harus mengajarkan matematika dengan menggunakan bahasa pengantar dari bahasa daerah setempat. Bahasa daerah setempat mempunyai istilah sendiri, misalnya untuk kata ” berhitung, ditambah, dikurang, dikali dan dibagi ”. Kata–kata semacam itu mempunyai makna begitu banyak bagi anak dan guru untuk mngajarkan matematika formal dalam komputasi. Demikian juga ketika guru akan menjelaskan dalam pembelajaran tentang pencerminan dan simetri, guru bisa membawa atau memperlihatkan contoh–contoh artefak, lukisan tato, dan lukisan lain yang bermotif budaya lokal yang mempunyai nilai pencerminan setelah siswa dikenalkan dengan bentuk–bentuk tadi, barulah kemudian mengenalkan konsep pencerminan dan simetri yang formal.
Pengintegrasian etnomatematika dalam pembelajaran dilaksanakan dalam proses pembelajaran berorientasi learning trajectory. Learning Trajectory merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana siswa belajar serta bagaimana siswa berpikir yang diaplikasikan dalam Teaching Trajectory tentang bagaimana guru menyelenggarakan proses belajar mengajar (Prof. Dr. Marsigit, M.A.). Guru inovatif membangun Learning Trajectory dengan mempelajari bagaimana siswa berpikir dan belajar melalui berbagai referensi tentang teori belajar dan mengajar untuk membuat perangkat pembelajaran yang berbasis Learning Trajectory serta memfasilitasi belajar siswa (Teaching Trajectory) dengan mengaitkan materi sebelum, materi PBM, dan materi sesudah pembelajaran.
Menurut Abraham S Lunchins dan Edith N Luchins (Erman Suherman, 2003), matematika dapat dijawab secara berbeda-beda tergantung pada kapan pertanyaan itu dijawab, dimana dijawabnya, siapa yang menjawabnya, dan apa sajakah yang dipandang termasuk dalam matematika. Materi pembelajaran matematika diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu dari hal konkret ke abstrak, hal yang sederhana ke kompleks, atau konsep mudah ke konsep yang lebih sukar. Pembelajaran matematika mengikuti metode spiral. Setiap mempelajari konsep baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari sebelumnya. Bahan yang baru selalu dikaitkan dengan bahan yang telah dipelajari. Pengulangan konsep alam bahan ajar dengan cara memperluas dan memperdalam adalah perlu dalam pembelajaran matematika (spiral melebar dan naik).
Guru harus mampu memfasilitasi siswa untuk belajar matematika berdasarkan Learning Trajectory. Guru yang memahami Learning Trajectory akan memahami cara memfasilitasi siswa belajar matematika sesuai dengan cara berpikir dan belajar matematika siswa. Guru harus berani meninggalkan comfort zone dari tradisional yang sekedar transfer of knowledge menuju guru yang inovatif dengan cara mempelajari Learning Trajectory sehingga guru mampu membuat perangkat pembelajaran dan mengaplikasikannya dalam rangka memfasilitasi siswa belajar matematika sesuai dengan cara berpikir dan belajar siswa. Cara berpikir dan belajar siswa berkaitan dengan kesiapan, kebutuhan, dan tahap perkembangan siswa. Guru harus memperhatikan dan menyesuaikan proses pembelajaran dengan hal-hal tersebut.
Dalam pengembangan etnomatika berorientasi learning trajectory, hal yang terpenting adalah bagaimana usaha dan kerja keras guru untuk menampilkan konsep matematika yang ada dalam  etnomatematika kedalam kegiatan pembelajaran, sehingga konsep tersebut dapat berhubungan secara langsung dengan budaya siswa dan dengan pengalamannya sehari-hari. Di mana pembelajaran dilaksanakan mengikuti suatu pola tingkatan alamiah, yakni belajar kemampuan-kemampuan dan ide-ide matematika dengan cara siswa. Peran guru adalah bagaimana memberi fasilitas, kesempatan ruang dan waktu kepada siswa dengan berbagai metode yang inovatif sesuai dengan tahap perkembangan siswa, agar siswa bisa membangun pengetahuannya sendiri. Selain itu berdasarkan prinsip  learning trajectory, pembelajaran selalu mengaitkan antara pembelajaran sebelumnya, pembelajaran yang sedang berlangsung dan pembelajaran yang akan datang. Ketika para guru memahami pola tingkatan alamiah siswa dan menerapkan prinsip pembelajaran, serta aktivitas-aktivitas yang tersusun didalamnya, maka telah terbangun suatu lingkungan belajar matematika yang tepat dan efektif.

2.      Learning Trajectory dalam Kurikulum 2013
Learning Trajectory tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana siswa berpikir yang berimplikasi pada Teaching Trajectory. Seperti dalam filsafat tentang membangun hidup siswa, dalam learning trajectory pun berimplikasi dengan teaching trajectory yaitu guru memfasilitasi belajar siswa dengan berbagai metode yang inovatif sesuai dengan tahap perkembangan siswa.
Learning trajectory timeline meliputi hakikat/makna/arti serta sejarahnya. Struktur ketentuan learning trajectory meliputi filsafat, ideologi, UUD 1945, UU, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, Kurikulum, Silabus, RPP, LKS (Lembar Kegiatan Siswa), Sekolah, Guru, Siswa, Mata Pelajaran, PBM. Kurikulum saat ini adalah kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan scientific meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan serta authentic assessment yang menilai ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan siswa.
Learning trajectory dapat diaplikasikan oleh guru dengan memfasilitasi belajar siswa dalam perangkat pembelajaran dan proses pembelajaran yang diselenggarakan sesuai dengan kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan scientific dan authentic assessment. Guru menyesuaikan cara berpikir dan belajar siswa di dalam perangkat dan proses pembelajaran menggunakan pendekatan scientific dan authentic assessment.
Cara berpikir siswa ada 3 unsur menurut Shigeo Katagiri yaitu sikap, metode, dan materi/isi. Dalam memfasilitasi belajar matematika berawal dari tahap konkrit, model konkrit, model formal, kemudian formal. Sama seperti Teori Bruner diawali dari tahap enactive (benda), iconic, dan symbolic. Penilaian autentik (authentic assessment) dalam kurikulum 2013 dapat dijadikan pedoman guru sejauh mana guru berhasil melakukan teaching trajectory yang merupakan implikasi dari learning trajectory.
Dalam Kurikulum 2013, pendidik diharapkan mampu menciptakan pembelajaran bermakna sehingga materi yang disampaikan tidak hanya lewat begitu saja tanpa ada kesan sama sekali. Salah satu langkah untuk menciptakan pembelajaran bermakna tersebut adalah dengan memanfaatkan budaya Indonesia sebagai sumber dalam pelaksanaan pembelajaran. Mengingat masih banyak generasi muda yang masih minim pengetahuan budayanya, pendekatan budaya dalam pembelajaran pun merupakan salah satu strategi untuk menciptakan pembelajaran bermakna sekaligus memberikan pengetahuan budaya kepada peserta didik. Di samping itu, kurikulum 2013 menggunakan tematik integratif berupa tema-tema terdiri dari beberapa mata pelajaran yang dikaitkan dalam satu tema. Dalam hal ini pembelajaran senantiasa dikaitkan dengan hal-hal kontekstual termasuk pemanfaatan unsur-unsur budaya. Unsur budaya diintegrasikan khususnya dalam pembelajaran matematika sehingga membentuk etnomatika. Pembelajaran etnomatika dilaksanakan secara learning trajectory, yaitu pembelajaran secara bertahap sesuai perkembangan cara berpikir siswa. Dengan demikian terwujud pembelajaran etnomatika berorientasi learning trajectory.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Etnomatematika adalah bentuk matematika yang dipengaruhi atau didasarkan budaya. Etnomatematika telah banyak dikaji dan diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya setempat. Melalui penerapan etnomatematika dalam pendidikan diharapkan peserta didik dapat lebih memahami matematika dan budaya mereka, sehingga nilai budaya yang merupakan bagian karakter bangsa tertanam sejak dini.
Learning Trajectory merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana siswa belajar serta bagaimana siswa berpikir yang diaplikasikan dalam teaching trajectory tentang bagaimana guru menyelenggarakan proses belajar mengajar (Prof. Dr. Marsigit, M.A.). Guru inovatif membangun learning trajectory dengan mempelajari bagaimana siswa berpikir dan belajar melalui berbagai referensi tentang teori belajar dan mengajar untuk membuat perangkat pembelajaran yang berbasis learning trajectory serta memfasilitasi belajar siswa (teaching trajectory) sesuai dengan tingkatan berpikir siswa agar siswa mampu membangun pengetahuannya sendiri serta dengan mengaitkan materi sebelum, materi pembelajaran, dan materi sesudah pembelajaran.
Mengingat pentingnya pendidikan yang berkesinambungan dari sisi konten dan proses, mathematical learning trajectory menjadi isu penting dalm pembelajaran matematika. Proses pembuatan mathematical learning trajectory memang membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Meskipun demikian, isu ini penting untuk dapat dilakukan/ditindaklanjuti. Siswa membutuhkan guru/pendidik yang benar-benar menjadi fasilitator bagi mereka dalam mempelajari suatu ide besar.
Learning trajectory   terdiri atas  bentuk material, formal, normatif dan spiritual. Learning trajectory dalam  bentuk material, wujudnya  berupa konteks dan konten di mana konteks biasa berupa artefak (secara fisik), lingkungan berbasis budaya (misalnya ethnomathematic yaitu matematika berbasis budaya). Mengembangkan etnomatematika dalam nuansa learning trajectory (lintasan belajar) berarti menanamkan dan memanfaatkan nilai-nilai budaya secara kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan tahapan-tahapan belajar yang sesuai dengan perkembangan proses berpikir siswa, metode yang siswa pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang siswa tunjukkan. Dengan demikian diharapkan siswa dapat lebih mudah memahami konsep-konsep matematika bermuatan budaya.

B.     Saran
Pengenalan unsur budaya kepada siswa dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya ke dalam materi pembelajaran khususnya ke dalam mata pelajaran matematika dalam konteks etnomatematika. Pembelajaran etnomatematika dapat dilaksanakan secara learning trajectory di mana pembelajaran disesuaikan dengan tingkatan berpiki siswa. Hal tersebut dapat dijadikan alternatif dalam memilih strategi pembelajaran. Di mana siswa menerapkan pembelajaran kontekstual sekaligus mengenal budaya yang ada dengan suasana yang menyenangkan dan siswa tidak merasa terbebani karena tingkatan berpikirnya sesuai.













DAFTAR PUSTAKA

Bakker, A. (2003). Design Research on How IT May Support the Develapment of Symbols and Meaning in Mathematics Education. Freudenthal Institute, Utrecht University. Tersedia dalam http://www.math.ntnu.Edu.tw/  Diakses 2 Januari 2016.
Bishop,J.A. (1994b). Cultural Conplicts in the Mathematics Education of Indigenous people. Clyton, Viktoria: Monash University.
Chuang- Yih C. (2002). A Hypothetical Learning Trajectory of Arguing Statements about Geometric Figures. Electric Journal of Mathematics Education, 1(1): 2-11. Tersedia di http://www.math.ntnuEdu.tw/  Diakses 2 Januari 2016.
Clements, D.H. & Sarama, J. (2009). Learning Trajectories in Early Mathematics - Sequences of Acquisition and Teaching. Tersedia: http://literacyencyclopedia.ca/index.php?fa=items.show&topicId=270  Diakses 2 Januari 2016.
                                        . (2009). Teaching Math in the Primary Grades The Learning Trajectories Approach. Tersedia: www.naeyc.org/files/yc/file/Primary_Interest_BTJ.pdf Diakses 2 Januari 2016.
Gerdes,P. (1994). Reflection on Ethnomatematics. For the Learning of Mathematiccs, 14(2), 19-21
Simon, M. A. (1995). Reconstructing Mathematics Pedagogy from a Constructivist Perspective.Journal for Research in Mathematics Education, 26(2), 114-145. Tersedia dalam http://www.math.ntnu.Edu.tw  Diakses 2 Januari 2016.
Soedjadi,R. (2007). Masalah Konstekstual sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA.
Suherman, E., dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-Universitas Pendidikan Indonesia.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERMASALAHAN DAN KEMUNGKINAN SOLUSI DALAM PENGEMBANGAN LPTK

MAKALAH PENGEMBANGAN ETNOMATEMATIKA BERORIENTASI LEARNING TRAJECTORY

KAJIAN PETA FILSAFAT DAN IDEOLOGI PENDIDIKAN